Wednesday, November 17, 2010

Mengapa Kemiskinan dan Pengangguran di Aceh?


Dear all,

Adalah sangat menarik temuan doktor Agus_Sabti bahwa "penyebab utama miskin adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat)". 

Coba saja faktor utama, kurangnya kreativitas (disebabkan variable antecedent pengetahuan & keterampilan), ditelaah secara akademis mestinya ditemukan lokomotif (prime mover) yang menghasilkan "budaya kreatif" warga masyarakat kita. Sejauh amatan saya (subjective understanding) institusi pendidikan (sistem nilai, struktur, dan organisasi) kita yang sudah tidak compatible (atau bahkan tidak conducive) dengan karakteristik komunitas kita. Institusi pendidikan (rasional) modern hampir seluruhnya tidak match dengan kondisi sosial-budaya kita yang masih (tradisional: afektual+emosional) konservatif. Sejauh ini kebanyakan kita merujuk pada kaidah-kaidah pendidikan dan pengajaran yang tidak memenuhi kriteria "independent, kompetitif, dan meritocracy". Umpamanya, bagaimana hubungan antara kejujuran dan kebenaran dengan capaian dalam sistem seleksi atau ujian masuk Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, penerimaan kerja PNS, termasuk Ujian Akhir Negara (UAN), dan sebagainya.

Semua gambaran tersebut menurut hemat saya telah membawa-serta konsekuensi pada kelemahan kreativitas peserta didik, yakni masyarakat. Dengan strategi pemahaman subjektif itu saya juga memperoleh data bahwa aplikasi sistem pendidikan Perguruan Tinggi (PT) S1 dan S2 kita selama ini, setidaknya di lingkungan saya bekerja sebagai dosen, tidak banyak memberikan harapan (5-10 tahun ke depan) terhadap penanggulangan kekurangan dalam hal kreativitas lulusan PT. Jadi, kita akan menghasilkan calon-calon penganggur (intelektual) terdidik di Aceh. Industrialisasi yang merambah ke institusi pendidikan, sadar atau tidak sadar, akan memberikan imbas balik kepada kita semua dalam wujud pengangguran dan ketidak-percayaan (distrust) di antara kita, terlebih lagi para investor. Ini adalah salah satu ancaman modal sosial (social capital) kita yang berpengaruh pada modal ekonomi kita ke depan.

Untuk mengendalikan keadaan sosial ekonomi daerah kita agar tidak semakin prihatin, sebelum terlambat, kita perlu meningkatkan rasionalitas, utamanya di bidang pengelolaan pendidikan. Peran lembaga ini amatlah strategis dalam upaya menanggulangi faktor utama kemiskinan, yakni kelemahan kreativitas warga atau calon-calon pencari kerja ke depan. Kita tidak harus terperangkap lagi dengan pranata pendidikan adat-tradisional yang tidak antisipatif atas tantangan konsekuensi latent modernitas industrial. Kita mesti merubah paradigma berpikir (way of life) yang conducive bagi kesuksesan duniawi yang asketis.

Demikianlah sekelumit tanggapan terhadap faktor utama penyebab kemiskinan dan pengangguran di daerah kita. Semoga mendapat masukan kritis dan dialektis dari warga milis semua untuk masa depan Aceh yang menjanjikan. Mohon maaf jika ada kata yang tidak pada tempatnya.

Salam idul qurban, saleh sjafei
------------------------------
Re: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
Wednesday, November 17, 2010 10:56 PM
From:

Kemiskinan itu penyebabnya adalah multikorelasi. Tapi kalau dilihat dari potensi negeri ini penyebab utamanya lebih karena faktor non-fisik dari pada faktor fisiknya, yakni mental pejabat dan mental rakyatnya yakni kurangnya kreatifitas dalam berinovasi. Hasil penelitian saya tentang penyebab kemiskinan menunjukkan bahwa penyebab utama miskin adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat).  
Temuan ini menunjukkan bahwa program pemerintah yang selalu mengandalkan bantuan fisik dalam mengurangi orang miskin adalah salah kaprah. Karena yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kreatifitas masyarakat miskin. Misalnya membangun irigasi untuk seluruh jaringan sawah dan membangun jaringan jalan (minimal pengerasan) ke sentra produksi, di samping membangkitkan kembali gairah penyuluhan.  hal yg lebih penting lagi bagaimana pemerintah bisa menjamin pasar dan harga dari hasil pertanian rakyat. Dengan demikian tidak ada alasan petani tidak bertani karena tidak ada air, tidak ke ladang karena terlalu jauh. Dan kalau harga tinggi, petani pasti akan muncul kreatifitasnya. Ingat waktu nilam melonjak harganya, semua petani kreatif mencari informasi dan menanam nilam. syang itu tdk bertahan lama.  
Oleh sebab itu, saran kepada pemerintah, Orientasi produksi pertanian harus dirubah dari on-farm (pertanian budidaya) ke pertanian off-farm (pengolahan hasil dan pemesarannya) dan jangan suka cuma duduk di kantor atau warung kopi, tapi kerahkan semua anak buah ke lapangan sehingga mereka tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakatnya. ini tidak mustahil dan sdh dipraktekkan di Cina dan India. Mereka berhasil, semoga kita juga berhasil shg negeri ini bisa berjaya ke depan. Sayang sekali masyarakat kita miskin di tengah sumberdaya yang melimpah. Semoga bermanfaat, Agussabti.
---------------------------
2010/11/18 Adie Usman MUSA <adie.usman@gmail.com>
Kok tanya ke ekonom? Apakah memang kemiskinan itu urusannya Ekonom? Bukankan semua sektor dengan beragam profesi berkontribusi pada peningkatan/pengurangan kemiskinan? hmm...

Saleum,
============
INSTITUT GREEN ACEH (IGA)


"...the old is destroyed...time itself changes...
and upon the ruins of destruction...
flowers a new life"
(Schiller: Wilhelm Tell)

----- Original Message -----

From: HELB
Sent: Thursday, November 18, 2010 10:23 AM
Subject: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?

Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ke-tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya. Pada satu sisi data menunjukkaan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen dibandingkan dengan data pada tahun 2009. Namun pada sisi lain, angka ini belum sepenuhnya menjadi berita gembira karena angka kemisikinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata prosentase nasional yang berkisar pada angka 13, 33 persen.
Melihat data diatas, maka kesimpulan kita Provinsi Aceh belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal, padahal provinsi ini tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliyun rupiah. Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika Aceh termasuk daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah yang dapat dikelola untuk mengurangi angka kemiskinan diatas (Serambi, 08/11/2010)
-------------------

Monday, November 15, 2010

Makna dan Kuasa Dalam Krisis Epistimologi Ilmu Pengetahuan


Dear all,

Saya hendak mengemukakan 'belum lagi para (natural & social) scientists (professor & doktor) Unsyiah memperlihatkan experimentasi cara-cara berpikir, bersikap-tindak, dan berperasaan berdasarkan kerangka rasionalisme (Rene Descartes: I think therefore I am)', dunia keilmuan sudah mengalami krisis epistimologi, antara lain, kedudukan dan penteoreannya dalam ilmu pengetahuan.

Epistimologi adalah wilayah kajian penelaahan urgensi segala praktik ilmiah. Sebagaimana yang ditulis Gaston Bachelard (1884-1962) dalam The Philosophy of No: A Philosophy of the New Scientific Mind, 1968, bahwa "ruang yang diamati seseorang, yang diperiksa oleh seseorang, secara filosofis sangat berbeda dengan ruang yang dilihatnya". Hal itu disebabkan ruang yang dilihat seseorang selalu merupakan ruang yang direpresentasikan, bukan ruang yang nyata.

Bachelard terus berusaha mengusulkan suatu "telaah sistematis tentang representasi, bentuk pengantaraan yang paling natural dalam menentukan relasi antara noumenon dan fenoumenon". Dalam kaitan itu Bachelard melalui karyanya The Scientific Spirit mengatakan ada dua landasan metafisis yang fundamental, yakni rasionalisme dan realisme. Landasan pertama adalah wilayah interpretasi dan penalaran; dan landasan kedua memberikan bahan-bahan bagi rasionalisme untuk melakukan interpretasinya.

Bagi Bachelard bersikap ilmiah itu tidak berarti mengistimewakan rationality atau reality, melainkan mengenali (secara sungguh-sungguh) adanya relasi yang tak-terputuskan antara keduanya. Salah satu ungkapan Bachelard yang terkenal bahwa "eksperimen harus memberi kesempatan untuk munculnya argumen, dan argumen harus dikembalikan ke eksperimen". (Untuk konteks pengembangan keilmuan di Unsyiah diperlukan pengetawantahan praktik laboratorium ilmiah para professor & doktor (civitas akademika) ke dalam wujud argumen-argumen intelektual). Dalam rangka untuk menanggulangi krisis tersebut Bachelard mengusulkan kerangka 'rasionalisme terapan' untuk menunjukkan landasan teoretis pada berbagai eksperimentasi berbeda. Hence, rasionalisme yang mendalam selalu adalah rasionalisme terapan yang dipelajari dari realitas. Bechelard setuju dengan pandangan bahwa kaum empiris bisa mempelajari realitas dari kaum teoretisi bila suatu teori dikembangkan sebelum eksperimen yang berkaitan dengannya dilakukan. Ini untuk memperlihatkan teori membutuhkan keterkaitan eksperimental untuk bisa memperoleh keabsahannya.

Usulan Bachelard yang lain adalah kritiknya atas teori evolusi dalam strukturalisme melalui sejarah ilmu. Ia menggambarkan bahwa perkembangan ilmu yang terjadi sebelumnya tidak selalu menjelaskan keadaan ilmu di masa sekarang. Umpamanya, kita tidak mungkin bisa memberikan penjelasan tentang teori relativitas Einstein sebagai perkembangan dari teori fisika Newton. Itu artinya, "dogma-dogma baru tidak berkembang dari yang lama, namun yang baru merangkum yang lama".

Dengan kata lain, generasi kaum intelektual tercakup satu di dalam yang lain. Saat kita berpindah dari fisika Non-Newtonian ke fisika Newtonian kita tidak menemukan kontradiksi, namun kita mengalami kontradiksi. Analog dengan itu, pada saat atau sudut pandang yang digunakan (apa yang dilihat dan direpresentasi) para pimpinan itu berbeda dari apa yang dilihat para pekerja (civitas akademika) Unsyiah di lapangan. Para pempimpin tidak menemukan adanya kontradiksi secara formal (makro, struktural, politis), namun civitas akademika, para pegawai secara nyata (internal, mikro, substansial, fungsional: mengalami masalah) di lapangan, dan sebaliknya.  

Demikianlah gambaran perkembangan dialektika epistimologi keilmuan saya sampaikan untuk merangsang diskusi di kalangan para ilmuan kampus Unsyiah. Saya mohon maaf jika ada hal ikhwal yang tidak semestinya saya utarakan di sini.
 
Salam hormat, saleh sjafei 
Sent from my BlackBerry®
 

Thursday, October 14, 2010

Aspek Socio-Legal Pemenuhan Hak Politik TNI/POLRI

Aspek Sosio-Legal Pemenuhan Hak Pilih TNI/POLRI Dalam Pemilu 2014
Oleh M. Saleh Sjafei

Latar-Belakang
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu media demokrasi yang memungkinkan kemerdekaan (“kontrak sosial: dari, oleh, dan untuk”) rakyat atau masyarakat Indonesia terwujud melalui format sebuah Negara modern. Masyarakat melalui para warganya menunjukkan salah satu bentuk partisipasi mereka dalam memilih pemimpin atau wakil-wakilnya secara (individual) langsung (bebas dan rahasia) dalam setiap paket pembangunan lima tahun sebagai upaya mereka untuk menyempurnakan fungsi dan peran (elemen-elemen) bangunan negara modern.

Di satu sisi, setiap warga Negara berhak untuk memperoleh perlakuan atau kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan (UUD-RI 1945). Hal itu merupakan bagian dari pemenuhan fungsi dan peran Negara atas kekuasaan atau kedaulatan yang diberikan rakyat kepadanya. Ada banyak pernyataan normatif lain (misalnya, pasal 28 UUD 1945) yang mengisyaratkan bahwa Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum, dan bukan didasarkan pada kekuasaan belaka.

Di sisi yang lain, ada beberapa pernyataan hukum yang membatasi hak dan atau kewajiban sebagian warga Negara (kendatipun mungkin untuk jangka waktu tertentu) untuk ikut-serta dalam proses Pemilu sarana pemenuhan aspirasi dan kebutuhan demokratis tadi. Mereka itu adalah warga masyarakat yang diorganisasikan sebagai TNI/POLRI. Pembatasan itu terlihat melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk TAP-MPR Nomor VII/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu. Demikian pula dalam pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan: menjadi anggota partai politik (parpol), politik praktis, bisnis, untuk dipilih menjadi anggota legislative dalam Pemilu, dan jabatan politis lainnya.

Tulisan ini untuk menampilkan hubungan hak pilih TNI/POLRI dengan Negara dan Masyarakat Indonesia dalam suatu kerangka pemikiran akademis. Persoalannya adalah bagaimana hubungan antara (hukum) Pemilu dengan karakteristik masyarakat Indonesia, misalnya, dalam hal ini komunitas TNI/POLRI. Dengan perkataan lain, mengapa atau apa saja faktor (variable) yang mungkin menjadi pertimbangan sebab-musabab (representasi hukum) Negara membatasi pemenuhan hak dan atau kewajiban komunitas terorganisasi TNI/POLRI untuk berpartisipasi dalam beberapa Pemilu yang lalu dan kemungkinan periode mendatang.  

Hubungan Negara dan Masyarakat
Indonesia adalah Negara hukum. Itu merupakan sebuah hasil perjuangan rasional para founding fathers, representasi seluruh rakyat yang mencapai klimaks pada masa proklamasi kemerdekaan yang lalu. Hal itu untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara modern yang telah memenuhi berbagai persyaratan formal-rasional, seperti memiliki otoritas dan keabsahan memonopoli kekuatan memaksa (penggunaan kekerasan yang terorganisasi) terhadap ancaman keberadaan atau keselamatan Negara dan warganya. Dalam beberapa hal yang prinsipil TNI/POLRI, bagaimanapun, adalah bagian dari kekuatan dan identitas Negara nasional itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa TNI/POLRI sebagai komunitas terorganisasi adalah sekelompok warga Negara terpilih (a chosen few) yang lebih representatif dalam mewujudkan berbagai atribut keharusan bernegara dan berbangsa Indonesia. Secara normatif mereka adalah para pelindung masyarakat kewargaan (civil religion) dalam banyak dimensi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 

Di samping Indonesia adalah Negara hukum, apakah warga Negara Indonesia merupakan masyarakat hukum? Seberapa jauh Negara hukum itu compatible dengan atau bahkan conducive bagi nasionalisme kewargaan dengan karakteristik (warna, pluralitas, heterogenitas) masyarakatnya. Betapapun, selain dibutuhkan hukum nasional juga diakui keberadaan hukum-hukum (sistem nilai-budaya) lokal. Dalam kondisi demikian, boleh jadi, Indonesia sedang dalam proses pergulatan antara Negara hukum (modern-rasional) dengan kebhinnekaan masyarakat adat (afektif-tradisional). Dalam beberapa rujukan literatur hukum pertanahan nasional ditemukan konsep komunalisme-religio-magis untuk mewakili kekhasan masyarakat Indonesia. Hal itu memperlihatkan bahwa ada berbagai kemungkinan konsekuensi (manifest dan latent) dalam hubungan produktivitas dan kinerja bernegara dan bermasyarakat dalam kenyataan sosial kita.

Kehendak setiap negarawan untuk menerjemahkan dan menemukan profil (internalisasi dan institusionalisasi secara substantif) masyarakat nasional mengalami pasang surut sesuai dengan mekanisme pertukaran sosial yang terjadi dalam natural setting. Misalnya, salah satu proposisi (hukum dari) teori social exchange itu adalah bahwa semakin seseorang memperoleh kemudahan (atau keuntungan immaterial dan materil) dari suatu (jalinan tindakan) interaksi, komunikasi, atau negosiasi (dalam hal ini Negara dan masyarakat), maka semakin sering pula tindakan itu dilakukan seseorang secara berulang. Motto kebangsaan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”, oleh karena itu, menjadi salah media untuk memungkinkan memperlancar proses integrasi keIndonesiaan, jalinan akulturasi dan asimilasi variasi kekayaan warna sistem nilai-budaya yang sangat menantang dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi.  

Jika penjelasan untuk pertanyaan itu menggunakan kerangka pikiran Durkheim, maka dalam masyarakat Indonesia paling sedikit terdapat dua ragam solidaritas sosial mereka, yaitu semangat senasib-sepenanggungan yang bersifat mekanis dan yang organis. Jika Spencer menggunakan tipologi militaristik dan industrial, Durkheim memperkenalkan tipologi masyarakat meknais dan organis (serta Tonnies melihat dengan kerangka community dan society). Berbagai kerangka (tipologi atau model) analisis itu dimaksudkan untuk menampilkan kurang lebih bagaimana karakteristik komunitas (profesional) TNI/POLRI dan berbagai pengelompokan masyarakat lain di Indonesia baik yang bersifat rural (misalnya berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) maupun yang cenderung urban (occupational groups) dalam kaitan dengan pilihan sistem politik demokratis.    

Bangunan Negara Indonesia modern dengan berbagai atribut politik, (ekonomi dan sosial-budaya) merupakan produk atau capaian masyarakat yang bercirikan organis. Dalam masyarakat tersebut ilmu pengetahuan digunakan sebagai cara-pandang (way of life). Secara formal-legal sangat mungkin komunitas TNI/POLRI adalah bagian dari kelompok masyarakat organis, namun secara substansial-historis warga tersebut lebih mungkin pula merujuk pada sistem nilai-budaya komunalistik-relijius-magis. Dengan kata lain, komunitas prajurit TNI/POLRI pada momen (tempat, ruang, dan waktu) tertentu akan memperlihatkan diri mereka secara personal (individual) sebagai bagian masyarakat yang menganut solidaritas mekanis (kembali pada akar sistem nilai kelompok rujukannya dalam kerangka SARA tadi).

Dengan kata lain, sejauh ciri-ciri umum masyarakat Indonesia masih merujuk pada kesadaran bersama (collective conscience), belum secara substansial menghayati moralitas individual (purposive rational consciousness), maka semangat mereka lebih cenderung pada otoritas politik yang kharismatik dan atau tradisonal. Padahal, sistem Pemilu yang demokratis mensyaratkan semangat partisipasi warga Negara dengan landasan solidaritas organis (hubungan impersonal, transparan, dan akuntabel) dalam suatu otoritas politik yang legal-formal. Seberapa jauh sistem sosialisasi (pendidikan formal, non-formal, dan informal) dalam organisasi TNI/POLRI itu memenuhi ukuran kinerja demokratif.

Dengan sistem sosialisasi dalam tubuh TNI/POLRI dan ciri-ciri (semangat) atau sistem nilai-(akar) budaya kelompok rujukan (reference groups) yang demikian itu, dapat diperkirakan bahwa pemenuhan hak pilih TNI/POLRI sebagaimana masyarakat lain umumnya akan membawa konsekuensi latent yang sulit dideteksi secara formal-legal. Dalam hubungan ini terjadi pergulatan antara tindakan-tindakan para pendukung kelompok (partai-partai politik yang ada) dengan prinsip moralitas kolektif (SARA, komunalisme-religio-magis) dan hamba-hamba hukum (yang merujuk pada moralitas individual-rasional).   

Simpulan
Berdasarkan uraian analitis (tanpa data empirik) terdahulu dapat dikemukakan bahwa hubungan antara (hukum) Pemilu dengan karakteristik umum masyarakat Indonesia tidaklah sejajar. Pemilu lebih merujuk pada ciri-ciri dalam masyarakat organis, dan masyarakat Indonesia masih cenderung (rentan) dan memungkinkan digerakkan (para politisi atau kroninya yang status quo) dengan semangat (solidaritas) yang mekanis.  Dalam hal ini komunitas TNI/POLRI yang embedded dengan schemata (sistem struktural nilai-budaya) sosialisasi mereka yang telah mentradisi (umpamanya, bagaimana efek-domino bias “sumpah prajurit atas perintah atasan”) lebih mungkin atau rentan pada mobilisasi dan rasionalisasi kepentingan politisi yang tidak integral.

Dengan perkataan lain, ada beberapa faktor (variable) yang patut menjadi pertimbangan sebab-musabab (rasional) aparat institusional Negara (pembentuk hukum) membatasi pemenuhan hak dan atau kewajiban komunitas terorganisasi TNI/POLRI untuk berpartisipasi dalam beberapa Pemilu yang lalu dan kemungkinan periode mendatang. Faktor-faktor itu termasuk:
1. Posisi TNI/POLRI sebagai pelindung masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia dari ancaman disintegrasi secara sosial-budaya, ekonomi, dan politik (rasional), tidak harus lebih dulu berwujud post-facto.
2. Mekanisme atau sistem sosialisasi profesionalitas TNI/POLRI akan bernegosiasi (lihat hukum social exchange) dengan (latar-belakang) sistem nilai-budaya (akar) mereka yang berlandaskan komunalisme-religio-magis, secara politik dan ekonomi (SARA) melalui kelompok (partai politik yang mungkin mengandalkan segala cara untuk meraih suara kemenangan) dalam Pemilu.
3. Kebutuhan akan upaya netralitas TNI/POLRI dalam mendukung stabilitas perkembangan pilitik, ekonomi, dan sosial-budaya yang sedang berjalan dalam masyarakat Indonesia.

Demikianlah (kertas kerja ini disampaikan sebagai) pengantar ini diracik berdasarkan hasil pemikiran teoretis penulis. Sejak awal penulis memprediksi akan ada banyak kekurangan dalam berbagai wujud, termasuk selera konsumen (pembaca atau pendengar). Semua keluhan itu akan menjadi masukan kritis dan tanggung jawab intelektual saya. Salam hormat saya, saleh sjafei (alumni program doktoral FISIP-UI)


--- On Fri, 10/8/10, HELB <hai_otodidak@yahoo.com> wrote:

From: HELB <hai_otodidak@yahoo.com>
Subject: (GreenAcehCommunity) Aceh Institute gelar Diskusi Hak Pilih TNI/POLRI di PEMILU 2014
To: IACSF@yahoogroups.com
Date: Friday, October 8, 2010, 3:48 AM

DISKUSI PUBLIK, Aceh Peace Program
The Aceh Institute 15-Oktober 2010
 
TOPIK: Mengkaji Hak Pilih TNI/POLRI Dalam Pemilu 2014
 
 
LATAR BELAKANG
 
            Dalam Pemilu 2004 TNI/Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak menggunakan hak pilihnya. Itu dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.  Begitu juga dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 39, yaitu Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan menjadi anggota parpol, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya. Sehingga Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2004-2009 tak ada lagi wakil TNI/Polri di DPR, seperti tertuang dalam Pasal 5 Tap MPR No VII/MPR/2004 yang menyebutkan, “Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) paling lama sampai dengan tahun 2004″.
            Terlepas dari itu semua, pertanyaan mendasar yang kerap diajukan adalah: apakah TNI memiliki hak pilih seperti halnya warga negara lainnya? Apakah TNI diperbolehkan memilih? Apakah karena suatu profesi tertentu telah menyebabkan ia tidak boleh memilih, bukankah hal tersebut telah diakui oleh pasal 28 UUD 1945?
Jika kita mengacu pada kaidah demokrasi universal, bahwa seseorang yang memiliki profesi tertentu, tidak kehilangan hak-hak politiknya. Khususnya hak memilih dalam pemilu. Semua warga negara pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban sama. Demikian pula bagi anggota TNI, status kewarganegaraannya sama dengan WNI lain.
Sebaliknya, beberapa elemen lainnya mengatakan bahwa keterlibatan TNI/Polri dalam Pemilu secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh para keberpihakan lembaga tersebut pada partai tertentu, seperti yang telah terjadi para masa Orde Baru. Hal ini seperti dikatarakan oleh Lukman Hakim Saifuddin [Wakil MPR RI], bahwa  pemberian hak memilih terhadap anggota TNI dalam Pemilu dan Pilpres 2014 bisa mendorong politisasi terhadap institusi penjaga pertahanan negara tersebut.
Berdasarkan polemik dan perdebatan mengenai hak pilih tersebut, diperlukan suatu diskusi secara komprehensif, sehingga mendapatkan suatu gambaran tentang hak pilih TNI/Polri, baik dari sudut legalitas hukum (UU), Kebijakan Politik, Demokrasi dan HAM.
 
 
TUJUAN
Adapun tujuan diskusi publik ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui secara jelas dan komprehensif mengenai hak pilih bagi TNI/Polri, baik dari sudut hukum, politik, demokrasi dan HAM
2.      Memberikan ruang dan aspirasi bagi berbagai pihak untuk menyampaikan ide, gagasan dan intelektualitas-nya terhadap polemik mengenai hak pilih TNI/Polri dalam pemilu 2014 di Indonesia
 
NARASUMBER
1.      Mukhlis Mukhtar, S.H [Politisi]
Judul: Pengaruh Hak Pilih TNI/Polri dalam Pemilu 2014 menurut perspektif  Partai Politik terhadap Demokrasi
2.      Dr.Saleh Sjafei (Pakar Hukum & Sosiologi Universitas Syiah Kuala)
Judul: Memahami Hak Pilih TNI/Polri dalam Pemilu Menurut Kajian Konstitusi dan Sosiologi
3.      Asiah Uzia (KontraS Aceh)
Judul: Persepsi sipil terhadap wacana pengembalian hak pilih TNI/Polri dalam Pemilu 2014
 
MODERATOR: Chairul Fahmi
TEMPAT DAN WAKTU
Pelaksanaan diskusi publik ini akan dilakukan pada:
Hari/Tanggal  Jumat, 15 Oktober 2010
Pukul 09.30 – 12.00 WIB
Tempat CafĂ© Pustaka – Aceh Institute (Jl. Iskandar Muda No.12 Punge Blang Cut, Banda Aceh)
 
PENYELENGGARA
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Departemen Research and Kajian The Aceh Institute
PESERTA
Para peserta yang diundang dalam diskusi publik ini berasal Mahasiswa, Akademisi, LSM, dan berbagai pihak/lembaga Mahasiswa dan Masyarakat yang peduli terhadap isu-isu keamanan, pertahanan dan perdamaian di Aceh. Sementara diskusi ini free dan tanpa dipungut biaya apapun
Kontak Person:
1.       MUSYU [Staf Riset dan Kajian, The Aceh Institute]
Email: mosyumid@yahoo.com. Mobile: 085260543617
2.       Chairul Fahmi
Email:fahmiatjeh@hotmail.com. Mobile:081269881842
 
 

--

Aspek Hukum dan Kemasyarakatan


Berikut ini silahkan membaca dan memberikan respon atas artikel tentang “aspek hukum dan perkembangan kemasyarakatan di Indonesia”. Diharapkan isi tulisan memberikan masukan dalam hubungan dengan semangat Negara hukum dan (tipologi Spencer, serta) masyarakat kekeluargaan.

Dalam wacana hukum kritis ada asumsi bahwa aturan-aturan itu diyakini tidak berada dalam keadaan vacuum. Hukum dianggap berada dalam suatu interaksi sosial ekonomi yang kompleks. Perumusan aturan hukum karenanya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang dalam masyarakat. Perumusan UUD 1945, boleh jadi, juga tidak terlepas dari premis tersebut. Perdebatan pendiri bangsa di BPUPKI-PPKI (22 Mei-22 Agustus 1945) yang melahirkan UUD 1945 menunjukan tarik menarik kepentingan pendiri bangsa yang mewakili ragam kelompok atau aliran pemikiran. Sebagai sintesa hasil dialektika itu, UUD 1945 menampilkan kekhasan fundamental bangsa Indonesia. George McTurnan Kahin dalam karyanya Nationalism And Revolution in Indonesia mengatakan bahwa UUD 1945 setidaknya mengandung empat motivasi bangsa Indonesia, yakni: semangat anti kolonialisme, kolektivisme masyarakat hukum adat, Islam, dan Sosialisme.

Pandangan sosialistis pendiri bangsa yang mewarnai UUD1945 (sebelum amandemen) tercermin dalam pasal 27 (hak atas pekerjaan yang layak), pasal 33 (sistem perekonomian nasional), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial). Hasil studi perbandingan konstitusi menunjukan bahwa pengaturan kehidupan sosial ekonomi dalam konstitusi umumnya ditemukan di negara-negara bercorak perekonomian sosialis. Sebagaimana dikemukakan V.F Kotok dalam On The System of The Science of Soviet Constitutional Law, Hukum Tata Negara di negara-negara sosialis dipandang sebagai keseluruhan aturan hukum yang mencerminkan dan mengatur prinsip-prinsip penting, baik mengenai pemerintahan (politik: governance) maupun struktrur sosial masyarakatnya (aspek sosial-budaya, dan ekonomi).

Sementara itu di negara-negara dengan tradisi individual-liberal, tata sosial-ekonomi tidak diatur dalam konstitusinya. Jaminan konstitusional kepada rakyat hanya diberikan dalam aspek politik saja. Dalam bidang sosial dan ekonomi,  nasib rakyat diserahkan kepada keuletan dan kemauan masing-masing (urban occupational groups) untuk bekerja keras serta berkompetisi (secara etis) dengan sesamanya. Hal ini merupakan warisan hukum Romawi yang membedakan antara dominium (kekuasaan ekonomi) dengan imperium (kekuasaan politik). Montesquie kembali mempertegasnya dalam karyanya Spirit of Law: “...dengan public and political law kita dapat memperoleh kebebasan, sedangkan dengan private law kita mendapatkan hak milik. Keduanya baik untuk tidak dicampuradukan satu sama lain...”

Konstitusi dengan pengaturan sosial-ekonomi didalamnya juga dapat ditemukan di negara-negara non-komunis/sosialis seperti Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa pembentukan UUD 1945, sebagaimana dikemuakakan Kahin, telah diwarnai pemikiran “kiri”. Warna “kiri” itu terjadi karena persentuhan (kepentingan subjektif) pendiri bangsa dengan pemikiran “kiri” saat mereka menempuh pendidikan di Negeri Belanda, perkembangan Partai Komunis Indonesia serta kecenderungan di antara tokoh-tokoh pergerakan tahun 1930-an  yang mengecam kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme dengan menggunakan pendekatan marxisme sebagai pisau analisis.

Meskipun demikian, gagasan “kiri” pendiri bangsa yang dtuangkan dalam naskah konstitusi tidak mengadopsi pemikiran Marxisme-Leninisme atau sosialisme ala (versi) Barat secara mutlak. Hatta misalnya, meskipun ia dikenal sebagai inisiatior perumus Pasal 33, kerapkali ia dikecam kalangan komunis sebagai tokoh yang  berpura-pura sosialis-proletar dengan banyak menggunakan frasa-frasa “kiri”. Hatta sebagaimana pendiri bangsa yang lain rupanya hendak memperkenalkan gagasan baru yang khas keIndonesiaan. Dalam menjelaskan gagasan kolektivisme,  Hatta menolak model kolektivisme komunis yang tidak mengakui hak individu. Kolektivisme yang digagas Hatta terkandung kehendak untuk tetap mengakui hak-hak individual. Hal ini pula yang akhirnya melahirkan Pasal 28 tentang hak asasi manusia (HAM), pengaturan yang tak ditemukan dalam konstitusi di negara-negara sosialis pada umumnya. Ternyata ide Kolektivisme Hatta lebih (didasarkan pada spirit etika ekonomi) ditujukan kepada perusahaan-perusahaan besar, sementara keperluan pribadi dan rumah tangga dan hal-hal yang berhubungan dengan penghasilan keluarga tetap merujuk pada keutuhan milik pribadi. Dengan kata lain, sebagaiamana ditulis Bung Hatta dalam Daulat Ra’yat tahun 1933 bahwa semangat kolektivisme yang digagasnya adalah collectivism van voortbrengensel, yakni kolektivisme produksi yang berintikan spirit usaha bersama (koperasi), sedangkan mekanisme distribusi kekayaan tidak diprioritaskan. Sementara  kolektivisme komunis merujuk pada kerangka collectivism van bezit (eigendom) yang menekankan pada ide pembagian kekayaan, menghilangkan hak milik pribadi dan diselenggarakan secara sentralistik.

Perumusan Pasal 33 UUD 1945 juga mendapat pengaruh dari gagasan Negara Integralistik, yang saat itu berkembang di Jerman. Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo  menyampaikan gagasan Negara Integralistik, yaitu: “…dalam negara integralistik, yang berdasarkan persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara”. Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh Negara. Negara akan menentukan di mana dan di masa apa dan perusahaan apa di lingkungan pemerintah pusat atau daerah, yang diselenggarakan oleh negara atau oleh badan hukum private atau orang perorangan.” Sintesa beragam aliran pemikiran dalam perumusan  pasal 33 pada akhirnya melahirkan sebuah sistem perekonomian yang khas Indonesia, yang oleh Ir. Soekarno pada masa berkuasanya disebut sebagai Sosialisme Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam konsiderans Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 (UUPA) dan TAP MPRS No. II/MPRS/1960.

UUPA dan Partai Komunis Indonesia

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA, 1960) tak lepas dari kebutuhan untuk membentuk tatanan masyarakat baru pasca kemerdekaan dengan pola penguasaan tanah yang tidak mengandung semangat feodalisme sebagaimana dalam Agrarische Wet peninggalan pemerintahan Kolonial. Tanah sebagaimana dikemukakan Hatta, harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran besama, bukan untuk kepentingan perorangan, yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir (anggota) kelompok masyarakat (elite politik dan atau negarawan). Dengan demikian kelompok masyarakat tersebut secara langsung atau tidak dapat menindas kelompok masyarakat lainnya. Dalam konsepsi UUPA, tanah harus dikuasai oleh Negara sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang memiliki tanah tersebut. Negara hanya memiliki kewenangan publik untuk mengatur hubungan hukum antara tanah dengan orang perorang.

Selain UUPA pemerintahan Soekarno juga mengesahkan UU No 2 Tahun 1960  tentang pokok-pokok Bagi Hasil dan UU No 56 Prp. Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian yang kemudian dikenal dengan UU Reforma Agraria. Lahirnya tiga undang-undang ini merupakan milestone dalam pelaksanaan amanat pasal 33, juga menjadi tonggak penting dalam perjalanan Partai Komunis Indonesia.  

Tak dapat dipungkiri lahirnya tiga  undang-undang ini sejalan dengan visi PKI yang sejak kegagalan pemberontakan Madiun mulai melirik kekuatan petani sebagai aliansi strategis revolusi. Terlebih setelah D.N Aidit menjadi pimpinan PKI pada tahun 1951, PKI mengumumkan program agraria yang baru serta menekankan perlunya aliansi buruh-petani. Pada tahun 1953 Aidit mendesak kader PKI untuk melipat-gandakan usahanya mendapatkan dukungan kaum tani termasuk mendesak pemerintah untuk membentuk Undang-Undang Pokok Agraria.

Lahirnya tiga undang-undang agraria bercorak neo-populis itu tak pelak menjadikan PKI sebagai “pahlawan” kaum tani, sebab pembentukannya tak mungkin dipisahkan dari kiprah kader partai di pemerintahan. Dengan tiga undang-undang itu pula PKI menggerakkan massanya untuk melakukan aksi ofensif pengambil-alihan tanah yang melebihi batas maksimum menurut UU Refoma Agraria dari “tujuh setan desa” yakni: tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, calo, kaum kapitlis birokrat, manajer dan bandit desa. PKI bahkan berhasil mendesak pemerintah untuk membentuk Komando Penyelesaian Land Reform dan Pengadilan Land Reform pada tahun 1964 untuk mempercepat pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia.

Sayangnya upaya revolusioner untuk merombak tatanan pemilikan tanah dan struktur masyarakat lewat program land reform itu tidak berlangsung mulus. Suhu politik yang memanas di tingkat elit serta kesalah-pahaman pelaksanaan reforma agraria di tataran akar rumput menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang memakan korban jiwa yang tak sedikit. Pembubaran PKI serta pelarangan ajaran-ajarannya pada tahun 1966 pasca Gerakan Satu Oktober (Gestok) tak pelak membuat pelaksanaan UUPA dan land reform sebagai amanat Pasal 33 UUD 1945  terhambat, sebab citra “PKI” yang kuat melekat pada tiga undang-undang tersebut. Bahkan MPRS merasa perlu mereivisi beberapa frasa dalam UUPA yang dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntuan zaman seperti term “Masyarakat Sosialis Indonesia”, “Sosialisme Indonesia”, dan “Revolusi”.

Pemerintahan Orde Baru kemudian bahkan menafikan sdemangat dan keberadaan UUPA dengan membuat peraturan-peraturan agraria yang bertentangan dengan spirit UUPA dan pasal 33 UUD 1945. Keberadaan UUPA tetap dipertahankan karena aspek historis dan corak neo-populis yang dapat meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat. Pemerintahan pasca reformasi melangkah lebih jauh dengan mengesahkan Undang-undang Penanaman Modal yang memberi izin penguasaan tanah kepada pihak asing selama 95 tahun.

Angin liberalisasi yang berhembus pasca reformasi bahkan mengancam keberadaan pasal 33 sebagai landasan UUPA serta fundasi perekonomian nasional. Sekelompok ekonom pro-Barat bahkan mengajukan proposal untuk menghapuskan pasal 33 dari UUD 1945 karena dianggap sebagai “beban sejarah” yang membelenggu. Meskipun upaya itu gagal, Pasal 33 UUD 1945 pasca amandemen mendapat dua ayat tambahan di mana terdapat term “efisiensi”  (ayat 4) yang dapat menjadi legalisasi liberalisai perekonomian nasional. Perkembangan ini adalah tantangan "frontal" yang ditujukan kepada mereka yang berharap dapat mewujdukan masyarakat "sosialis Indonesia" lewat "konstitusionalisme populis", mereka yang berjuang demi "daulat rakyat" bukan "daulat pasar".
Lihat http://nyalaapi.multiply.com/journal/item/41/Menelusuri_warna_Merah_dalam_perundang-undangan_kita  this article was downloaded on October 13, 2010.