Saturday, September 18, 2010

Apa itu Individualisme?


Individualisme

Konsep individualisme[1] memiliki pengertian (terms) ganda. (1) sebagai doktrin yang berkaitan dengan liberalisme yang menekankan pada kemandirian (autonomy), kepentingan (importance), dan kebebasan (freedom) individu dalam hubungan dengan masyarakat dan negara. (2) individualisme juga dipahami sebagai budaya dalam masyarakat modern yang berkaitan dengan kepemilikan pribadi (private property), konsumsi, dan subjektivitas.

Gagasan individualisme merupakan suatu hubungan interconnected dengan suatu rentang (range) istilah yang mendasar dalam teori politik dan sosial. Oleh karena itu, ia perlu dibedakan dalam beberapa penekanan berikut ini:
  1. ‘the individual’ sebagai seorang agen mandiri (autonomous agent) dengan suatu identitas tersendiri;
  2. individualisme sebagai suatu ideologi sosial dan politik dengan berbagai tradisi nasional;
  3. individualitas sebagai suatu tinjauan romantik dari keunikan seseorang memperoleh pendidikan dan perkembangan; dan
  4. individuasi sebagai suatu proses dengan jalan mana orang distandardisasikan oleh suatu proses birokratis.

Posessive individualism dan laissez-faire individualism, dalam teori sosiologi, dianggap sebagai suatu pertahanan ideologis atas kepemilikan pribadi, pasar, dan kapitalisme industrial. Tradisi sosiologis menginterpretasi individualisme utamanya sebagai suatu doktrin radikal yang memiliki efek-efek merusak (corrosive effects) terhadap tatanan sosial. Hal ini berkaitan dengan ide bahwa setiap individu mempunyai pendapat-pendapat penting yang mengancam tradisi dan otoritas. Individualisme dalam konteks ini seringkali dikaitkan dengan egoisme.

Durkheim dalam Suicide (1951) mengklaim bahwa individualisme, ekspektasi-ekspektasi egoistik dari  peredaran bisnis, anomie, dan solidaritas sosial lemah yang menghasilkan angka bunuh diri yang tinggi. Individu-individu dengan hubungan sosial lemah utamanya cenderung untuk melakukan “bunuh diri egoistik”. Sebaliknya, peninggalan Weber berkait dengan “individualisme metodologis”, yakni dengan pandangan bahwa  semua konsep-konsep sosiologis merujuk atau dapat direduksi pada karakteristik individu-individu. Weber mengklaim bahwa ia berkeinginan untuk membersihkan sosiologi dari “konsepsi-konsepsi kolektif” dan mengembangkan argumen-argumen kausal berdasarkan pada tindakan-tindakan sosial para individu. Sosiologi interpretatif Weber tentang tindakan dalam Economy and Society (1978) mengembangkan tipe ideal dari kapitalisme, birokrasi, dan pasar untuk menghindari reifikasi dari konsep-konsep yang merupakan karakteristik versi positivistik dari ilmu-ilmu sosial.

Perkembangan teori sosiologi melibatkan berbagai upaya untuk memecahkan dilema konsep-konsep institusi sosial tentang kolektif dan individual. Misalnya, Weber mengkritik (criticised) suatu konstruksi statik artifisial dan sejarah tentang individu dan masyarakat. Dalam The Society of Individuals, Norbert Elias (1991) mengecam Weber atas ketidak-mampuannya untuk mendamaikan tensi-tensi analitis antara “the individual” dan “society”. Kegagalan ini berkaitan secara sukses dengan divisi artifisial ini sebagai bagian dari suatu kelemahan umum teori sosiologi. Solusi Elias adalah untuk menganalisis dua konsep tentang individual dan masyarakat sebagai konstruk sejarah muncul dari proses sosial. Keseimbangan antara society (we) dan the individual (I) tidak diurus (is not fixed), dan karena itu apa yang disebut “process” atau “figurational sociology” didesain untuk menggali keseimbangan the we-I dalam konfigurasi-konfigurasi sosial berbeda seperti feudalisme atau masyarakat bourgeois.

Dalam The Structure of Social Action (1937), Talcott Parsons mengembangkan suatu kupasan sistematis (systematic criticism) mengenai asumsi-asumsi individualisme utilitarianisme. Argumennya mempunyai dua komponen utama. Pertama, jika para aktor ekonomi adalah rasional, selanjutnya mereka akan bertindak dalam suatu sikap self-interested untuk memaksimalkan sumberdaya mereka. Jika asumsi-asumsi ini benar, selanjutnya manusia akan menggunakan kekuatan (force) dan kecurangan (fraud) untuk mencapai tujuan (ends) individual mereka. Oleh karena itu, teori ekonomi tidak dapat menjelaskan tatanan sosial. Kedua, Parsons mengamati bahwa untuk memecahkan “the Hobbesian problem of order”, teori ekonomi telah memperkenalkan asumsi-asumsi tambahan seperti “the hidden hand of history” atau “sentiments” untuk menjelaskan bagaimana tatanan sosial muncul. Bagaimanapun, asumsi-asumsi tambahan ini tidak compatible dengan asumsi-asumsi awal tentang self-interest dan maximisation. Kupasan-kupasan Parsons adalah penting dalam perkembangan tradisi sosiologi yang menyangkal “society” hanya suatu kumpulan para aktor ekonomi yang self-interested. Society hanya dapat eksis di mana ada shared traditions, cultures, dan institutions.

Konsep aktor sosial dari Weber dan Parsons merupakan suatu konstruk analitis yang muncul dari hubungan (engagement) mereka dengan teori ekonomi. Hal itu mungkin untuk membela Weber dan Parsons terhadap Elias. Dalam tulisannya tentang sosiologi agama, Weber mengembangkan gagasan tentang “personality” dan “life orders” dalam mana suatu struktur personalitas bukanlah a given, melainkan diusahakan melalui pendidikan dan disiplin. “Personality”  seringkali berada secara berlawanan dengan the “life orders”  of the economy and the state, dan dengan pertumbuhan kapitalisme, personality diancam oleh pengaruh regulatory dari rasionalitas praktis dunia sekular. Budaya-budaya yang berbeda mempunyai tatananan kehidupan berbeda yang melahirkan personalitas-personalitas yang berbeda.

Tocqueville, Individualisme, dan Budaya Amerika

Ada suatu tema yang tetap dalam sosiologi modern yang mengatakan bahwa individualisme abad-19 telah diruntuhkan oleh pertumbuhan masyarakat banyak (mass society) pada abad-20. Perdebatan dimulai oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859), yang dalam bukunya Democracy in America (1969) meyakini bahwa kekurangan dari pemerintahan sentralistik, birokratik di Amerika telah mendorong inisiatif individual dan asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh subur untuk memecahkan persoalan-persoalan lokal, komunitas. Civil Society tumbuh subur sebagai hasil dari asosiasi-asosiasi ini, dan individualisme tidak dapat dihancurkan oleh administrasi terpusat. Namun, penekanan pada persamaan, walaupun suatu doktrin revolusioner, juga mengancam individu dengan pendapat massa. Ketakutan Tocqueville pada pendapat individu dalam suatu demokrasi massa mempengaruhi orang-orang liberal seperti Mill terhadap hak pilih universal di Britain.

Para toretisi kritis dalam abad-20 meneruskan melakukan studi pengaruh masyarakat massa pada individu. C.Wright Mills (1956) dalam The Power Elite mengklaim bahwa para individu semakin dimanipulasi oleh pendapat publik dalam suatu masyarakat di mana para elite mengontrol saluran-saluran informasi. David Riesmann dalam The Lonely Crowd (1950) menganalisis personalitas orang Amerika sebagai the other-directed character, karena ia bergantung pada persetujuan dan afirmasi dari others. Personalitas-personalitas other-directed adalah konformist, dan karena itu masyarakat Amerika mengalami stagnasi. Dalam The Organization Man (1956), W.H.Whyte menggambarkan para eksekutip perusahaan berbadan hukum Amerika, yang mobil, tidak berhubungan dengan komunitas lokal mereka, dan mengabdi pada prestasi personal dalam organisasi. Dalam Habits of Heart, Robert Bellah dan teman-temannya (1985) melakukan suatu studi sikap-sikap kontemporer yang berpengaruh pada politik yang dimaksudkan untuk mereplikasi studi Tocqueville. Mereka menemukan bahwa orang-orang Amerika dialienasi dari politik pada level formal, namun komitmen mereka pada masyarakat diekspresikan melalui banyak asosiasi lokal dan informal.

Sosiologi tahun 1950-an mengkreasi suatu gambar standardisasi sosial atau individuasi yang tampaknya meruntuhkan (undermined) individualisme biadab awal kapitalisme. Studi-studi sosiologi kontemporer telah menarik suatu teori masyarakat post-industrial yang mengatakan pola-pola modern dari pekerjaan, misalnya, dalam sektor pelayanan, dibagi-bagi (fragmented) dan tidak memerlukan loyalitas pada perusahaan. Pekerjaan dalam tahun 1990-an telah menjadi sederhana (casualised), part time, dan tidak berlanjut. Individu yang teralienasi dari mass society telah digantikan oleh suatu tenaga kerja yang tidak memiliki sense of identity dengan perusahaan, dan banyak orang yang tidak mempunyai pengalaman suatu karir sepanjang hidup. Suatu perasaan stabil dan identitas terus-menerus dikikis (eroded) oleh pengaruh teknologi pada karir. Implikasi dari studi-studi pekerjaan post-industrial ini adalah bahwa individualisme tabiat keras (rugged individualism) dari awal kapitalisme digantikan oleh post-modernitas. Hasilnya, pemikiran sosial kontemporer telah mengkonseptualisasikan individu sebagai seorang yang ragu-ragu (uncertain), kepribadian yang ditunggangi kegelisahan (anxiety-ridden personality) yang akar-akarnya dalam masyarakat telah dilepaskan oleh kecepatan perubahan teknologi, erosi dari komunitas, dan sekularisasi dari budaya tradisional.

Sebagai akibatnya, individu modern adalah sekali lagi terlepas dari komunitas dan terjerat oleh suatu variasi proses yang bertentangan. Ada suatu pandangan luas dalam sosiologi bahwa budaya-budaya konsumsi modern tunduk pada proses-proses standardisasi global, misalnya, sebagai suatu konsekuensi dari McDonaldisasi, dan preferensi-preferensi individual mudah dihasilkan oleh periklanan modern.


[1] Ritzer, George, ed. Encyclopedia of Social Theory, Vol. 1. Sage Publications, Thousand Oaks, London, 2004.

No comments: