Wednesday, November 17, 2010

Mengapa Kemiskinan dan Pengangguran di Aceh?


Dear all,

Adalah sangat menarik temuan doktor Agus_Sabti bahwa "penyebab utama miskin adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat)". 

Coba saja faktor utama, kurangnya kreativitas (disebabkan variable antecedent pengetahuan & keterampilan), ditelaah secara akademis mestinya ditemukan lokomotif (prime mover) yang menghasilkan "budaya kreatif" warga masyarakat kita. Sejauh amatan saya (subjective understanding) institusi pendidikan (sistem nilai, struktur, dan organisasi) kita yang sudah tidak compatible (atau bahkan tidak conducive) dengan karakteristik komunitas kita. Institusi pendidikan (rasional) modern hampir seluruhnya tidak match dengan kondisi sosial-budaya kita yang masih (tradisional: afektual+emosional) konservatif. Sejauh ini kebanyakan kita merujuk pada kaidah-kaidah pendidikan dan pengajaran yang tidak memenuhi kriteria "independent, kompetitif, dan meritocracy". Umpamanya, bagaimana hubungan antara kejujuran dan kebenaran dengan capaian dalam sistem seleksi atau ujian masuk Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, penerimaan kerja PNS, termasuk Ujian Akhir Negara (UAN), dan sebagainya.

Semua gambaran tersebut menurut hemat saya telah membawa-serta konsekuensi pada kelemahan kreativitas peserta didik, yakni masyarakat. Dengan strategi pemahaman subjektif itu saya juga memperoleh data bahwa aplikasi sistem pendidikan Perguruan Tinggi (PT) S1 dan S2 kita selama ini, setidaknya di lingkungan saya bekerja sebagai dosen, tidak banyak memberikan harapan (5-10 tahun ke depan) terhadap penanggulangan kekurangan dalam hal kreativitas lulusan PT. Jadi, kita akan menghasilkan calon-calon penganggur (intelektual) terdidik di Aceh. Industrialisasi yang merambah ke institusi pendidikan, sadar atau tidak sadar, akan memberikan imbas balik kepada kita semua dalam wujud pengangguran dan ketidak-percayaan (distrust) di antara kita, terlebih lagi para investor. Ini adalah salah satu ancaman modal sosial (social capital) kita yang berpengaruh pada modal ekonomi kita ke depan.

Untuk mengendalikan keadaan sosial ekonomi daerah kita agar tidak semakin prihatin, sebelum terlambat, kita perlu meningkatkan rasionalitas, utamanya di bidang pengelolaan pendidikan. Peran lembaga ini amatlah strategis dalam upaya menanggulangi faktor utama kemiskinan, yakni kelemahan kreativitas warga atau calon-calon pencari kerja ke depan. Kita tidak harus terperangkap lagi dengan pranata pendidikan adat-tradisional yang tidak antisipatif atas tantangan konsekuensi latent modernitas industrial. Kita mesti merubah paradigma berpikir (way of life) yang conducive bagi kesuksesan duniawi yang asketis.

Demikianlah sekelumit tanggapan terhadap faktor utama penyebab kemiskinan dan pengangguran di daerah kita. Semoga mendapat masukan kritis dan dialektis dari warga milis semua untuk masa depan Aceh yang menjanjikan. Mohon maaf jika ada kata yang tidak pada tempatnya.

Salam idul qurban, saleh sjafei
------------------------------
Re: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
Wednesday, November 17, 2010 10:56 PM
From:

Kemiskinan itu penyebabnya adalah multikorelasi. Tapi kalau dilihat dari potensi negeri ini penyebab utamanya lebih karena faktor non-fisik dari pada faktor fisiknya, yakni mental pejabat dan mental rakyatnya yakni kurangnya kreatifitas dalam berinovasi. Hasil penelitian saya tentang penyebab kemiskinan menunjukkan bahwa penyebab utama miskin adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat).  
Temuan ini menunjukkan bahwa program pemerintah yang selalu mengandalkan bantuan fisik dalam mengurangi orang miskin adalah salah kaprah. Karena yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kreatifitas masyarakat miskin. Misalnya membangun irigasi untuk seluruh jaringan sawah dan membangun jaringan jalan (minimal pengerasan) ke sentra produksi, di samping membangkitkan kembali gairah penyuluhan.  hal yg lebih penting lagi bagaimana pemerintah bisa menjamin pasar dan harga dari hasil pertanian rakyat. Dengan demikian tidak ada alasan petani tidak bertani karena tidak ada air, tidak ke ladang karena terlalu jauh. Dan kalau harga tinggi, petani pasti akan muncul kreatifitasnya. Ingat waktu nilam melonjak harganya, semua petani kreatif mencari informasi dan menanam nilam. syang itu tdk bertahan lama.  
Oleh sebab itu, saran kepada pemerintah, Orientasi produksi pertanian harus dirubah dari on-farm (pertanian budidaya) ke pertanian off-farm (pengolahan hasil dan pemesarannya) dan jangan suka cuma duduk di kantor atau warung kopi, tapi kerahkan semua anak buah ke lapangan sehingga mereka tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakatnya. ini tidak mustahil dan sdh dipraktekkan di Cina dan India. Mereka berhasil, semoga kita juga berhasil shg negeri ini bisa berjaya ke depan. Sayang sekali masyarakat kita miskin di tengah sumberdaya yang melimpah. Semoga bermanfaat, Agussabti.
---------------------------
2010/11/18 Adie Usman MUSA <adie.usman@gmail.com>
Kok tanya ke ekonom? Apakah memang kemiskinan itu urusannya Ekonom? Bukankan semua sektor dengan beragam profesi berkontribusi pada peningkatan/pengurangan kemiskinan? hmm...

Saleum,
============
INSTITUT GREEN ACEH (IGA)


"...the old is destroyed...time itself changes...
and upon the ruins of destruction...
flowers a new life"
(Schiller: Wilhelm Tell)

----- Original Message -----

From: HELB
Sent: Thursday, November 18, 2010 10:23 AM
Subject: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?

Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ke-tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya. Pada satu sisi data menunjukkaan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen dibandingkan dengan data pada tahun 2009. Namun pada sisi lain, angka ini belum sepenuhnya menjadi berita gembira karena angka kemisikinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata prosentase nasional yang berkisar pada angka 13, 33 persen.
Melihat data diatas, maka kesimpulan kita Provinsi Aceh belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal, padahal provinsi ini tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliyun rupiah. Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika Aceh termasuk daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah yang dapat dikelola untuk mengurangi angka kemiskinan diatas (Serambi, 08/11/2010)
-------------------

Monday, November 15, 2010

Makna dan Kuasa Dalam Krisis Epistimologi Ilmu Pengetahuan


Dear all,

Saya hendak mengemukakan 'belum lagi para (natural & social) scientists (professor & doktor) Unsyiah memperlihatkan experimentasi cara-cara berpikir, bersikap-tindak, dan berperasaan berdasarkan kerangka rasionalisme (Rene Descartes: I think therefore I am)', dunia keilmuan sudah mengalami krisis epistimologi, antara lain, kedudukan dan penteoreannya dalam ilmu pengetahuan.

Epistimologi adalah wilayah kajian penelaahan urgensi segala praktik ilmiah. Sebagaimana yang ditulis Gaston Bachelard (1884-1962) dalam The Philosophy of No: A Philosophy of the New Scientific Mind, 1968, bahwa "ruang yang diamati seseorang, yang diperiksa oleh seseorang, secara filosofis sangat berbeda dengan ruang yang dilihatnya". Hal itu disebabkan ruang yang dilihat seseorang selalu merupakan ruang yang direpresentasikan, bukan ruang yang nyata.

Bachelard terus berusaha mengusulkan suatu "telaah sistematis tentang representasi, bentuk pengantaraan yang paling natural dalam menentukan relasi antara noumenon dan fenoumenon". Dalam kaitan itu Bachelard melalui karyanya The Scientific Spirit mengatakan ada dua landasan metafisis yang fundamental, yakni rasionalisme dan realisme. Landasan pertama adalah wilayah interpretasi dan penalaran; dan landasan kedua memberikan bahan-bahan bagi rasionalisme untuk melakukan interpretasinya.

Bagi Bachelard bersikap ilmiah itu tidak berarti mengistimewakan rationality atau reality, melainkan mengenali (secara sungguh-sungguh) adanya relasi yang tak-terputuskan antara keduanya. Salah satu ungkapan Bachelard yang terkenal bahwa "eksperimen harus memberi kesempatan untuk munculnya argumen, dan argumen harus dikembalikan ke eksperimen". (Untuk konteks pengembangan keilmuan di Unsyiah diperlukan pengetawantahan praktik laboratorium ilmiah para professor & doktor (civitas akademika) ke dalam wujud argumen-argumen intelektual). Dalam rangka untuk menanggulangi krisis tersebut Bachelard mengusulkan kerangka 'rasionalisme terapan' untuk menunjukkan landasan teoretis pada berbagai eksperimentasi berbeda. Hence, rasionalisme yang mendalam selalu adalah rasionalisme terapan yang dipelajari dari realitas. Bechelard setuju dengan pandangan bahwa kaum empiris bisa mempelajari realitas dari kaum teoretisi bila suatu teori dikembangkan sebelum eksperimen yang berkaitan dengannya dilakukan. Ini untuk memperlihatkan teori membutuhkan keterkaitan eksperimental untuk bisa memperoleh keabsahannya.

Usulan Bachelard yang lain adalah kritiknya atas teori evolusi dalam strukturalisme melalui sejarah ilmu. Ia menggambarkan bahwa perkembangan ilmu yang terjadi sebelumnya tidak selalu menjelaskan keadaan ilmu di masa sekarang. Umpamanya, kita tidak mungkin bisa memberikan penjelasan tentang teori relativitas Einstein sebagai perkembangan dari teori fisika Newton. Itu artinya, "dogma-dogma baru tidak berkembang dari yang lama, namun yang baru merangkum yang lama".

Dengan kata lain, generasi kaum intelektual tercakup satu di dalam yang lain. Saat kita berpindah dari fisika Non-Newtonian ke fisika Newtonian kita tidak menemukan kontradiksi, namun kita mengalami kontradiksi. Analog dengan itu, pada saat atau sudut pandang yang digunakan (apa yang dilihat dan direpresentasi) para pimpinan itu berbeda dari apa yang dilihat para pekerja (civitas akademika) Unsyiah di lapangan. Para pempimpin tidak menemukan adanya kontradiksi secara formal (makro, struktural, politis), namun civitas akademika, para pegawai secara nyata (internal, mikro, substansial, fungsional: mengalami masalah) di lapangan, dan sebaliknya.  

Demikianlah gambaran perkembangan dialektika epistimologi keilmuan saya sampaikan untuk merangsang diskusi di kalangan para ilmuan kampus Unsyiah. Saya mohon maaf jika ada hal ikhwal yang tidak semestinya saya utarakan di sini.
 
Salam hormat, saleh sjafei 
Sent from my BlackBerry®