Menuju Aceh Baru:
Refleksi Dualisme Pandangan Dunia ª
---------------------------OOOOOO-----------------------
Akhir-akhir ini ada kecenderungan cara-cara berpikir dan bersikap-tindak dalam komunitas Aceh semakin tidak memperlihatkan kerangkanya yang jelas, nyata, dan tegas (distorsi etika keseragaman). Panduan lama dalam wujud ‘moralitas’ dan ‘hukum lokal’ yang lebih menekankan pada pandangan dunia komunal (komunalisme-relijius) dengan landasan identitas sejarah dan jati-diri keAcehan sudah melemah. Pola berpikir itu hampir tidak efektif lagi sebagai schemata legitimasi untuk mengatasi pengalaman hidup baru para agensi Aceh yang makin rasional. (Lihat Persekongkolan terorganisir secara kekeluargaan, KKN merambah ke berbagai ranah birokrasi-publik, sebagai perselingkuhan hasil distorsi itu). Kerangka panduan hidup rujukan kita sedang mengalami ancaman anomali akibat modernisasi global yang tak-terhindarkan.[1]
Sementara acuan ‘hukum’ baru dengan pandangan dunia (schemata legitimasi) individualisme-rasional belum kunjung datang sepenuhnya. (artinya, sebagian pola pikir itu sudah diterima melalui qanun-qanun Aceh dengan berbagai keterbatasan), (mungkin itu pun karena dijemput oleh agensi Aceh untuk kebutuhan akulturasi dengan arus global). (Agensi itu mencakup para subjek yang memiliki capacity dan knowledgeability termasuk elemen-elemen the iterational, the projective, dan the practical evaluative). Panduan baru itu adalah kebiasaan mutakhir para agensi masa kini yang berbasis heterogenitas dan akomodatif bagi kesadaran dan kebutuhan Aceh kontemporer. Namun demikian, terdapat clash dalam kedua world-view tersebut yang berakibat pada agensi individual.
Jika pola hidup lama didasarkan pada komunalisme-religio-magis yang terkonsolidasi dan relatif lebih tertutup (dogmatis dan ideologis), maka acuan hidup masyarakat Aceh Baru yang mungkin bisa mengatasi tegangan itu seyogianya dilandasi spirit individualisme-relijiusitas-rasional (semacam wordly asceticism) yang terorganisasi dan menjunjung keterbukaan (dan meritocracy).[2] (konsep Individualisme di sini adalah ‘the individual’, agensi mandiri, dengan suatu identitas tersendiri; termasuk juga produk individuasi standarisasi dalam proses birokrasi, yang berbeda dari individualisme sebagai ideologi sosial dan politik dengan berbagai tradisi nasional.
Gejala perubahan berpikir komunitas Aceh lama menuju masyarakat Aceh yang baru tentu saja berkaitan dengan masalah moralitas. Sistem nilai-budaya lama mengalami tantangan moralitas okupasi masyarakat masa kini yang cenderung sekular. Hal ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat Aceh sedang bergelimang dengan pelbagai wujud mobilitas dan kelompok okupasi sehingga proses transisi dari moralitas-kolektif menuju moralitas-individual rasional tak mungkin ditolak.[3] Lihat perselisihan kedua moralitas itu bergelut dalam proses pendidikan modern di mana harusnya kekuatan individu menjadi dasar strukturalnya.
Dalam proses yang demikian itu tentu terjadi perselisihan, di mana schemata struktural (moralitas normatif dan hukum positif) lebih menentukan kebutuhan para agensi masa kini. Pertanyaannya adalah bagaimana refleksi kita atas dualisme pandangan dunia,[4] yang mengandalkan hubungan deterministik pada keberadaan para agensi dan masyarakat Aceh baru?
Tulisan ini lebih bercorak usulan kerangka pemikiran (baik perspektif filosofis maupun paradigma sosiologis) bagi pemerhati dan praktisi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam upaya kita memberikan tempat, ruang, dan waktu bagi hubungan jalin-menjalin agensi manusia dan masyarakat Aceh. Kerangka tersebut merupakan pandang dunia mutualitas sebagai pilihan solusi untuk membangun strukturasi, corak baru pada pandangan dunia masa depan Aceh. Bangunan baru yang saling menghidupkan dan tidak mematikan melalui “moralitas dan hukum” dalam pelbagai praktik sosial kemanusiaan yang penuh tantangan.[5]
---------------------------OOOOOO-----------------------
Konsep enlightenment agaknya patut dijadikan titik sentral pembangunan agensi Aceh masa depan. Metafora dasar pencerahan adalah cerah, yang diasumsikan sebagai terbitnya kejernihan pemahaman intelektual. Metafora ini berhadapan dengan kegelapan sebagai konsekuensi keabaian dan kebingungan emosional yang melekat kuat pada tatanan masyarakat lama yang tradisional (the old order).[6] Pada era pencerahan muncul konsensus bahwa tanggung jawab moral yang tercerahkan terdapat dalam pendidikan politik yang memberdayakan masyarakat.[7] Landasan pencerahan ini sangat relevan dengan kondisi struktural kita yang lebih merujuk pada kesadaran (sejarah) komunitas lama dengan keberadaan agensi manusia masa kini yang semakin progresif.[8]
Proyek pencerahan lebih pada upaya untuk memperbaiki segala kebiasaan, termasuk gejala takhyul, keterbelakangan, praktik-praktik sosial dan institusi-institusi yang “memelihara” semua kebingungan (dark) itu.[9] Tujuan proyek adalah untuk melakukan emansipasi masyarakat dari kekangan-kekangan kuat dan prasangka-prasangka mematikan (“pengusiran non-manusiawi karena melanggar moralitas adat”), seperti “pembunuhan watak” (character assassination) dari rahim tradisi dan sistem nilai-budaya relegi peninggalan era kegelapan.[10] Dengan “ucapan salam perpisahan” untuk “masa kegelapan” dan “rezim kuno”, sebagaimana diucapkan pemikir pencerahan, itu berarti nalar manusia telah hidup sebagai pengendali dan refleksi diri menuju arah terwujudnya suatu masyarakat yang baik (the good society).[11]
Di penghujung abad ke-18 masyarakat dunia kembali pada ucapan terkenal seorang filosof Romawi, Horace (65 SM), yakni Sapere Aude, Dare to Know, and Have the courage to use your own understanding. Makna bebasnya, hai agensi manusia “teguhlah kamu pada hasil pemikiran sendiri”, “jangan hanya membeo”, (“jangan meniru saja perkataan orang lain tanpa memahami maksudnya”), “pakailah akal-budimu”. Itulah antara lain ungkapan pemikir pencerahan melalui tanda seru besar.[12] (Bandingkan dengan Karya sufis Jalaluddin Rumi)
Immanuel Kant (1724-1804) adalah barisan pemikir itu, dengan pernyataannya bahwa enlightenment is man’s emergence from immaturity. [13] Inti pencerahan itu adalah kematangan berpikir (yang menghasilkan kebebasan dilandasi tanggung jawab untuk bertindak dengan pemahamannya sendiri), dan mampu merealisasi pemahaman hasil pemikirannya itu tanpa tergantung pada bantuan orang lain. (Betapa produktivitas kita pasca-BRR di Warkop semakin menurun secara rasional, itu pengalaman imitasi pada gaya hidup para pendatang).
Dengan demikian, pendewasaaan diri agensi manusia menempatkan kebenaran bersinggasana pada nalar akal-budinya.[14] Kebenaran tidak berdiam diri pada (perkataan) mulut para “penguasa” wilayah relegi.[15] Immanuel Kant menyalahkan zamannya karena tidak mendaya-gunakan nalar untuk menjadikan manusia matang, dewasa. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pematangan diri manusia adalah pembenaman rasionalitas (akal-budi) sebagai pemandu kehidupan mereka.[16] Jadi, pencerahan adalah ‘suatu proses di mana manusia berpartisipasi sekaligus tindak keberanian melakukan penyempurnaan diri secara personal’.[17]
Memang pada masa Kant terbukti orang-orang dengan berani menggunakan pemahamannya sendiri dalam menanggung batu ujian dari (kekuasaan) kebiasaan represif, prasangka mematikan, kesewenang-wenangan kekuasaan, meskipun nyawa taruhannya.[18] Pameo “lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai” menjadi prinsip yang dijunjung tinggi masyarakat pada masa itu. Pengalaman Galileo Galilei pada abad ke-17 adalah drama paling tragis sebagai upaya penolakan tegas atas otoritas kontrol rohaniawan terhadap segala bentuk pengetahuan dan (monopoli) klaim absolut atas kebenaran duniawi.[19]
---------------------------OOOOOO-----------------------
Kerangka refleksi dualisme pandangan dunia ini diambil dari teori Strukturasi Anthony Giddens, 1984. Ia menaruh perhatian pada masalah dualism yang menggejala dalam teori ilmu-ilmu sosial. Dualisme itu berupa Clash antara subjektivisme dan objektivisme, voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme adalah pandang dunia yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan objektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan pandangan dunia yang menekankan gejala keseluruhan di atas tindakan individual. Jadi, praktik sosial kebijakan publik di Aceh, boleh jadi, memperlihatkan bagaimana profil konstitusi masyarakat Aceh. (Kerangka acuan relasional mengandaikan perangkat berpikir analogi dan penalaran abstrak; dan karena itu patut kita kaitkan penjelasan ini dengan pelbagai tradisi para filosof dan intelektual Islam pada masa kejayaannya).
Beberapa pengalaman empirik dalam masyarakat Aceh baik secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik memperlihatkan dimensi positif (sebagaimana adanya) degradasi moralitas-kolektif dan kemunduran rasionalitas-substantif.[20] Hubungan sosial emansipatif, egaliter, sejajar, misalnya, yang diperagakan para pelayan publik (birokrat, administrator, pemerintah tempatan) kita di banyak organisasi pemerintahan sipil dan militer, birokrasi formal, informal, non-formal masyarakat semakin tidak dilandasi hubungan rasional (impersonal).[21] (Pelaku) organisasi sosial (-politik) produk Iptek modern, dan karenanya juga para administrator, apparatus, tidak menggunakan pandangan dunia (cara-cara berpikir dan bersikap-tindak) yang kondusif dengan putaran mesin birokrasi rasional yang menekankan pada hubungan impersonal, efisien dan efektif.[22] Dalam kaitan itu, ada banyak masalah yang menimbulkan katidak-adilan, ketidak-jujuran, dan ketidak-benaran bagi masyarakat luas, utamanya oligarki kekuasaan yang merugikan banyak orang tidak mampu.[23]
Kondisi sosial-budaya dalam bidang pendidikan kita juga patut menjadi perhatian yang non-deterministik. Artinya, ada hubungan tidak seimbang antara kapasitas dan kompetensi para agency (guru-guru, para dosen, pengajar, dan pimpinan di berbagai institusi pendidikan) dengan perangkat sistem pembelajaran yang modern-rasional.
Pendekatan ini tidak bermaksud untuk menyederhanakan bahwa semua produk pemikiran rasional itu memiliki hubungan mutualitas dengan para subjek dalam masyarakat kita yang sedang membangun. Sebagaimana dinyatakan Ignas Kleden bahwa variabel latar belakang pengalaman dan kepentingan-kepentingan atas dasar perbedaan ras, kesukuan, dan keagamaan membuat warna demokrasi kita lebih dinamis dibandingkan pengalaman negara-negara di Eropa yang relative homogen. Oleh karena itu, ada paradoksnya bahwa pendekatan relasional mengganggap penting sejumlah kearifan lokal redefinisi dari cara-pandang komunitas lampau yang patut dijadikan modal sosial bagi para agensi (atas/besar, menengah/sedang, dan bawah/kecil) untuk membentuk kerangka acuan baru yang inspiratif dan membumi.[24]
Pengalaman yang mencerahkan para agensi baik dari Immanuel Kant maupun Ibnu Rusyd patutlah diambil saripatinya untuk memungkinkan masyarakat Aceh generasi baru memiliki kapasitas individual dan komunal serta stock-pengetahuan lokal dan universal. Tidak semua struktur (moralitas dan hukum) masa lampau baik dari dalam maupun dari luar Aceh kadaluarsa untuk keperluan landasan masyarakat sekarang dan masa mendatang. Untuk kepentingan itu generasi lama (representasi pemimpin kenegaraan) haruslah meningkatkan relasi-bersinerji mereka dengan kaum muda (representasi agensi kemasyarakatan) secara mandiri (swadaya) dan terorganisasi (terencana) secara rasional.[25]
Dengan andalan kerangka pikiran yang mencerahkan semua pihak, baik para pemimpin yang mewakili organisasi kemasyarakatan atau negara (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) maupun masyarakat secara individual dan kelompok patut bersinerji. Relasi kerjasama kedua pihak untuk kepentingan pembangunan nurani kemanusiaan yang adil dan beradab, utamanya di Aceh mestinya didasarkan pada parameter kapasitas dan knowledgeabilitas yang objektif. Hanya agensi yang memiliki kedua ukuran tersebut yang mampu memberikan pengaruh yang menentukan dan berjalinan secara signifikan pada bentukan panduan berperilaku baru. Dilihat dari kekhasan Aceh secara subjektif adalah sangat mungkin titik sentral pembangunan nurani kebersamaan yang sinerji ke depan strategis dimulai dari kampus sebagai taman ilmu pengetahuan modern-rasional dan peradilan mahkamah syariah yang mencerahkan secara humanis.[26]
---------------------------OOOOOO-----------------------
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu dapat diturunkan ke dalam beberapa simpulan berikut ini.
1. Ketiadaan pencerahan (transformasi) yang tuntas dari perjalanan kemasyarakatan Aceh masa lalu dan masa sekarang terlihat nyata melalui dominasi dan clash panduan moralitas dan hukum yang bersifat deterministik. Sistem nilai-budaya masa lampau cenderung secara sepihak dilegitimasi para elite dan cendekiawan kita tanpa landasan keilmuan yang memadai untuk menjadi panduan masa kini yang aspiratif dan humanis. Semangat pencerahan dengan komitmen relasional demokratis dapat memungkinkan sebagai pilihan sadar untuk pembangunan masyarakat Aceh yang bermartabat. (harkat-martabat dalam wujud jujur, benar, dan adil, amanah, dan istiqamah).
2. Masyarakat Aceh sedang mengalami kegelisahan akan kehilangan identitas dan martabat secara ideologis(-politis) dan tak-terukur. Kegundahan itu membawa-serta konsekuensi daya pikir para agensi keacehan mengalami kemandegan dan tidak lagi berorientasi pada pencerahan akal-budi yang terorganisasi secara sadar dan didukung oleh semangat asketis yang mengglobal.
3. Untuk menuju masyarakat yang seimbang dan demokratis dalam bingkai keAcehan baru dibutuhkan beberapa prasyarat yang lama dan pengalaman sekularisasi non-determinisme. Jalinan relasional antara schemata struktural (moralitas dan hukum) dan agensi keacehan, keduanya, akan menghasilkan acuan konsepsional yang mencerahkan secara internal (pendidikan logika, etika, dan estetika melalui berbagai institusi non-formal, informal, dan formal, utamanya Kampus Universitas di Aceh sebagai taman pengetahuan yang non-ideologis) dan eksternal (peradilan agama, Mahkamah Syari’ah yang humanis) dalam wujud referensi pandangan dunia yang rasional dan universal.
---------------------------OOOOOO----------------------
ª Naskah ini dipersiapkan sebagai Narasi Kebudayaan pada acara “Tafakur Kemanusiaan”, di Ballroom Hermes Palace, Banda Aceh, Jumat/31 Desember 2010. Terima kasih kepada Prof. Bahrein T. Sugihen, Ph.D. yang telah membaca dan memberi warna agensinya pada naskah ini.
§ Setelah belajar Hukum dan Pembangunan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, penulis meneruskan pendidkan jenjang magister dan doktoral dalam bidang sosiologi pada FISIP-UI. Saat ini yang bersangkutan adalah lektor kepala dalam bidang sosiologi hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
[1] Betapa Produk hukum formal, Qanun Jinayat 2009, yang pernah mendapatkan tanggapan pro-kontra beberapa waktu lalu baik di tingkat nasional maupun dunia dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. Lihat http://www.acehkita.com/berita/qanun-jinayat-melanggar-ham/ diakses pada 25 December 2010.
[2] Lihat berbagai diskusi untuk membedah isi Rancangan Qanun (Raqan) Tahun 2010 Tentang Wali Nanggroe sebagai salah satu panduan yang diusulkan Lembaga Legislatif Aceh. Raqan itu hampir tidak ada relasi positif antara kesadaran komunitas (bangsa) Aceh masa lampau (era Monarchi dan teokrasi) dengan keberadaan masyarakat yang heterogen masa kini. (Serambi Indonesia, 18 Desember 2010:2).
[3] Beberapa ahli ilmu sosial sepakat bahwa bentuk panduan hidup masyarakat yang menekankan pada moralitas kolektif (hati nurani bersama) cenderung lebih banyak menggunakan hukum yang menindak (represif) daripada dalam masyarakat urban (perkotaan, kosmopolitan) yang lebih sering memilih hukum yang mengganti (restetutif). Berdasarkan pengalaman sejarah perkembangan masyarakat di dunia, panduan hidup bersama (hukum) itu berevolusi dari format yang represif menuju bentuk moralitas individual yang cenderung restetutif. Bagaimanapun, hal itu tidak dapat dipilah secara tegas, dalam artian di mana ada banyak yang represif di situ hanya sedikit yang restetutif.
[4] Cara-pandang dualisme itu antara lain sebagaimana yang digagaskan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial dari kubu strukturalisme dan fungsionalisme. Misalnya, strukturalisme Claude Levi-Strauss mengenai aplikasi analisis bahasa (perbedaan antara ‘langue’ dan ‘parole’) sebagai alat analisis gejala sosial dan kemanusiaan. Pada tataran ‘langue’ (logika internal penunjuk) dipahami secara otonom malampaui objek ditunjuk. Sedangkan fungsionalisme merujuk pada Talcott Parsons dimulai dari ‘problem of order’ sehingga dibangun suatu asumsi ‘functional pre-requsite’, setiap masyarakat harus dipenuhi beberapa pra-syarat fungsional.
[5] Orang-orang secara individual dan kolektif (agency) itu kabanyakan mewarisi pandangan dunia (world-view) yang telah mentradisi secara turun-temurun, cara-cara berpikir, bersikap-tindak, dan berperasaan yang relatif seragam sehingga membentuk suatu solidaritas yang bersifat mekanis-seragam (dalam kesusilaan, kesopanana, dan cara beragama). Individu-individu dalam komunitas demikian hampir dapat dikatakan sebagai robot-robot yang hidup tanpa peran yang berbeda dari patron hati-nurani kolektifnya.
[6] Kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan modern, antara lain, disebabkan melemahnya penguasaan spesialisasi keilmuan, minimnya terjemahan karya-karya ilmiah, referensi yang tidak memadai, dan syllabus pendidikan yang sudah “out of date”. Lihat Yusra Habib Abdul Gani, “Alquran di Eropa”, Opini Serambi Indonesia, 24 Desember 2010:22.
[7] Lihat Hearn, Frank. Reason and Freedom in Sociological Thought, Boston: Allen & Unwin, 1985:8-13.
[8] Meskipun keberadaan manusia individual sebagai makhluk yang mengerti dan menyadari siapa dirinya, di mana tempat hidupnya, dan bagaimana sejarahnya, namun sebagai agency mereka bergelimang dengan kondisi empirik dan berada pada tingkat substantif-mikro. Konsepsi yang demikian itu adalah hasil mutualitas individu dan struktur sosialnya yang humanis. Dalam hubungan itu akan menunjukkan suatu proposisi bahwa menjadi seorang agent haruslah mampu mensiasati dan merekayasa hidupnya. Menurut Giddens seorang individu sanggup membuktikan hakekat kemanusiaannya, menjadi dirinya sendiri yang rasional, dalam aktivitas kongkrit dan sekaligus refleksif. Lihat Giddens, The Constitution of Society, Outline of the Theory of Structuration, Polity Press, 1984.
[9] Mungkin pelbagai bentuk bid’ah atau keyakinan yang tidak dilandasi panduan yang rasional dapat dianggap bagian dari ketidak-matangan dalam pemikiran akal-budi.
[10] Menurut Morse Peckham, pencerahan cenderung “menekankan pada kekuatan kesadaran individu dalam rangka mereka berkreasi berlandaskan pada dirinya, dengan visi yang tepat tentang order, untuk menemukan latar sejati, bagi kepekaan nilai sumber identitasnya sendiri”. Pada dasarnya, keabaian (ignorance, kedunguan) adalah sumber kegelisahan manusia di dunia. Ketika ignoransi itu mampu diatasi, maka nalar individu memperlihatkan keunggulannya, dan dunia manusia akan menjelma sebagai “firdaus” yang menyenangkan untuk dihuni.
[11] Salah satu ciri atau parameter manusia modern adalah mereka yang sudah mengalami kehidupan industrial adalah class devided society.
[12] Lihat Tarian Sufi Jalaluddin Rumi: "Jernihkan pandanganku Ya Allah, Ya Rabb; Agar aku dapat melihat wajah-Mu di barat dan di timur..." "Bangkitlah, kini bangkitlah sebagai manusia baru!" Jalaluddin Rumi Diunduh dari http://search.yahoo.com/search?p=Jalaluddin+Rumi%2C+bangkitlah&fr=ush-mail pada 24 Desember 2010.
[13] Individu yang berkemandirian mencerahkan (enlighted self-love), boleh jadi, adalah mereka yang memiliki kemampuan kreatif dan inovatif dalam arus modernisasi global. Individu yang dimotivasi oleh spirit (etika) tradisional (komunalisme: sistem nilai-budaya) yang diperoleh melalui relasi intra-generasi (nasihat orang tua dan kearifan lokal).
[14] Perkembangan sciences dan sosio-kultural abad ke-13 & 14 (di Barat) telah membawa-serta pengaruh pada puncak perkembangan sains, Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi (agama) di Eropa abad ke-15 & 16. Ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat dari dunia Islam (dipelopori Ibn Rushd, abad ke-13) diasumsikan salah satu sumber inspirasi puncak pencerahan itu. Perdebatan serta konotasi Barat (materialisme, intelektualisme, dan individualisme) dan Timur (spiritualisme, emosionalisme, dan kolektivisme) ternyata tidak hanya berkaitan dengan kemajuan iptek dan modernitas (lihat Polemik Kebudayaan S.T. Alisyahbana dalam Daniel Dahkidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, 2003).
[15] Itulah tanda-tanda zaman ketika altar (mazbah, tempat mempersembahkan kurban) digusur oleh nalar manusia. Suatu zaman ketika istana sebagai pusat referensi simbolik digantikan oleh perpustakaan. Dalam perkataan lain, orang-orang tidak dapat lagi diandalkan dari apa yang mereka katakan, melainkan sudah sampai waktunya untuk melihat dan memahami rekaman apa yang telah dikerjakan orang-orang yang hendak mengatakan dirinya berhasrat untuk menjadi pemimpin atau penguasa di dunia.
[16] Pemikiran Islam rasional (Ibn Rushd, hidup di penghujung “era keemasan” Islam) yang pernah tumbuh di Barat (Maghrib) pun berseteru dengan pandangan dan perilaku kaum muslim dunia Timur (Masyrik). Itu, antara lain, karena ulama konservatif merasa terancam dengan “ilmu-ilmu klasik” Yunani (vide Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, 2001).
[17] Lihat Budiman, Hikmat. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell, Yogya: Pustaka Pelajar, 1997. Lebih jauh, Ibn Rushd adalah autonomous agent (membawa ide tentang kebenaran ganda) dengan identitas tersendiri (sebagai Averoisme, 1270), memiliki kesadaran diskursif (capability) yang memungkinkan dia merasionalisasikan keberanian ajaran dan tindakannya. Dia mampu memberikan dasar dan alasan mazhab pemikirannya dan terus mengkomunikasikannya. Dengan knowlegeability dia berani bertindak dan memahami tindakan orang lain ketika orang itu tidak mampu mengartikulasikan dasar pemikirannya secara diskursif.
[18] Di zaman pertengahan memang bidang tafsir dan pengajaran kehidupan menjadi hak istimewa agamawan yang menyebkan pemiskinan kehidupan intelektual dan sosial.
[19] Menurut Kant pencerahan adalah “keluarnya manusia dari ketidak-matangan yang diciptakannya sendiri, yakni ketidak-mampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidak-matangan itu terjadi bukan karena kurangnya daya-pikir, melainkan disebabkan kurangnya determinasi dan keberanian (individu) menggunakan pemahaman sendiri”. Dalam beberapa hal, Ibn Rushd adalah model kemandirian akal-budi yang dilandasi keberanian berpikir (melawan pemikiran individu yang dikultuskan dan dilembagakan) dan bertindak untuk membebaskan manusia di dunia agar berpikir rasional tentang dirinya dan masyarakatnya.
[20] Secara sosial termasuk gejala erosi moralitas kolektif (collective conscience) sebagai modal sosial antara lain terjadi dalam konteks kerjasama mekanis (Durkheim: mechanic solidarity), gotong royong, untuk kebutuhan komunitas tempatan. Gubernur Aceh mengajak masyarakat untuk menghidupkan budaya gotong royong adalah salah satu bentuk keprihatinan degradasi dalam solidaritas mekanis produk komunalisme-relijius komunitas Aceh akhir-akhir ini. Lihat “Gubernur Ajak Masyarakat Hidupkan Budaya Gotong Royong”, Tabloid Tabungan Aceh, Edisi 07, Agustus 2010:15.
[21] Betapa memprihatinkan keadaan mutakhir semangat keadilan, kejujuran, dan kebenaran yang pernah menjadi andalan peradaban dan kejayaan masyarakat Islam di Aceh pada masa lampau. Gejala ini untuk menunjukkan bahwa pengalaman masa lampau yang sudah menjadi bagian dari kesadaran orang-orang Aceh tidak serta-merta dapat dihadirkan untuk menjadi panduan, andalan mereka untuk menghadapi tantangan masa kini. Lihat “Salam Serambi: Rekruitmen CPNS Masih Gaya Lama” yang rentan KKN, Serambi Indonesia, 1 Desember 2010.
[22] “Kepala Daerah Memang Gampang untuk Korupsi”, Mendagri Gamawan mengungkapkan bahwa selama era reformasi 17 Gubernur dan 150 Bupati dan Walikota masuk penjara karena korupsi. Lihat Salam Serambi, Serambi Indonesia, 19 Oktober 2010. Kasus dugaan korupsi 220 M oleh Bupati dan Wakil Bupati aceh Utara masih mengancam keadilan masyarakat Aceh.
[23] Ada banyak kasus kejahatan dan pelanggaran di bidang hukum, seperti antara lain dipublikasi dalam tajuk: Salam Serambi, “Kejaksanaan Kembali Ingin Cegah Korupsi” yang dikemukakan setiap Kepala Kejaksaan baru di Aceh. Lihat Serambi Indonesia, 24 November 2010:18. Berbagai rahasia umum dapat diperoleh dari anggota masyarakat tentang pelanggaran moralitas dan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menimbulkan kejahatan dan pelanggaran hukum dalam masyarakat. Hal itu antara lain disebabkan kontradiksi kesadaran (hukum) komunitas dengan keberadaan (kebutuhan) mereka dalam menghadapi kemungkinan masa depan yang lebih baik.
[24] Bahwa berbagai krisis negara modern terus saja akan berlangsung, sementara kebebasan individu dan aktivitas kelompok-kelompok masyarakat akan semakin berperan untuk penciptaan kesejahteraan mereka sendiri. Menurut Thomas L. Freidman (2000) dalam A. Sudiarja menyebutkan ada tiga gelombang globalisasi yang semakin menurunkan peran Negara, utamanya di bidang ekonomi. (1) Negara modern memang masih mempunyai peran besar; namun gelombang (2) dan (3) peran negara sudah digeser oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional dan akhirnya oleh para individu (agensi).
[25] Dalam The Third Way (1998) Giddens telah menginsinuasikan pentingnya pembentukan masyarakat warga. Namun, ia masih percaya pada peran Negara, sejauh tetap dilakukan perombakan dalam relasinya dengan masyarakat. Ini untuk menunjukkan bahwa Giddens mengusulkan pendekatan relasional yang memperhatikan kebutuhan timbale-balik antara pemimpin yang mewakili Negara dan para agensi mewakili masyarakat warga.
[26] Menurut Eko Prasetyo, peneliti pusat studi HAM Universitas Islam Indonesia Yogayakarta, sejumlah perguruan tinggi belakangan ini ditengarai menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan mahasiswa dengan basis ideology, tidak hanya berhaluan kanan, tetapi juga yang berhaluan kiri. Melalui gerakan ideologis itu bahaya dan potensi kekerasan dengan mudah muncul disebabkan masing-masing merasa benar. Oleh karena itu,agar kampus nir-kekerasan diperlukan dukungan mengubahnya menjadi kampus sebagai taman pengetahuan. Komunitas kampus patutlah menjadi teladan di tengah masyarakat, da mampu menerima heterogenitas. Masyarakat Islam yang otentik adalah agensi kemanusiaan yang mencerdaskan, pendukung Islam yang memuaskan akal-budi, dan penganut yang menentramkan jiwa publik. Lihat “Kampus harus jadi Taman Pengetahuan”, Serambi Indonesia, 26 Desember 2010:2.