Thursday, October 14, 2010

Aspek Socio-Legal Pemenuhan Hak Politik TNI/POLRI

Aspek Sosio-Legal Pemenuhan Hak Pilih TNI/POLRI Dalam Pemilu 2014
Oleh M. Saleh Sjafei

Latar-Belakang
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu media demokrasi yang memungkinkan kemerdekaan (“kontrak sosial: dari, oleh, dan untuk”) rakyat atau masyarakat Indonesia terwujud melalui format sebuah Negara modern. Masyarakat melalui para warganya menunjukkan salah satu bentuk partisipasi mereka dalam memilih pemimpin atau wakil-wakilnya secara (individual) langsung (bebas dan rahasia) dalam setiap paket pembangunan lima tahun sebagai upaya mereka untuk menyempurnakan fungsi dan peran (elemen-elemen) bangunan negara modern.

Di satu sisi, setiap warga Negara berhak untuk memperoleh perlakuan atau kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan (UUD-RI 1945). Hal itu merupakan bagian dari pemenuhan fungsi dan peran Negara atas kekuasaan atau kedaulatan yang diberikan rakyat kepadanya. Ada banyak pernyataan normatif lain (misalnya, pasal 28 UUD 1945) yang mengisyaratkan bahwa Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum, dan bukan didasarkan pada kekuasaan belaka.

Di sisi yang lain, ada beberapa pernyataan hukum yang membatasi hak dan atau kewajiban sebagian warga Negara (kendatipun mungkin untuk jangka waktu tertentu) untuk ikut-serta dalam proses Pemilu sarana pemenuhan aspirasi dan kebutuhan demokratis tadi. Mereka itu adalah warga masyarakat yang diorganisasikan sebagai TNI/POLRI. Pembatasan itu terlihat melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk TAP-MPR Nomor VII/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu. Demikian pula dalam pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan: menjadi anggota partai politik (parpol), politik praktis, bisnis, untuk dipilih menjadi anggota legislative dalam Pemilu, dan jabatan politis lainnya.

Tulisan ini untuk menampilkan hubungan hak pilih TNI/POLRI dengan Negara dan Masyarakat Indonesia dalam suatu kerangka pemikiran akademis. Persoalannya adalah bagaimana hubungan antara (hukum) Pemilu dengan karakteristik masyarakat Indonesia, misalnya, dalam hal ini komunitas TNI/POLRI. Dengan perkataan lain, mengapa atau apa saja faktor (variable) yang mungkin menjadi pertimbangan sebab-musabab (representasi hukum) Negara membatasi pemenuhan hak dan atau kewajiban komunitas terorganisasi TNI/POLRI untuk berpartisipasi dalam beberapa Pemilu yang lalu dan kemungkinan periode mendatang.  

Hubungan Negara dan Masyarakat
Indonesia adalah Negara hukum. Itu merupakan sebuah hasil perjuangan rasional para founding fathers, representasi seluruh rakyat yang mencapai klimaks pada masa proklamasi kemerdekaan yang lalu. Hal itu untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara modern yang telah memenuhi berbagai persyaratan formal-rasional, seperti memiliki otoritas dan keabsahan memonopoli kekuatan memaksa (penggunaan kekerasan yang terorganisasi) terhadap ancaman keberadaan atau keselamatan Negara dan warganya. Dalam beberapa hal yang prinsipil TNI/POLRI, bagaimanapun, adalah bagian dari kekuatan dan identitas Negara nasional itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa TNI/POLRI sebagai komunitas terorganisasi adalah sekelompok warga Negara terpilih (a chosen few) yang lebih representatif dalam mewujudkan berbagai atribut keharusan bernegara dan berbangsa Indonesia. Secara normatif mereka adalah para pelindung masyarakat kewargaan (civil religion) dalam banyak dimensi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 

Di samping Indonesia adalah Negara hukum, apakah warga Negara Indonesia merupakan masyarakat hukum? Seberapa jauh Negara hukum itu compatible dengan atau bahkan conducive bagi nasionalisme kewargaan dengan karakteristik (warna, pluralitas, heterogenitas) masyarakatnya. Betapapun, selain dibutuhkan hukum nasional juga diakui keberadaan hukum-hukum (sistem nilai-budaya) lokal. Dalam kondisi demikian, boleh jadi, Indonesia sedang dalam proses pergulatan antara Negara hukum (modern-rasional) dengan kebhinnekaan masyarakat adat (afektif-tradisional). Dalam beberapa rujukan literatur hukum pertanahan nasional ditemukan konsep komunalisme-religio-magis untuk mewakili kekhasan masyarakat Indonesia. Hal itu memperlihatkan bahwa ada berbagai kemungkinan konsekuensi (manifest dan latent) dalam hubungan produktivitas dan kinerja bernegara dan bermasyarakat dalam kenyataan sosial kita.

Kehendak setiap negarawan untuk menerjemahkan dan menemukan profil (internalisasi dan institusionalisasi secara substantif) masyarakat nasional mengalami pasang surut sesuai dengan mekanisme pertukaran sosial yang terjadi dalam natural setting. Misalnya, salah satu proposisi (hukum dari) teori social exchange itu adalah bahwa semakin seseorang memperoleh kemudahan (atau keuntungan immaterial dan materil) dari suatu (jalinan tindakan) interaksi, komunikasi, atau negosiasi (dalam hal ini Negara dan masyarakat), maka semakin sering pula tindakan itu dilakukan seseorang secara berulang. Motto kebangsaan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”, oleh karena itu, menjadi salah media untuk memungkinkan memperlancar proses integrasi keIndonesiaan, jalinan akulturasi dan asimilasi variasi kekayaan warna sistem nilai-budaya yang sangat menantang dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi.  

Jika penjelasan untuk pertanyaan itu menggunakan kerangka pikiran Durkheim, maka dalam masyarakat Indonesia paling sedikit terdapat dua ragam solidaritas sosial mereka, yaitu semangat senasib-sepenanggungan yang bersifat mekanis dan yang organis. Jika Spencer menggunakan tipologi militaristik dan industrial, Durkheim memperkenalkan tipologi masyarakat meknais dan organis (serta Tonnies melihat dengan kerangka community dan society). Berbagai kerangka (tipologi atau model) analisis itu dimaksudkan untuk menampilkan kurang lebih bagaimana karakteristik komunitas (profesional) TNI/POLRI dan berbagai pengelompokan masyarakat lain di Indonesia baik yang bersifat rural (misalnya berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) maupun yang cenderung urban (occupational groups) dalam kaitan dengan pilihan sistem politik demokratis.    

Bangunan Negara Indonesia modern dengan berbagai atribut politik, (ekonomi dan sosial-budaya) merupakan produk atau capaian masyarakat yang bercirikan organis. Dalam masyarakat tersebut ilmu pengetahuan digunakan sebagai cara-pandang (way of life). Secara formal-legal sangat mungkin komunitas TNI/POLRI adalah bagian dari kelompok masyarakat organis, namun secara substansial-historis warga tersebut lebih mungkin pula merujuk pada sistem nilai-budaya komunalistik-relijius-magis. Dengan kata lain, komunitas prajurit TNI/POLRI pada momen (tempat, ruang, dan waktu) tertentu akan memperlihatkan diri mereka secara personal (individual) sebagai bagian masyarakat yang menganut solidaritas mekanis (kembali pada akar sistem nilai kelompok rujukannya dalam kerangka SARA tadi).

Dengan kata lain, sejauh ciri-ciri umum masyarakat Indonesia masih merujuk pada kesadaran bersama (collective conscience), belum secara substansial menghayati moralitas individual (purposive rational consciousness), maka semangat mereka lebih cenderung pada otoritas politik yang kharismatik dan atau tradisonal. Padahal, sistem Pemilu yang demokratis mensyaratkan semangat partisipasi warga Negara dengan landasan solidaritas organis (hubungan impersonal, transparan, dan akuntabel) dalam suatu otoritas politik yang legal-formal. Seberapa jauh sistem sosialisasi (pendidikan formal, non-formal, dan informal) dalam organisasi TNI/POLRI itu memenuhi ukuran kinerja demokratif.

Dengan sistem sosialisasi dalam tubuh TNI/POLRI dan ciri-ciri (semangat) atau sistem nilai-(akar) budaya kelompok rujukan (reference groups) yang demikian itu, dapat diperkirakan bahwa pemenuhan hak pilih TNI/POLRI sebagaimana masyarakat lain umumnya akan membawa konsekuensi latent yang sulit dideteksi secara formal-legal. Dalam hubungan ini terjadi pergulatan antara tindakan-tindakan para pendukung kelompok (partai-partai politik yang ada) dengan prinsip moralitas kolektif (SARA, komunalisme-religio-magis) dan hamba-hamba hukum (yang merujuk pada moralitas individual-rasional).   

Simpulan
Berdasarkan uraian analitis (tanpa data empirik) terdahulu dapat dikemukakan bahwa hubungan antara (hukum) Pemilu dengan karakteristik umum masyarakat Indonesia tidaklah sejajar. Pemilu lebih merujuk pada ciri-ciri dalam masyarakat organis, dan masyarakat Indonesia masih cenderung (rentan) dan memungkinkan digerakkan (para politisi atau kroninya yang status quo) dengan semangat (solidaritas) yang mekanis.  Dalam hal ini komunitas TNI/POLRI yang embedded dengan schemata (sistem struktural nilai-budaya) sosialisasi mereka yang telah mentradisi (umpamanya, bagaimana efek-domino bias “sumpah prajurit atas perintah atasan”) lebih mungkin atau rentan pada mobilisasi dan rasionalisasi kepentingan politisi yang tidak integral.

Dengan perkataan lain, ada beberapa faktor (variable) yang patut menjadi pertimbangan sebab-musabab (rasional) aparat institusional Negara (pembentuk hukum) membatasi pemenuhan hak dan atau kewajiban komunitas terorganisasi TNI/POLRI untuk berpartisipasi dalam beberapa Pemilu yang lalu dan kemungkinan periode mendatang. Faktor-faktor itu termasuk:
1. Posisi TNI/POLRI sebagai pelindung masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia dari ancaman disintegrasi secara sosial-budaya, ekonomi, dan politik (rasional), tidak harus lebih dulu berwujud post-facto.
2. Mekanisme atau sistem sosialisasi profesionalitas TNI/POLRI akan bernegosiasi (lihat hukum social exchange) dengan (latar-belakang) sistem nilai-budaya (akar) mereka yang berlandaskan komunalisme-religio-magis, secara politik dan ekonomi (SARA) melalui kelompok (partai politik yang mungkin mengandalkan segala cara untuk meraih suara kemenangan) dalam Pemilu.
3. Kebutuhan akan upaya netralitas TNI/POLRI dalam mendukung stabilitas perkembangan pilitik, ekonomi, dan sosial-budaya yang sedang berjalan dalam masyarakat Indonesia.

Demikianlah (kertas kerja ini disampaikan sebagai) pengantar ini diracik berdasarkan hasil pemikiran teoretis penulis. Sejak awal penulis memprediksi akan ada banyak kekurangan dalam berbagai wujud, termasuk selera konsumen (pembaca atau pendengar). Semua keluhan itu akan menjadi masukan kritis dan tanggung jawab intelektual saya. Salam hormat saya, saleh sjafei (alumni program doktoral FISIP-UI)


--- On Fri, 10/8/10, HELB <hai_otodidak@yahoo.com> wrote:

From: HELB <hai_otodidak@yahoo.com>
Subject: (GreenAcehCommunity) Aceh Institute gelar Diskusi Hak Pilih TNI/POLRI di PEMILU 2014
To: IACSF@yahoogroups.com
Date: Friday, October 8, 2010, 3:48 AM

DISKUSI PUBLIK, Aceh Peace Program
The Aceh Institute 15-Oktober 2010
 
TOPIK: Mengkaji Hak Pilih TNI/POLRI Dalam Pemilu 2014
 
 
LATAR BELAKANG
 
            Dalam Pemilu 2004 TNI/Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak menggunakan hak pilihnya. Itu dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.  Begitu juga dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 39, yaitu Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan menjadi anggota parpol, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya. Sehingga Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2004-2009 tak ada lagi wakil TNI/Polri di DPR, seperti tertuang dalam Pasal 5 Tap MPR No VII/MPR/2004 yang menyebutkan, “Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) paling lama sampai dengan tahun 2004″.
            Terlepas dari itu semua, pertanyaan mendasar yang kerap diajukan adalah: apakah TNI memiliki hak pilih seperti halnya warga negara lainnya? Apakah TNI diperbolehkan memilih? Apakah karena suatu profesi tertentu telah menyebabkan ia tidak boleh memilih, bukankah hal tersebut telah diakui oleh pasal 28 UUD 1945?
Jika kita mengacu pada kaidah demokrasi universal, bahwa seseorang yang memiliki profesi tertentu, tidak kehilangan hak-hak politiknya. Khususnya hak memilih dalam pemilu. Semua warga negara pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban sama. Demikian pula bagi anggota TNI, status kewarganegaraannya sama dengan WNI lain.
Sebaliknya, beberapa elemen lainnya mengatakan bahwa keterlibatan TNI/Polri dalam Pemilu secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh para keberpihakan lembaga tersebut pada partai tertentu, seperti yang telah terjadi para masa Orde Baru. Hal ini seperti dikatarakan oleh Lukman Hakim Saifuddin [Wakil MPR RI], bahwa  pemberian hak memilih terhadap anggota TNI dalam Pemilu dan Pilpres 2014 bisa mendorong politisasi terhadap institusi penjaga pertahanan negara tersebut.
Berdasarkan polemik dan perdebatan mengenai hak pilih tersebut, diperlukan suatu diskusi secara komprehensif, sehingga mendapatkan suatu gambaran tentang hak pilih TNI/Polri, baik dari sudut legalitas hukum (UU), Kebijakan Politik, Demokrasi dan HAM.
 
 
TUJUAN
Adapun tujuan diskusi publik ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui secara jelas dan komprehensif mengenai hak pilih bagi TNI/Polri, baik dari sudut hukum, politik, demokrasi dan HAM
2.      Memberikan ruang dan aspirasi bagi berbagai pihak untuk menyampaikan ide, gagasan dan intelektualitas-nya terhadap polemik mengenai hak pilih TNI/Polri dalam pemilu 2014 di Indonesia
 
NARASUMBER
1.      Mukhlis Mukhtar, S.H [Politisi]
Judul: Pengaruh Hak Pilih TNI/Polri dalam Pemilu 2014 menurut perspektif  Partai Politik terhadap Demokrasi
2.      Dr.Saleh Sjafei (Pakar Hukum & Sosiologi Universitas Syiah Kuala)
Judul: Memahami Hak Pilih TNI/Polri dalam Pemilu Menurut Kajian Konstitusi dan Sosiologi
3.      Asiah Uzia (KontraS Aceh)
Judul: Persepsi sipil terhadap wacana pengembalian hak pilih TNI/Polri dalam Pemilu 2014
 
MODERATOR: Chairul Fahmi
TEMPAT DAN WAKTU
Pelaksanaan diskusi publik ini akan dilakukan pada:
Hari/Tanggal  Jumat, 15 Oktober 2010
Pukul 09.30 – 12.00 WIB
Tempat CafĂ© Pustaka – Aceh Institute (Jl. Iskandar Muda No.12 Punge Blang Cut, Banda Aceh)
 
PENYELENGGARA
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Departemen Research and Kajian The Aceh Institute
PESERTA
Para peserta yang diundang dalam diskusi publik ini berasal Mahasiswa, Akademisi, LSM, dan berbagai pihak/lembaga Mahasiswa dan Masyarakat yang peduli terhadap isu-isu keamanan, pertahanan dan perdamaian di Aceh. Sementara diskusi ini free dan tanpa dipungut biaya apapun
Kontak Person:
1.       MUSYU [Staf Riset dan Kajian, The Aceh Institute]
Email: mosyumid@yahoo.com. Mobile: 085260543617
2.       Chairul Fahmi
Email:fahmiatjeh@hotmail.com. Mobile:081269881842
 
 

--

No comments: