Thursday, October 14, 2010

Aspek Hukum dan Kemasyarakatan


Berikut ini silahkan membaca dan memberikan respon atas artikel tentang “aspek hukum dan perkembangan kemasyarakatan di Indonesia”. Diharapkan isi tulisan memberikan masukan dalam hubungan dengan semangat Negara hukum dan (tipologi Spencer, serta) masyarakat kekeluargaan.

Dalam wacana hukum kritis ada asumsi bahwa aturan-aturan itu diyakini tidak berada dalam keadaan vacuum. Hukum dianggap berada dalam suatu interaksi sosial ekonomi yang kompleks. Perumusan aturan hukum karenanya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang dalam masyarakat. Perumusan UUD 1945, boleh jadi, juga tidak terlepas dari premis tersebut. Perdebatan pendiri bangsa di BPUPKI-PPKI (22 Mei-22 Agustus 1945) yang melahirkan UUD 1945 menunjukan tarik menarik kepentingan pendiri bangsa yang mewakili ragam kelompok atau aliran pemikiran. Sebagai sintesa hasil dialektika itu, UUD 1945 menampilkan kekhasan fundamental bangsa Indonesia. George McTurnan Kahin dalam karyanya Nationalism And Revolution in Indonesia mengatakan bahwa UUD 1945 setidaknya mengandung empat motivasi bangsa Indonesia, yakni: semangat anti kolonialisme, kolektivisme masyarakat hukum adat, Islam, dan Sosialisme.

Pandangan sosialistis pendiri bangsa yang mewarnai UUD1945 (sebelum amandemen) tercermin dalam pasal 27 (hak atas pekerjaan yang layak), pasal 33 (sistem perekonomian nasional), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial). Hasil studi perbandingan konstitusi menunjukan bahwa pengaturan kehidupan sosial ekonomi dalam konstitusi umumnya ditemukan di negara-negara bercorak perekonomian sosialis. Sebagaimana dikemukakan V.F Kotok dalam On The System of The Science of Soviet Constitutional Law, Hukum Tata Negara di negara-negara sosialis dipandang sebagai keseluruhan aturan hukum yang mencerminkan dan mengatur prinsip-prinsip penting, baik mengenai pemerintahan (politik: governance) maupun struktrur sosial masyarakatnya (aspek sosial-budaya, dan ekonomi).

Sementara itu di negara-negara dengan tradisi individual-liberal, tata sosial-ekonomi tidak diatur dalam konstitusinya. Jaminan konstitusional kepada rakyat hanya diberikan dalam aspek politik saja. Dalam bidang sosial dan ekonomi,  nasib rakyat diserahkan kepada keuletan dan kemauan masing-masing (urban occupational groups) untuk bekerja keras serta berkompetisi (secara etis) dengan sesamanya. Hal ini merupakan warisan hukum Romawi yang membedakan antara dominium (kekuasaan ekonomi) dengan imperium (kekuasaan politik). Montesquie kembali mempertegasnya dalam karyanya Spirit of Law: “...dengan public and political law kita dapat memperoleh kebebasan, sedangkan dengan private law kita mendapatkan hak milik. Keduanya baik untuk tidak dicampuradukan satu sama lain...”

Konstitusi dengan pengaturan sosial-ekonomi didalamnya juga dapat ditemukan di negara-negara non-komunis/sosialis seperti Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa pembentukan UUD 1945, sebagaimana dikemuakakan Kahin, telah diwarnai pemikiran “kiri”. Warna “kiri” itu terjadi karena persentuhan (kepentingan subjektif) pendiri bangsa dengan pemikiran “kiri” saat mereka menempuh pendidikan di Negeri Belanda, perkembangan Partai Komunis Indonesia serta kecenderungan di antara tokoh-tokoh pergerakan tahun 1930-an  yang mengecam kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme dengan menggunakan pendekatan marxisme sebagai pisau analisis.

Meskipun demikian, gagasan “kiri” pendiri bangsa yang dtuangkan dalam naskah konstitusi tidak mengadopsi pemikiran Marxisme-Leninisme atau sosialisme ala (versi) Barat secara mutlak. Hatta misalnya, meskipun ia dikenal sebagai inisiatior perumus Pasal 33, kerapkali ia dikecam kalangan komunis sebagai tokoh yang  berpura-pura sosialis-proletar dengan banyak menggunakan frasa-frasa “kiri”. Hatta sebagaimana pendiri bangsa yang lain rupanya hendak memperkenalkan gagasan baru yang khas keIndonesiaan. Dalam menjelaskan gagasan kolektivisme,  Hatta menolak model kolektivisme komunis yang tidak mengakui hak individu. Kolektivisme yang digagas Hatta terkandung kehendak untuk tetap mengakui hak-hak individual. Hal ini pula yang akhirnya melahirkan Pasal 28 tentang hak asasi manusia (HAM), pengaturan yang tak ditemukan dalam konstitusi di negara-negara sosialis pada umumnya. Ternyata ide Kolektivisme Hatta lebih (didasarkan pada spirit etika ekonomi) ditujukan kepada perusahaan-perusahaan besar, sementara keperluan pribadi dan rumah tangga dan hal-hal yang berhubungan dengan penghasilan keluarga tetap merujuk pada keutuhan milik pribadi. Dengan kata lain, sebagaiamana ditulis Bung Hatta dalam Daulat Ra’yat tahun 1933 bahwa semangat kolektivisme yang digagasnya adalah collectivism van voortbrengensel, yakni kolektivisme produksi yang berintikan spirit usaha bersama (koperasi), sedangkan mekanisme distribusi kekayaan tidak diprioritaskan. Sementara  kolektivisme komunis merujuk pada kerangka collectivism van bezit (eigendom) yang menekankan pada ide pembagian kekayaan, menghilangkan hak milik pribadi dan diselenggarakan secara sentralistik.

Perumusan Pasal 33 UUD 1945 juga mendapat pengaruh dari gagasan Negara Integralistik, yang saat itu berkembang di Jerman. Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo  menyampaikan gagasan Negara Integralistik, yaitu: “…dalam negara integralistik, yang berdasarkan persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara”. Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh Negara. Negara akan menentukan di mana dan di masa apa dan perusahaan apa di lingkungan pemerintah pusat atau daerah, yang diselenggarakan oleh negara atau oleh badan hukum private atau orang perorangan.” Sintesa beragam aliran pemikiran dalam perumusan  pasal 33 pada akhirnya melahirkan sebuah sistem perekonomian yang khas Indonesia, yang oleh Ir. Soekarno pada masa berkuasanya disebut sebagai Sosialisme Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam konsiderans Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 (UUPA) dan TAP MPRS No. II/MPRS/1960.

UUPA dan Partai Komunis Indonesia

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA, 1960) tak lepas dari kebutuhan untuk membentuk tatanan masyarakat baru pasca kemerdekaan dengan pola penguasaan tanah yang tidak mengandung semangat feodalisme sebagaimana dalam Agrarische Wet peninggalan pemerintahan Kolonial. Tanah sebagaimana dikemukakan Hatta, harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran besama, bukan untuk kepentingan perorangan, yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir (anggota) kelompok masyarakat (elite politik dan atau negarawan). Dengan demikian kelompok masyarakat tersebut secara langsung atau tidak dapat menindas kelompok masyarakat lainnya. Dalam konsepsi UUPA, tanah harus dikuasai oleh Negara sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang memiliki tanah tersebut. Negara hanya memiliki kewenangan publik untuk mengatur hubungan hukum antara tanah dengan orang perorang.

Selain UUPA pemerintahan Soekarno juga mengesahkan UU No 2 Tahun 1960  tentang pokok-pokok Bagi Hasil dan UU No 56 Prp. Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian yang kemudian dikenal dengan UU Reforma Agraria. Lahirnya tiga undang-undang ini merupakan milestone dalam pelaksanaan amanat pasal 33, juga menjadi tonggak penting dalam perjalanan Partai Komunis Indonesia.  

Tak dapat dipungkiri lahirnya tiga  undang-undang ini sejalan dengan visi PKI yang sejak kegagalan pemberontakan Madiun mulai melirik kekuatan petani sebagai aliansi strategis revolusi. Terlebih setelah D.N Aidit menjadi pimpinan PKI pada tahun 1951, PKI mengumumkan program agraria yang baru serta menekankan perlunya aliansi buruh-petani. Pada tahun 1953 Aidit mendesak kader PKI untuk melipat-gandakan usahanya mendapatkan dukungan kaum tani termasuk mendesak pemerintah untuk membentuk Undang-Undang Pokok Agraria.

Lahirnya tiga undang-undang agraria bercorak neo-populis itu tak pelak menjadikan PKI sebagai “pahlawan” kaum tani, sebab pembentukannya tak mungkin dipisahkan dari kiprah kader partai di pemerintahan. Dengan tiga undang-undang itu pula PKI menggerakkan massanya untuk melakukan aksi ofensif pengambil-alihan tanah yang melebihi batas maksimum menurut UU Refoma Agraria dari “tujuh setan desa” yakni: tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, calo, kaum kapitlis birokrat, manajer dan bandit desa. PKI bahkan berhasil mendesak pemerintah untuk membentuk Komando Penyelesaian Land Reform dan Pengadilan Land Reform pada tahun 1964 untuk mempercepat pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia.

Sayangnya upaya revolusioner untuk merombak tatanan pemilikan tanah dan struktur masyarakat lewat program land reform itu tidak berlangsung mulus. Suhu politik yang memanas di tingkat elit serta kesalah-pahaman pelaksanaan reforma agraria di tataran akar rumput menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang memakan korban jiwa yang tak sedikit. Pembubaran PKI serta pelarangan ajaran-ajarannya pada tahun 1966 pasca Gerakan Satu Oktober (Gestok) tak pelak membuat pelaksanaan UUPA dan land reform sebagai amanat Pasal 33 UUD 1945  terhambat, sebab citra “PKI” yang kuat melekat pada tiga undang-undang tersebut. Bahkan MPRS merasa perlu mereivisi beberapa frasa dalam UUPA yang dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntuan zaman seperti term “Masyarakat Sosialis Indonesia”, “Sosialisme Indonesia”, dan “Revolusi”.

Pemerintahan Orde Baru kemudian bahkan menafikan sdemangat dan keberadaan UUPA dengan membuat peraturan-peraturan agraria yang bertentangan dengan spirit UUPA dan pasal 33 UUD 1945. Keberadaan UUPA tetap dipertahankan karena aspek historis dan corak neo-populis yang dapat meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat. Pemerintahan pasca reformasi melangkah lebih jauh dengan mengesahkan Undang-undang Penanaman Modal yang memberi izin penguasaan tanah kepada pihak asing selama 95 tahun.

Angin liberalisasi yang berhembus pasca reformasi bahkan mengancam keberadaan pasal 33 sebagai landasan UUPA serta fundasi perekonomian nasional. Sekelompok ekonom pro-Barat bahkan mengajukan proposal untuk menghapuskan pasal 33 dari UUD 1945 karena dianggap sebagai “beban sejarah” yang membelenggu. Meskipun upaya itu gagal, Pasal 33 UUD 1945 pasca amandemen mendapat dua ayat tambahan di mana terdapat term “efisiensi”  (ayat 4) yang dapat menjadi legalisasi liberalisai perekonomian nasional. Perkembangan ini adalah tantangan "frontal" yang ditujukan kepada mereka yang berharap dapat mewujdukan masyarakat "sosialis Indonesia" lewat "konstitusionalisme populis", mereka yang berjuang demi "daulat rakyat" bukan "daulat pasar".
Lihat http://nyalaapi.multiply.com/journal/item/41/Menelusuri_warna_Merah_dalam_perundang-undangan_kita  this article was downloaded on October 13, 2010. 

No comments: