Tuesday, September 21, 2010

Peranan Uang Dalam Kehidupan Masyarakat



Ditulis dalam Black Road oleh scrapman pada Desember 2, 2006
Dari Pustaka Otonomis

Film “Mary Poppins” (1964) yang dibintangi oleh Julie Andrews adalah film yang mentertawakan soal uang dan para bankir, seraya merayakan kebebasan dan kebahagiaan dari nanny, pengamen jalanan yang bernama Bert (diperankan oleh Dick van Dijk), pembersih cerobong asap, pengemis dan merpati-merpati di katedral, serta anak-anak kecil dengan mata yang masih jernih. Disitu ada adegan orang terbahak-bahak dan mereka yang terbahak-bahak akan ditinggikan. Kemudian muncul pertanyaan, yang mungkin cukup fundamental untuk diajukan sebagai pertanyaan dalam kehidupan modern masyarakat, terutama masyarakat urban. Masalahnya, kita tak pernah memikirkan berbagai hal-hal yang kecil dan sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam hidup kita.

Tapi kini, apabila kalian memiliki waktu lebih untuk membaca dan berpikir mengenai hal-hal yang terlanjur dianggap sepele, mari kita lihat secara lebih detail mengenai apa itu uang dan bagaimana peranannya dalam mengatur hidup kita sehari-hari.

if (window.showTocToggle) { var tocShowText = “tampilkan”; var tocHideText = “sembunyikan”; showTocToggle(); }

Uang, hukum dan nominalisme
Uang sering didefinisikan sebagai alat pertuaran, alat pembayaran yang “sah” dengan mana terjadi transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain. Satu pihak menyerahkan produk berupa barang atau jasa, pihak lain (yang membayar) menukar “nilai” produk itu dalam bentuk uang. Pertukaran “nilai” itu bisa juga dalam bentuk barter, namun sesuai dengan perkembangan dalam sejarah manusia, lambat laun manusia belajar bahwa ternyata hal tersebut tidak praktis. Ada proses pertukaran yang lebih praktis: menggunakan uang.
Uang bermutu tinggi ialah uang yang amat dipercayai nilainya sebagai alat tukar. Sejak zaman kuno, peranan pemerintah merupakan salah satu penentu dari terpeliharanya mutu tinggi dari suatu jenis mata uang. Aristoteles, dianggap sebagai perintis teori tentang pengelolaan uang oleh pemerintah. Dalam karyanya beritel “Ethica Nichomachea”, ia menulis: “Money has become by convention ‘money’ (nomina)—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Kita masih ingat bukan, bagaimana nilai rupiah berubah (turun) dalam kaitannya dengan dollar, adalah sebagai akibat dari keputusan pemerintah, baik dalam sanering (kasus Indonesia tahun 1959 dan 1966) maupun devaluasi (kasus tahun 1983 dan 1986). Nilai nominal uang kitapun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya. Hukum pemerintah (nomos) memberi nama (nomina) kepada uang (nomisma). Nomos memberi nomina kepada nomisma.

Sejarah uang sejak jaman kuno penuh dengan kasus-kasus pemerintah yang disibukkan dengan teori nominal tentang uang ini. Patologi uang untuk sebagian besar ialah sejarah nominalisme dalam tindakan. Uang adalah perwujudan dari filsafat “nominalisme”. Dalam bertransaksi dengan uang berlaku adagium nominalisme yang dikutip pada akhir novel terkenal Umberto Eco yang bertitel “The Name of the Rose” yaitu: “stat rosa pristina nomine nomina nuda tenemus”, atau dalam terjemahannya kira-kira begini, bunga mawar telah ada jauh sebelum nama ‘mawar’ itu ada, namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. Secara intrinsik, selembar uang Rp. 100.000,- mungkin lebih murah dari selembar uang Rp. 20.000,- tetapi kita sudah terbiasa untuk berpegang pada ‘nama’nya saja, bahwa seratus ribu adalah lebih bernilai daripada duapuluh ribu. Sesudah era barter, memang kemudian muncul ‘uang komoditi’, dimana salah satu bentuk komoditi (misalnya emas) dijadikan alat tukar standar. Tetapi kemudian yang lebih populer ialah uang fiat, yaitu uang yang nilainya dinyatakan oleh pemerintah yang dianggap sah tanpa ada fondasinya dalam uang standar dan tanpa nilai intrinsik atau nominalnya jauh di atas nilai intrinsik yang tak seberapa dan secara legal memiliki daya kekuatan sebagai alat tukar.

Masalahnya, nominalisme ini dapat membawa pada kemerosotan nilai uang sebagai “alat tukar” dan “penyimpan nilai” sedemikian rupa hingga pada tidak bernilainya uang saa sekali. Kita mengalami krisis moneter semacam ini pada paruh kedua tahun 1997 dan seterusnya hingga kini. Kalau pada bulan Juli 1997 orang yang memiliki upah kerja Rp. 5.000.000,- itu sama dengan yang memiliki upah lebih dari 2000 USD, maka pada bulan Juni 2004, upah tersebut menjadi sekitar 550 USD saja. Bahkan seandainya upah dalam rupaih naik dua kali lipat menjadi Rp. 10.000.000,- misalnya, maka jumlah tersebut tetap hanya bernilai setengah dari upah bulan Juli 1997. setelah tujuh tahun bekerja, maka upah dalam rupiah naik dua kali, namun bila dikurskan ke dollar akan turun menjadi setengahnya. Orang-orang yang hidup dar gaji dan upah adalah mereka yang paling menderita akibat krisis moneter yang diakibatkan oeh berlakunya nominalisme dalam sistem per-uang-an ini.

Mungkin perlu dilihat juga sifat saling keterkaitannya dari ‘rezim moneter’ dan ‘rezim politik’ ini. Kredibilitas moneter dan kredibilitas politik memiliki hubungan yang timbal balik. Kredibilitas politik untuk sebagian besar berisi legitimiasi politik (misalnya dengan diadakannya Pemilu) dan supremasi hukum. Karena itu, nominalisme uang berhubungan dengan diskursus dan relasi kekuasaan. Atau dengan kata lain, nominalisme uang lebih merupakan nominalisme postmodern, bukannya nominalisme Abad Pertengahan. Nominalisme postmodern ini sifatnya publik atau komunitarian, berhubungan dengan diskursus dan relasi kekuasaan yang senantiasa menyertainya.

Uang sebagai relasi sosial
Sejauh pengetahuan kami, satu-satunya buku yang membahas soal uang adalah yang berjudul “Philosophie des Geldes” (Filsafat Uang) yang ditulis oleh Georg Simmel, seorang filsuf dan sosiolog berkebangsaan Jerman yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Berlin.

Salah satu dalil pokok dari filsafat Simmel ialah bahwa “semua hal harus dianggap saling terhubung atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain”. (Pandangan ini biasa disebut ‘relasionisme’, yang kadang dimisinterpretasikan dengan ‘relativisme’. Padahal relasionisme hanya menggarisbawahi bahwa semua yang ada saat ini terhubung dengan hal-hal lain, sementara relativisme menggarisbawahi kenisbian atau ketidakmutlakan dari hal-hal yang ada, utamanya kebenaran, etika dan keindahan). Relasionisme Simmel bertolak dari asumsi dasar filosofisnya yang menganggap bahwa realitas atau kenyataan itu pada hakekatnya ialah gerak, perubahan terus menerus, sebuah proses. Akan tetapi hakekat kenyataan sebagai sesuatu yang senantiasa mengalir ini, sebagai ‘gelombang’ atau ‘vibrasi’ dari energi menurut novel “Celestine Prophecy” karya James Redfield, hanya dapat ditangkap oleh manusia apabila intelek dan akal budi manusia mengejar pengetahuan adalah demi pengetahuan itu sendiri. Kebanyakan manusia menggunakan intelek atau akal budinya untuk mencari pengetahuan demi alasan-alasan pragmatis atau instrumental ini, realitas tampil sebagai fenomena yang solid, yang telah fix, yang dapat disebut sebagai ‘substansi’. Manusia selalu beranggapan bahwa realitas adalah ‘apa yang tetap’, ‘yang tak berubah’, yang kelak disebut ‘substansi’ itu tadi. Seorang filsuf modern, Rene Descartes, misalnya, sangat menggaris bawahi konsep substansi ini sebagai “sesuatu yang untuk menjadi ada, tidak membutuhkan sesuatu yang lain lagi”. Konsep ini bertentangan dengan ‘relasionisme’. Pergeseran ‘substansialisme’ ke ‘relasionisme’ ini juga dapat diamati dalam pergeseran teori fisika: dari Newton ke Einstein, misalnya.

Pandangan dasar ini sangat tampak dalam uraian Simmel tentang masyarakat dan tentang uang. Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah ‘gerak’ dan ‘aliran’. Namun, kita sudah terbiasa untuk sering menganggap masyarakat itu sebagai sebuah ‘organisme’, sebagai ‘substansi’, sebagai ‘entitas yang utuh’, padahal—padahal itu semua hanya imagined community.
Begitu juga uang. Bagi Simmel, uang bukanlah ‘substansi’ yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Tidak. Uang pada hakekatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang, dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran.

Ini sesuai dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullgate dan Peter Newman, bahwa: “Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual’s will as any natural phenomenon.” (The New Palgrave: A Dictionary of Economics). Untuk memahami sistem hubungan sosial dimana uang memainkan peranan penting, kita harus memakai perspektif historis komparatif. Sifat khas uang hanya dapat dilihat bila sistem sosial kita dibandingkan dengn sistem sosial yang tidak melibatkan uang. Analisis Karl Marx tentang produksi komoditi memberi kita perspektif itu.

Dalam setiap masyarakat, orang haruslah berproduksi (memproduksi sesuatu) agar dapat bertahan hidup dan mengembangkan diri. Namun cara berproduksi atau berhubungan dalam produksi itu sebenarnya dapat diorganisir melalui berbagai cara yang berbeda satu sama lain. Salahs atu dimensi yang membedakan cara-cara berproduksi ini ialah sejauh mana produk yang dihasilkan itu dikontrol oleh individu-individu pemili (perodusen) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Dalam sistem produksi komoditi, suatu produk yang dihasilkan ialah ‘hak milik’ seorang pemilik, yang dapat ditukarkannya dengan produk yang dimiliki orang lain, mula-mula dengan sistem barter, lalu melalui uang komoditi, dan saat ini akhirnya dengan nominalisme.

Sebagai seorang sosiolog, Simmel juga meletakkan uang dalam perspektif sosiologi. Yang menarik dan relevan disini ialah pernyataan bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat dan itu memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Semakin luas lingkup sosial, semakin terdiferensiasi masyarakat, semakin ‘terspresialisasi’ pula ‘kewajiban-kewajiban sosial’ yang harus dijalani oleh individu. Bila lingkup sosial kecil, setiap anggota harus mampu mengerjakan banyak hal, diferensiasi dan spesialisasi krja hampir tak ada. Semua orang harus mengerjakan semua. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang ‘impersonal’, karena itu berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial.
Selain itu, uang dapat menjadi substitusi bagi ‘kewajiban-kewajiban sosial’, setidaknya sampai tingkat tertentu. Misalnya, kakak ipar saya menikahkan anaknya di Bali atau Kalimantan sementara saya tinggal di Jawa, ‘kewajiban sosial’ saya cukup terpenuhi dengan mengirimkan ongkos transportasi sebagai kado (katakanlah Rp. 1.000.000,- termasuk menginap di hotel semalam) daripada saya tetap wajib hadir in person dan memberi kado ala kadarnya (katakanlah “yang lazim” Rp. 100.000,-).

Kita dapat merumuskan, bahwa dengan pemilikan uang terjadi apa yang kini disebut sebagai leisure time, yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk aktualisasi diri. Masalahnya kini, salah satu isu yang berkembang dalam dunia bisnis dewasa ini adalah industri jasa yang fokus utamanya adalah pada leisure time itu sendiri. Di Amerika, majalah “Fortune” pernah membahas mengenai adanya semacam mode semi-retirement di kalangan eksekutif muda. Itu salah satu bukti bahwa uang dapat memperlonggar kewajiban untuk ‘mencari nafkah’ sebagai salah satu ‘kewajiban sosial’. Contoh lain misalnya adalah yang sering terjadi di kompleks-kompleks perumahan urban dewasa ini di Indonesia, tugas ronda atau tugas membuang sampah yang notabene merupakan salah satu ‘kewajiban sosial’, kini dapat dihindari hanya dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu.

Kita sering mendengar pepatah time is money, waktu adalah uang. Namun bagi orang yang dapat memanfaatkan uang (bukan dimanfaatkan oleh uang), mungkin kebalikannyalah yang terjadi. Money is time, uang adalah waktu. Money is time and energy. Individu yang tidak perlu lagi dipusingkan oleh uang, apapun alasannya, adalah mereka yang dapat secara leluasa bermain-main, dengan apapun, baik itu dengan kata-kata (menulis puisi, novel ataukah cerpen), dengan warna (melukis) atau dengan dunia nyata (berpetualang) atau bermain dengan ide-ide (berfilsafat), atau kalau kata Mary Poppins: “Supercalifragilisticexcepialidocious”.

Sikap etis terhadap uang: dari Aristoteles ke Fromm
Dalam “Ethica Nichomachea”, Aristoteles juga membedakan tiga sikap manusia terhadap uang. Sikap yang seimbang dan etis sebagai “sikap murah hati”, sikap yang merupakan ekses sebagai “sikap boros”, dan sikap yang merupakan kekurangan sebagai “sikap pelit”. Sikap murah hati ialah sikap yang dapat memberikan uang atau apapun yang dapat diuangkan kepada pihak yang tepat dan mau menerima dari pihak yang tepat. Tekanan diberikan pada kata “memberi”, karena ia bermakna lebih aktif daripada kata “menerima”. Sebaliknya sikap pelit memberi tekanan pada kata “menerima” saja.

Erich Fromm, seorang dari generasi pertama Frankfurt School, yang sering dianggap sebagai pakar psikologi sosial, mengembangkan etika humanisme yang antara lain merupakan persenyawaan dari etika Aristoteles, psikoanalisis Freud dan filsafat sosial Marx. Sikap yang sehat menurut Fromm adalah sikap generosity atau sikap murah hati. Sikap ini berhubungan dengan biophily, kecenderungan kepada kehidupan, kepada semua yang hidup, tumbuh dan berkembang, mengalir, bergerak. Orang-orang dari ‘kelas atas’ dan ‘kelas bawah’lah yang memiliki kecenderungan murah hati, atau bahkan juga boros.

Kelas atas, karena mereka memiliki sumber yang berlimpah ruah. Kelas bawah, karena mereka tidak memiliki kecemasan akan “turun kelas” dan tidak melihat kemungkinan untuk “naik kelas”. Nah, kelas menengah, terutama kelas menengah bawah inilah yang, menurut Fromm, paling cenderung untuk menjadi pelit. Mereka berdisiplin diri dengan sangat tidak manusiawi dan sangat pelit, bahkan juga pada diri sendiri, tidak hanya dalam soal keuangan, tetapi bahkan juga pada soalan seksual. Sumber sangat “pas-pasan”, kalau hemat bisa “naik kelas” tetapi kalau murah hati bisa “turun kelas”, padahal dalam dirinya mereka selalu ingin bisa “naik kelas” dan amat cemas sepanjang hidupnya kalau kalau nanti “turun kelas”. Mereka inilah yang cenderung menjadi “craving for fame and money”, partisipan tetap acara-acara seperti Akademi Fantasi Indosiar, pemilihan ratu kecantikan, pemilihan calon model, dsb. Bahkan orang-orang seperti mereka ini jugalah yang dalam analisis Fromm, merupakan basis massa utama terkuat dari partai Nazi di Jerman dulu.

Penutup
Jadi bukan kebetulan sepertinya apabila Julie Andrew selain bermain dalam film “Mary Poppins”, seperti yang telah disebut dalam pendahuluan, juga bermain dalam film “The Sound of Music”. Dalam film pertama, yang ditertawakan adalah para bankir, sementara dalam film kedua yang ditertawakan adalah disiplin tentara, atau bekas tentara. Disiplin mati, keseragaman dan regimentasi berakar pada ketidakamanan psikis yang sama dengan sikap pelit.

“I could never answer to a whistle. Whistles are for dogs and cats and other animals, but not for children and definitely not for me. It would be too humiliating.” (dari “The Sound of Music”), maka, “Listen, listen, she’s calling to you: feed the birds, 2 pence a bag, 2 pence, 2 pence, 2 pence a bag.” (dari “Mary Poppins”).
Ambil uangmu, gunakanlah sebaik yang ia mampu. Tataplah matamu dalam cermin, tanyakanlah pada dirimu, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sukses, ataukah seorang yang bahagia. Tanyakanlah.

Saturday, September 18, 2010

Apa itu Individualisme?


Individualisme

Konsep individualisme[1] memiliki pengertian (terms) ganda. (1) sebagai doktrin yang berkaitan dengan liberalisme yang menekankan pada kemandirian (autonomy), kepentingan (importance), dan kebebasan (freedom) individu dalam hubungan dengan masyarakat dan negara. (2) individualisme juga dipahami sebagai budaya dalam masyarakat modern yang berkaitan dengan kepemilikan pribadi (private property), konsumsi, dan subjektivitas.

Gagasan individualisme merupakan suatu hubungan interconnected dengan suatu rentang (range) istilah yang mendasar dalam teori politik dan sosial. Oleh karena itu, ia perlu dibedakan dalam beberapa penekanan berikut ini:
  1. ‘the individual’ sebagai seorang agen mandiri (autonomous agent) dengan suatu identitas tersendiri;
  2. individualisme sebagai suatu ideologi sosial dan politik dengan berbagai tradisi nasional;
  3. individualitas sebagai suatu tinjauan romantik dari keunikan seseorang memperoleh pendidikan dan perkembangan; dan
  4. individuasi sebagai suatu proses dengan jalan mana orang distandardisasikan oleh suatu proses birokratis.

Posessive individualism dan laissez-faire individualism, dalam teori sosiologi, dianggap sebagai suatu pertahanan ideologis atas kepemilikan pribadi, pasar, dan kapitalisme industrial. Tradisi sosiologis menginterpretasi individualisme utamanya sebagai suatu doktrin radikal yang memiliki efek-efek merusak (corrosive effects) terhadap tatanan sosial. Hal ini berkaitan dengan ide bahwa setiap individu mempunyai pendapat-pendapat penting yang mengancam tradisi dan otoritas. Individualisme dalam konteks ini seringkali dikaitkan dengan egoisme.

Durkheim dalam Suicide (1951) mengklaim bahwa individualisme, ekspektasi-ekspektasi egoistik dari  peredaran bisnis, anomie, dan solidaritas sosial lemah yang menghasilkan angka bunuh diri yang tinggi. Individu-individu dengan hubungan sosial lemah utamanya cenderung untuk melakukan “bunuh diri egoistik”. Sebaliknya, peninggalan Weber berkait dengan “individualisme metodologis”, yakni dengan pandangan bahwa  semua konsep-konsep sosiologis merujuk atau dapat direduksi pada karakteristik individu-individu. Weber mengklaim bahwa ia berkeinginan untuk membersihkan sosiologi dari “konsepsi-konsepsi kolektif” dan mengembangkan argumen-argumen kausal berdasarkan pada tindakan-tindakan sosial para individu. Sosiologi interpretatif Weber tentang tindakan dalam Economy and Society (1978) mengembangkan tipe ideal dari kapitalisme, birokrasi, dan pasar untuk menghindari reifikasi dari konsep-konsep yang merupakan karakteristik versi positivistik dari ilmu-ilmu sosial.

Perkembangan teori sosiologi melibatkan berbagai upaya untuk memecahkan dilema konsep-konsep institusi sosial tentang kolektif dan individual. Misalnya, Weber mengkritik (criticised) suatu konstruksi statik artifisial dan sejarah tentang individu dan masyarakat. Dalam The Society of Individuals, Norbert Elias (1991) mengecam Weber atas ketidak-mampuannya untuk mendamaikan tensi-tensi analitis antara “the individual” dan “society”. Kegagalan ini berkaitan secara sukses dengan divisi artifisial ini sebagai bagian dari suatu kelemahan umum teori sosiologi. Solusi Elias adalah untuk menganalisis dua konsep tentang individual dan masyarakat sebagai konstruk sejarah muncul dari proses sosial. Keseimbangan antara society (we) dan the individual (I) tidak diurus (is not fixed), dan karena itu apa yang disebut “process” atau “figurational sociology” didesain untuk menggali keseimbangan the we-I dalam konfigurasi-konfigurasi sosial berbeda seperti feudalisme atau masyarakat bourgeois.

Dalam The Structure of Social Action (1937), Talcott Parsons mengembangkan suatu kupasan sistematis (systematic criticism) mengenai asumsi-asumsi individualisme utilitarianisme. Argumennya mempunyai dua komponen utama. Pertama, jika para aktor ekonomi adalah rasional, selanjutnya mereka akan bertindak dalam suatu sikap self-interested untuk memaksimalkan sumberdaya mereka. Jika asumsi-asumsi ini benar, selanjutnya manusia akan menggunakan kekuatan (force) dan kecurangan (fraud) untuk mencapai tujuan (ends) individual mereka. Oleh karena itu, teori ekonomi tidak dapat menjelaskan tatanan sosial. Kedua, Parsons mengamati bahwa untuk memecahkan “the Hobbesian problem of order”, teori ekonomi telah memperkenalkan asumsi-asumsi tambahan seperti “the hidden hand of history” atau “sentiments” untuk menjelaskan bagaimana tatanan sosial muncul. Bagaimanapun, asumsi-asumsi tambahan ini tidak compatible dengan asumsi-asumsi awal tentang self-interest dan maximisation. Kupasan-kupasan Parsons adalah penting dalam perkembangan tradisi sosiologi yang menyangkal “society” hanya suatu kumpulan para aktor ekonomi yang self-interested. Society hanya dapat eksis di mana ada shared traditions, cultures, dan institutions.

Konsep aktor sosial dari Weber dan Parsons merupakan suatu konstruk analitis yang muncul dari hubungan (engagement) mereka dengan teori ekonomi. Hal itu mungkin untuk membela Weber dan Parsons terhadap Elias. Dalam tulisannya tentang sosiologi agama, Weber mengembangkan gagasan tentang “personality” dan “life orders” dalam mana suatu struktur personalitas bukanlah a given, melainkan diusahakan melalui pendidikan dan disiplin. “Personality”  seringkali berada secara berlawanan dengan the “life orders”  of the economy and the state, dan dengan pertumbuhan kapitalisme, personality diancam oleh pengaruh regulatory dari rasionalitas praktis dunia sekular. Budaya-budaya yang berbeda mempunyai tatananan kehidupan berbeda yang melahirkan personalitas-personalitas yang berbeda.

Tocqueville, Individualisme, dan Budaya Amerika

Ada suatu tema yang tetap dalam sosiologi modern yang mengatakan bahwa individualisme abad-19 telah diruntuhkan oleh pertumbuhan masyarakat banyak (mass society) pada abad-20. Perdebatan dimulai oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859), yang dalam bukunya Democracy in America (1969) meyakini bahwa kekurangan dari pemerintahan sentralistik, birokratik di Amerika telah mendorong inisiatif individual dan asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh subur untuk memecahkan persoalan-persoalan lokal, komunitas. Civil Society tumbuh subur sebagai hasil dari asosiasi-asosiasi ini, dan individualisme tidak dapat dihancurkan oleh administrasi terpusat. Namun, penekanan pada persamaan, walaupun suatu doktrin revolusioner, juga mengancam individu dengan pendapat massa. Ketakutan Tocqueville pada pendapat individu dalam suatu demokrasi massa mempengaruhi orang-orang liberal seperti Mill terhadap hak pilih universal di Britain.

Para toretisi kritis dalam abad-20 meneruskan melakukan studi pengaruh masyarakat massa pada individu. C.Wright Mills (1956) dalam The Power Elite mengklaim bahwa para individu semakin dimanipulasi oleh pendapat publik dalam suatu masyarakat di mana para elite mengontrol saluran-saluran informasi. David Riesmann dalam The Lonely Crowd (1950) menganalisis personalitas orang Amerika sebagai the other-directed character, karena ia bergantung pada persetujuan dan afirmasi dari others. Personalitas-personalitas other-directed adalah konformist, dan karena itu masyarakat Amerika mengalami stagnasi. Dalam The Organization Man (1956), W.H.Whyte menggambarkan para eksekutip perusahaan berbadan hukum Amerika, yang mobil, tidak berhubungan dengan komunitas lokal mereka, dan mengabdi pada prestasi personal dalam organisasi. Dalam Habits of Heart, Robert Bellah dan teman-temannya (1985) melakukan suatu studi sikap-sikap kontemporer yang berpengaruh pada politik yang dimaksudkan untuk mereplikasi studi Tocqueville. Mereka menemukan bahwa orang-orang Amerika dialienasi dari politik pada level formal, namun komitmen mereka pada masyarakat diekspresikan melalui banyak asosiasi lokal dan informal.

Sosiologi tahun 1950-an mengkreasi suatu gambar standardisasi sosial atau individuasi yang tampaknya meruntuhkan (undermined) individualisme biadab awal kapitalisme. Studi-studi sosiologi kontemporer telah menarik suatu teori masyarakat post-industrial yang mengatakan pola-pola modern dari pekerjaan, misalnya, dalam sektor pelayanan, dibagi-bagi (fragmented) dan tidak memerlukan loyalitas pada perusahaan. Pekerjaan dalam tahun 1990-an telah menjadi sederhana (casualised), part time, dan tidak berlanjut. Individu yang teralienasi dari mass society telah digantikan oleh suatu tenaga kerja yang tidak memiliki sense of identity dengan perusahaan, dan banyak orang yang tidak mempunyai pengalaman suatu karir sepanjang hidup. Suatu perasaan stabil dan identitas terus-menerus dikikis (eroded) oleh pengaruh teknologi pada karir. Implikasi dari studi-studi pekerjaan post-industrial ini adalah bahwa individualisme tabiat keras (rugged individualism) dari awal kapitalisme digantikan oleh post-modernitas. Hasilnya, pemikiran sosial kontemporer telah mengkonseptualisasikan individu sebagai seorang yang ragu-ragu (uncertain), kepribadian yang ditunggangi kegelisahan (anxiety-ridden personality) yang akar-akarnya dalam masyarakat telah dilepaskan oleh kecepatan perubahan teknologi, erosi dari komunitas, dan sekularisasi dari budaya tradisional.

Sebagai akibatnya, individu modern adalah sekali lagi terlepas dari komunitas dan terjerat oleh suatu variasi proses yang bertentangan. Ada suatu pandangan luas dalam sosiologi bahwa budaya-budaya konsumsi modern tunduk pada proses-proses standardisasi global, misalnya, sebagai suatu konsekuensi dari McDonaldisasi, dan preferensi-preferensi individual mudah dihasilkan oleh periklanan modern.


[1] Ritzer, George, ed. Encyclopedia of Social Theory, Vol. 1. Sage Publications, Thousand Oaks, London, 2004.

Restrukturisasi Komnas HAM Daerah


Restrukturisasi Perwakilan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia di Daerah

Oleh M. Saleh Sjafei [1]

A.      Dasar Pemikiran

Agaknya, masyarakat dan atau daerah Aceh pasca-bencana (kemanusiaan-konflik dan alam-tsunami) sampai sekarang ini dipandang oleh berbagai kalangan masih dalam keadaan darurat. Belum ada sinyalemen dari pengambil kebijakan (policy maker) baik nasional maupun lokal untuk memberikan suatu batasan waktu sampai kapan (tahun berapa) masa darurat itu akan berakhir secara formal. Kondisi darurat dalam masyarakat bersangkutan memperlihatkan kecenderungan anggotanya yang labil dalam berbagai dimensi, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik, dan karena itu dibutuhkan perlakuan khusus untuk berbagai hal, termasuk restrukturisasi institusi Komnas HAM di daerah bersangkutan.  

Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA, 2006) adalah hasil konsensus formal antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berdasarkan MoU Helsinky. Itu adalah juga bagian dari realisasi khusus bagi Aceh dalam konteks otonomi daerah (desentralisasi) di Indonesia. Ukuran desentralisasi dalam kaitan dengan perlindungan dan pemajuan HAM adalah restrukturisasi kantor/perwakilan Komnas HAM di daerah Aceh. Restrukturisasi ini untuk memberikan kemudahan pengelolaan dan pelayanan bagi para korban pelanggaran HAM serta pemajuannya dalam masyarakat atau daerah Aceh.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan institusi modern-rasional yang telah mendapat otoritas negara untuk memberikan perhatian dan penanganan dalam wujud penegakan, perlindungan, dan pengembangan HAM bagi masyarakat Indonesia. Lembaga ini berkedudukan di ibu-kota Negara, Jakarta. Mekanisme-kerja, indikator, dan permasalahan yang diperhatikan organisasi ini sebagian besar merupakan produk pengalaman masyarakat industri atau Negara maju. Organisasi tersebut memungkinkan diadopsi oleh masyarakat Indonesia, antara lain, karena proses reformasi yang membawa-serta akibat pada pelanggaran HAM berat rezim Orde Baru (ORBA) di berbagai daerah. Komnas HAM, oleh karena itu, memperoleh otoritas melalui Kepres No. 50 Tahun 1993 dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM,[2] dan kemudian lahir Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 Tentang  Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 

Pengalaman empirik yang dimiliki Komnas HAM (luasnya wilayah operasional Komnas HAM-RI dan berpusatnya pelayanan masyarakat di ibu-kota Negara) dan Kantor/Perwakilan di Daerah (kurangnya efisien dan efektif cara-kerja yang terpusat di ibu-kota Negara, jangkauan aksesibilitas publik) menunjukkan berbagai kendala atau hambatan dalam rangka mereka merealisasikan fungsi dan tugasnya secara efektif. Kantor/Perwakilan Komnas HAM adalah media pelayanan masyarakat Indonesia dalam rangka memberikan kemudahan akses, terutama komunitas korban pelanggaran HAM pada hukum dan keadilan (access to justice). Institusi Komnas HAM berada dalam lingkup kerja (1) Komnas HAM di Jakarta, dan (2) Kantor/Perwakilan Komnas HAM di Daerah.

UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM memberikan peluang pendirian perwakilan Komnas HAM di daerah. Pasal 76 ayat 4 berbunyi bahwa “perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah”. Pemusatan sumber-sumber daya pada Komnas HAM sebagian dapat didesentralisasikan ke daerah, dan sebagian besar pelanggaran HAM justru terjadi di daerah-daerah. Komunitas korban pelanggaran HAM perlu menemukan keadilan, memperjuangkan pemulihan HAM mereka sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dialaminya. Tulisan ini untuk mengusulkan suatu kerangka penjelasan (frame of reference) pada Diskusi Terfokus (FGD) dalam rangka menemukan alternatif solusi restrukturisasi yang baik bagi penguatan kelembagaan Kantor/Perwakilan Komnas HAM di Daerah, khususnya Aceh.

B.      Landasan Struktural  
Ada interpretasi bahwa Komnas HAM itu merupakan bagian dari badan-badan pemantauan secara universal yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional (treaty-based monitoring bodies) sesuai tema HAM yang dipilih.  Struktur Komnas HAM-RI memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan yang lebih luas dari pemantauan (penghormatan, pematuhan, perlindungan, dan pelaksanaan HAM). Fungsinya mencakup pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan penyelesaian perkara HAM yang bersifat perdata di luar pengadilan. Bahkan, dengan UU No. 26/ 2000 Komnas HAM mempunyai kewenangan yurisdiksional karena satu-satunya lembaga penyelidik proyustisia pelanggaran HAM berat menurut UU No. 26/2000. [3]

Struktur Komnas HAM di Daerah dapat dirujuk pada Pasal 76 ayat 4 yang mengatakan bahwa “perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah”. Jika kita mengikuti praktik yang dianut Komnas HAM berdasarkan Keppres No. 50/1993, Komnas HAM periode keanggotaan 2002-2007 menetapkan kehadiran institusi HAM di daerah dalam dua kategori, yaitu: (1) “Perwakilan” Komnas HAM; (2) “Kantor Perwakilan” Komnas HAM.[4]
Perihal yang berhubungan dengan keberadaan Perwakilan dan Kantor Perwakilan Komnas HAM di daerah, telah diatur oleh Komnas HAM periode keanggotaan 2002-2007 lebih lanjut dalam Peraturan Tata-Tertib Komnas HAM (tertanggal 29 April 2004, selanjutnya disebut Tatib 7). Adapun pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.[5]

1.    Perwakilan (2 Perwakilan Komnas HAM, yaitu Padang, Sumatra Barat & Pontianak, Kalimantan Barat)
a.       Pembentukan perwakilan Komnas HAM dilakukan berdasarkan usul masyarakat setempat atau apabila dianggap perlu oleh Komnas HAM;
b.      Tujuan perwakilan Komnas HAM dapat dicapai dengan ‘penyesuaian seadanya’ (mutatis mutandis) pada tataran daerah tujuan Komnas HAM menurut pasal 75 UU No. 39/1999;
c.       Fungsi perwakilan Komnas HAM adalah merealisasikan kebijakan dan sebagian fungsi Komnas HAM (dalam bidang-bidang pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi di tataran daerah yang bersangkutan) sebagai delegasi dari Komnas HAM;
d.      Keanggotaan perwakilan Komnas HAM merujuk pada jumlah menurut kebutuhan yang ditetapkan dalam Keputusan Komnas HAM tentang pembentukannya. Masa jabatan anggota adalah 3 (tiga) tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan;
e.      Tanggung jawab perwakilan Komnas HAM merujuk kepada Sidang Paripurna Komnas HAM;
f.        Anggaran perwakilan Komnas HAM dibebankan pada APBN yang dialokasikan kepada Komnas HAM;
g.       Perwakilan Komnas HAM tidak menutup kemungkinan bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2.    Kantor Perwakilan (4 Kantor Perwakilan, yaitu Banda Aceh, NAD; Ambon, Maluku; Palu, Sulawesi Tengah; dan Jayapura, Papua). Sedangkan Kantor Perwakilan yang sejak tahun 2006 direncanakan pembukaannya adalah Kantor Perwakilan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pekanbaru (Riau)
a.       Pembentukan Kantor Perwakilan Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM, dan untuk jangka waktu tertentu;
b.      Tugas Kantor Perwakilan Komnas HAM adalah melaksanakan tugas tertentu di daerah yang bersangkutan (sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Komnas HAM tentang pembentukannya) untuk jangka waktu tertentu;
c.       Pimpinan dan staf Kantor Perwakilan Komnas HAM dipimpin oleh “Kepala” Kantor Perwakilan Komnas HAM, dan Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM dibantu oleh staf menurut kebutuhan;
d.      Tanggung jawab Kantor Perwakilan Komnas HAM ditujukan kepada Pimpinan Komnas HAM;
e.      Anggaran Kantor Perwakilan Komnas HAM dibebankan pada anggaran Komnas HAM.

   
C.      Kerangka Penjelasan
Komnas HAM dapat dipahami sebagai salah satu ragam teknologi sosial, yakni cara penyelesaian dan pemenuhan masalah-masalah kemasyarakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, Komnas HAM adalah konsep baru mengenai institusi penyaluran kebutuhan hukum bagi masyarakat.[6] Ia dapat dipahami sebagai teknologi sosial dalam upaya kita memberdayakan masyarakat tertentu, terutama mereka yang rentan terhadap perlakuan ketidak-adilan baik oleh Negara maupun warga Negara dengan sesamanya. Secara sosiologis anggota masyarakat kita masih memerlukan pencerahan dan penyuluhan mengenai HAM.[7] Timbul dan berkembangnya teknologi serta pengaruhnya pada kehidupan sosial dan ekonomis membawa-serta gagasan (ideas) untuk menggambarkan proses realisasi Komnas HAM sebagai suatu bentuk rekayasa sosial dan kemanusiaan (social engineering by law). Institusi Komnas HAM sedapat-mungkin diupayakan untuk menjadi instrumen pembentuk budaya HAM yang berukuran universal dalam masyarakat Indonesia.
Urgensi restrukturisasi Komnas HAM dalam wujud dukungan pembukaan Perwakilan Komnas HAM di Aceh lebih mungkin dikaitkan dengan kebutuhan mendesak pada rekayasa sosial. Dengan adanya peningkatan status Komnas HAM di Aceh dari Kantor Perwakilan Komnas HAM menjadi Perwakilan Komnas HAM akan memungkinkan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRD-Aceh) saling membantu dengan Komnas HAM dalam bidang program dan anggaran. Restrukturisasi yang demikian itu diperlukan untuk mempercepat pemahaman, penghayatan, dan pengalaman warga masyarakat Aceh pada ukuran dan cara-pandang HAM yang universal.[8]
Kerangka penjelasan (frame of reference) ‘Perwakilan Komnas HAM’ sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat Aceh dapat dikaitkan dengan konsep Roscou Pound tentang “kepentingan”, yakni inti dari aliran hukum sosiologis. Kepentingan dipahami sebagai suatu keinginan atau permintaan yang hendak dipenuhi manusia, baik secara pribadi, hubungan antar pribadi, maupun kelompok (komunitas Aceh). Restrukturisasi Komnas HAM untuk keperluan masyarakat Aceh, agaknya, sudah menjadi kepentingan sosial (social needs, social interest, dan social adjustment).[9] Kepentingan sosial di sini merujuk pada kebutuhan kemasyarakatan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik). Dalam kepentingan sosial tercakup antara lain kepentingan atas keamanan umum, kehidupan pribadi, perlindungan moral, konservasi sumberdaya sosial dan alam, serta kepentingan perkembangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Lebih jauh lagi, bahwa Perwakilan Komnas HAM di Aceh dapat diasumsikan sebagai ‘jembatan’ untuk membawa-serta masyarakat pada keadilan, baik yang bersifat hukum maupun bercirikan administif. Pertama, keadilan yang bersifat hukum. Macam keadilan ini didasarkan pada pengelolaan administrasi HAM yang otoritatif, dilandasi norma-norma yang terpola –atau panduan, yang dikembangkan dan diaplikasi melalui suatu teknik (pengelolaan dan pembelajaran HAM) yang otoritatif, di mana para warga Negara mengetahui adanya kontroversi (pelanggaran HAM) sebelumnya, dan karena itu semua orang layak menerima perlakuan yang sama. Artinya, ada administrasi peradilan (administration of justice) tertentu yang impersonal dan sejajar, sehingga dengan demikian dapat dijamin oleh sarana aturan-aturan (precepts) yang berlaku umum. Institusi (Perwakilan) Komnas HAM dalam hubungan ini dipahami sebagai tata-hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).
Kedua, keadilan yang bercirikan administratif. Ragam keadilan ini memungkinkan diwujudkan sesuai dengan keinginan atau intuisi seseorang (pemimpin kharismatik yang adil) yang di dalam pengambilan keputusan mempunyai ruang-lingkup kebebasan pengambilan keputusan (diskresi) yang luas serta tidak ada keterikatan pada perangkat aturan umum tertentu.[10] Masalah yang akan sering dihadapi masyarakat dalam konteks pekerjaan Perwakilan Komnas HAM di Aceh adalah harmonisasi unsur-unsur judisial dengan administrasi dan keadilan.[11] Keberadaan Perwakilan Komnas HAM di Aceh, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai institusi, wahana kumpulan dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan administratif (termasuk harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan dari para individu ataupun kelompok-kelompok yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka) yang berkaitan dengan pekerjaan Komnas HAM.  

D.      Simpulan
Simpulan ini bersifat konseptual dan hipotetis, tidak didasarkan pada data empirik yang memadai dan relevan. Bahwa Kantor/Perwakilan Komnas HAM di Daerah merupakan bagian dari struktur pekerjaan Komnas HAM RI yang berpusat di ibukota Negara, Jakarta. Restrukturisasi dalam artian pembaruan kelembagaan Komnas HAM di Daerah, dari Kantor Perwakilan Komnas HAM menjadi Perwakilan Komnas HAM di Daerah atau sebaliknya, itu sangat ditentukan oleh kondisi dan kestabilan masyarakat di daerah bersangkutan. Dimensi kestabilan itu dapat diukur, antara lain, pada kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam konstalasi integrasi nasional. Kebutuhan restrukturisasi Komnas HAM RI itu dilandasi oleh semangat rasionalitas dan sivilisasi. Oleh karena itu, semakin stabil suatu daerah (Kantor/Perwakilan Komnas HAM) semakin mungkin persiapan untuk restrukturisasi diselenggarakan. Restrukturisasi dilakukan terhadap satu atau lebih Kantor/Perwakilan Komnas HAM yang sudah ada, sebagai bagian dari penyusunan atau penataan kembali organisasi atau institusi Komnas HAM yang ada.


[1] Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala; manajer Aceh Justice Resource Centre (AJRC) kerjasama Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Syariah IAIN AR-Raniry dengan European Commision (EC) dan United Nations Development Programme (UNDP), Darussalam-Banda Aceh. Paper ini disajikan sebagai pengantar Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) tentang Restrukturisasi Perwakilan Komnas HAM di Daerah, 25 Agustus 2008, di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh.
[2] Lihat dasar hukum Internasional (Piagam PBB 1945, DUHAM 1948) dan nasional (UUD 1945, terutama alinea pertama pembukaan, pasal-pasal 27, 28, 29 ayat 2, 30 ayat 1, dan 31 ayat 1. Lihat juga Eny Soeprapto, “Menuju Terbentuknya Undang-Undang Tersendiri Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia –Sebuah Pemikiran”, Modul Diskusi pada Seminar tanggal 15 Juni 2008, halaman 10.
[3] Misalnya, Komite tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial” untuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965; “Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya” (dibentuk oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB) untuk HHESB, 1966; Komite HAM untuk KIHSP, 1966; dan Komite-Komite  lain yang bersifat unibversal. Lihat Eny Soeprapto, “Menuju Terbentuknya Undang-Undang Tersendiri Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia –Sebuah Pemikiran”, Modul Diskusi pada Seminar tanggal 15 Juni 2008, halaman 36.
[4] Landasan struktural dalam konteks penulisan ini tidak mencakup pengertian operasional organisasi bersangkutan seperti bentuk institusi, jumlah anggota, dan pembagian kerja personil berdasarkan besar-kecilnya divisi yang dirancang baik pada level nasional maupun daerah.
[5] Lihat Eny Soeprapto, “Menuju Terbentuknya Undang-Undang Tersendiri Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia –Sebuah Pemikiran”, Modul Diskusi pada Seminar tanggal 15 Juni 2008, halaman 71.
[6] Hukum (as a tool of social engineering) dalam konteks ini masih dipahami secara positivistik, yakni sumber dari hak-hak, tugas-tugas, dan kuasa-kuasa yang harus direalisasikan (Law as a source of rights, duties, and powers, as in the sentence ‘the law forbids the murdering heir to inherit’, Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence 220-21, 1990, lihat Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8-ed, Thomson, West, 2004:900).
[7] HAM yang dikembangkan dan dijadikan ukuran oleh Komnas HAM kita, boleh jadi, merujuk pada indikator yang universal yang  dihayati dan diamalkan masyarakat modern-industrial. Kita cenderung mengadopsi teknologi sosial itu sebagian besar untuk keperluan ekternal, dalam wujud mengukur dan menghakimi pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat terdahulu yang terorganisasi (secara politik) di mana mereka hidup dan dibesarkan dengan sistem pendidikan atau dontrin yang fatalistik. Belum dapat dikatakan bahwa pelanggaran HAM (secara sosial, budaya, dan ekonomi) di tingkat warga Negara dengan sesamanya tidak terjadi secara nyata dalam masyarakat kita.
[8] Salah satu substansi pendidikan HAM yang penting dan krusial bagi masyarakat Aceh ke depan adalah pembentukan sistem nilai-budaya yang inklusif dan akomodatif pada perbedaan identitas baik secara individual maupun komunal sehingga debat mengenai HAM Barat dan Timur menjadi negasi. Itu antara lain untuk memungkinkan persiapan para individu berhadapan pelbagai budaya lain yang dihayati dan amalkan oleh warga Negara sendiri dan luar dengan andalan kemandirian. Prinsip untuk menjunjung tinggi perbedaan baik dalam hubungan personal dan kolegial, individual dan kelompok, terutama secara sosial dan budaya di daerah itu tidak mudah karena cara-berpikir dan cara-bertindak yang berlaku dalam masyarakat Aceh masih dilandasi sistem nilai-budaya homogen. Oleh karena itu, diperlukan kerja-keras dan kemauan-baik baik dari penguasa maupun kalangan menengah terdidik untuk menjadi pelopor HAM universal yang istiqamah.
[9] Suatu sarana rekayasa sosial yang baik dirancang berdasarkan wawasan ideal-realistik, suatu kombinasi dari paham idealisme dan paham prgamatisme. Dalam konteks ini, struktur Perwakilan Komnas HAM di Aceh harus dirancang berdasarkan unsur-unsur realitas sosial tempatan berupa kebutuhan sosial, kepentingan sosial, dan penyesuaian sosial yang pragmatis, serta ditopang oleh elemen ideal yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan berupa nilai-nilai spiritual.
[10] Lihat Roscoe Pound, Jurisprudence, St. Paul Minn, West Publishing, 1959:347. Bagi Rescoe Pound hukum adalah “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum serta hukum di sini adalah sarana utamanya (lihat http://adienur.wordpress.com/ 2008/04/14/beberapa-definisi-hukum/, didownload tanggal 23 Agustus 2008).
[11] Untuk sampai pada harmonisasi unsur-unsur judisial dengan administrasi dan keadilan itu membutuhkan wawasan pengetahuan (knowledgeability) dan kemampuan (capacity) para warga Negara (terutama pengambil keputusan) dalam menangkap, memahami, dan memberikan penjelasan pada masyarakatnya.