Monday, November 15, 2010

Makna dan Kuasa Dalam Krisis Epistimologi Ilmu Pengetahuan


Dear all,

Saya hendak mengemukakan 'belum lagi para (natural & social) scientists (professor & doktor) Unsyiah memperlihatkan experimentasi cara-cara berpikir, bersikap-tindak, dan berperasaan berdasarkan kerangka rasionalisme (Rene Descartes: I think therefore I am)', dunia keilmuan sudah mengalami krisis epistimologi, antara lain, kedudukan dan penteoreannya dalam ilmu pengetahuan.

Epistimologi adalah wilayah kajian penelaahan urgensi segala praktik ilmiah. Sebagaimana yang ditulis Gaston Bachelard (1884-1962) dalam The Philosophy of No: A Philosophy of the New Scientific Mind, 1968, bahwa "ruang yang diamati seseorang, yang diperiksa oleh seseorang, secara filosofis sangat berbeda dengan ruang yang dilihatnya". Hal itu disebabkan ruang yang dilihat seseorang selalu merupakan ruang yang direpresentasikan, bukan ruang yang nyata.

Bachelard terus berusaha mengusulkan suatu "telaah sistematis tentang representasi, bentuk pengantaraan yang paling natural dalam menentukan relasi antara noumenon dan fenoumenon". Dalam kaitan itu Bachelard melalui karyanya The Scientific Spirit mengatakan ada dua landasan metafisis yang fundamental, yakni rasionalisme dan realisme. Landasan pertama adalah wilayah interpretasi dan penalaran; dan landasan kedua memberikan bahan-bahan bagi rasionalisme untuk melakukan interpretasinya.

Bagi Bachelard bersikap ilmiah itu tidak berarti mengistimewakan rationality atau reality, melainkan mengenali (secara sungguh-sungguh) adanya relasi yang tak-terputuskan antara keduanya. Salah satu ungkapan Bachelard yang terkenal bahwa "eksperimen harus memberi kesempatan untuk munculnya argumen, dan argumen harus dikembalikan ke eksperimen". (Untuk konteks pengembangan keilmuan di Unsyiah diperlukan pengetawantahan praktik laboratorium ilmiah para professor & doktor (civitas akademika) ke dalam wujud argumen-argumen intelektual). Dalam rangka untuk menanggulangi krisis tersebut Bachelard mengusulkan kerangka 'rasionalisme terapan' untuk menunjukkan landasan teoretis pada berbagai eksperimentasi berbeda. Hence, rasionalisme yang mendalam selalu adalah rasionalisme terapan yang dipelajari dari realitas. Bechelard setuju dengan pandangan bahwa kaum empiris bisa mempelajari realitas dari kaum teoretisi bila suatu teori dikembangkan sebelum eksperimen yang berkaitan dengannya dilakukan. Ini untuk memperlihatkan teori membutuhkan keterkaitan eksperimental untuk bisa memperoleh keabsahannya.

Usulan Bachelard yang lain adalah kritiknya atas teori evolusi dalam strukturalisme melalui sejarah ilmu. Ia menggambarkan bahwa perkembangan ilmu yang terjadi sebelumnya tidak selalu menjelaskan keadaan ilmu di masa sekarang. Umpamanya, kita tidak mungkin bisa memberikan penjelasan tentang teori relativitas Einstein sebagai perkembangan dari teori fisika Newton. Itu artinya, "dogma-dogma baru tidak berkembang dari yang lama, namun yang baru merangkum yang lama".

Dengan kata lain, generasi kaum intelektual tercakup satu di dalam yang lain. Saat kita berpindah dari fisika Non-Newtonian ke fisika Newtonian kita tidak menemukan kontradiksi, namun kita mengalami kontradiksi. Analog dengan itu, pada saat atau sudut pandang yang digunakan (apa yang dilihat dan direpresentasi) para pimpinan itu berbeda dari apa yang dilihat para pekerja (civitas akademika) Unsyiah di lapangan. Para pempimpin tidak menemukan adanya kontradiksi secara formal (makro, struktural, politis), namun civitas akademika, para pegawai secara nyata (internal, mikro, substansial, fungsional: mengalami masalah) di lapangan, dan sebaliknya.  

Demikianlah gambaran perkembangan dialektika epistimologi keilmuan saya sampaikan untuk merangsang diskusi di kalangan para ilmuan kampus Unsyiah. Saya mohon maaf jika ada hal ikhwal yang tidak semestinya saya utarakan di sini.
 
Salam hormat, saleh sjafei 
Sent from my BlackBerry®
 

No comments: