Tuesday, September 21, 2010

Peranan Uang Dalam Kehidupan Masyarakat



Ditulis dalam Black Road oleh scrapman pada Desember 2, 2006
Dari Pustaka Otonomis

Film “Mary Poppins” (1964) yang dibintangi oleh Julie Andrews adalah film yang mentertawakan soal uang dan para bankir, seraya merayakan kebebasan dan kebahagiaan dari nanny, pengamen jalanan yang bernama Bert (diperankan oleh Dick van Dijk), pembersih cerobong asap, pengemis dan merpati-merpati di katedral, serta anak-anak kecil dengan mata yang masih jernih. Disitu ada adegan orang terbahak-bahak dan mereka yang terbahak-bahak akan ditinggikan. Kemudian muncul pertanyaan, yang mungkin cukup fundamental untuk diajukan sebagai pertanyaan dalam kehidupan modern masyarakat, terutama masyarakat urban. Masalahnya, kita tak pernah memikirkan berbagai hal-hal yang kecil dan sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam hidup kita.

Tapi kini, apabila kalian memiliki waktu lebih untuk membaca dan berpikir mengenai hal-hal yang terlanjur dianggap sepele, mari kita lihat secara lebih detail mengenai apa itu uang dan bagaimana peranannya dalam mengatur hidup kita sehari-hari.

if (window.showTocToggle) { var tocShowText = “tampilkan”; var tocHideText = “sembunyikan”; showTocToggle(); }

Uang, hukum dan nominalisme
Uang sering didefinisikan sebagai alat pertuaran, alat pembayaran yang “sah” dengan mana terjadi transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain. Satu pihak menyerahkan produk berupa barang atau jasa, pihak lain (yang membayar) menukar “nilai” produk itu dalam bentuk uang. Pertukaran “nilai” itu bisa juga dalam bentuk barter, namun sesuai dengan perkembangan dalam sejarah manusia, lambat laun manusia belajar bahwa ternyata hal tersebut tidak praktis. Ada proses pertukaran yang lebih praktis: menggunakan uang.
Uang bermutu tinggi ialah uang yang amat dipercayai nilainya sebagai alat tukar. Sejak zaman kuno, peranan pemerintah merupakan salah satu penentu dari terpeliharanya mutu tinggi dari suatu jenis mata uang. Aristoteles, dianggap sebagai perintis teori tentang pengelolaan uang oleh pemerintah. Dalam karyanya beritel “Ethica Nichomachea”, ia menulis: “Money has become by convention ‘money’ (nomina)—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Kita masih ingat bukan, bagaimana nilai rupiah berubah (turun) dalam kaitannya dengan dollar, adalah sebagai akibat dari keputusan pemerintah, baik dalam sanering (kasus Indonesia tahun 1959 dan 1966) maupun devaluasi (kasus tahun 1983 dan 1986). Nilai nominal uang kitapun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya. Hukum pemerintah (nomos) memberi nama (nomina) kepada uang (nomisma). Nomos memberi nomina kepada nomisma.

Sejarah uang sejak jaman kuno penuh dengan kasus-kasus pemerintah yang disibukkan dengan teori nominal tentang uang ini. Patologi uang untuk sebagian besar ialah sejarah nominalisme dalam tindakan. Uang adalah perwujudan dari filsafat “nominalisme”. Dalam bertransaksi dengan uang berlaku adagium nominalisme yang dikutip pada akhir novel terkenal Umberto Eco yang bertitel “The Name of the Rose” yaitu: “stat rosa pristina nomine nomina nuda tenemus”, atau dalam terjemahannya kira-kira begini, bunga mawar telah ada jauh sebelum nama ‘mawar’ itu ada, namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri. Secara intrinsik, selembar uang Rp. 100.000,- mungkin lebih murah dari selembar uang Rp. 20.000,- tetapi kita sudah terbiasa untuk berpegang pada ‘nama’nya saja, bahwa seratus ribu adalah lebih bernilai daripada duapuluh ribu. Sesudah era barter, memang kemudian muncul ‘uang komoditi’, dimana salah satu bentuk komoditi (misalnya emas) dijadikan alat tukar standar. Tetapi kemudian yang lebih populer ialah uang fiat, yaitu uang yang nilainya dinyatakan oleh pemerintah yang dianggap sah tanpa ada fondasinya dalam uang standar dan tanpa nilai intrinsik atau nominalnya jauh di atas nilai intrinsik yang tak seberapa dan secara legal memiliki daya kekuatan sebagai alat tukar.

Masalahnya, nominalisme ini dapat membawa pada kemerosotan nilai uang sebagai “alat tukar” dan “penyimpan nilai” sedemikian rupa hingga pada tidak bernilainya uang saa sekali. Kita mengalami krisis moneter semacam ini pada paruh kedua tahun 1997 dan seterusnya hingga kini. Kalau pada bulan Juli 1997 orang yang memiliki upah kerja Rp. 5.000.000,- itu sama dengan yang memiliki upah lebih dari 2000 USD, maka pada bulan Juni 2004, upah tersebut menjadi sekitar 550 USD saja. Bahkan seandainya upah dalam rupaih naik dua kali lipat menjadi Rp. 10.000.000,- misalnya, maka jumlah tersebut tetap hanya bernilai setengah dari upah bulan Juli 1997. setelah tujuh tahun bekerja, maka upah dalam rupiah naik dua kali, namun bila dikurskan ke dollar akan turun menjadi setengahnya. Orang-orang yang hidup dar gaji dan upah adalah mereka yang paling menderita akibat krisis moneter yang diakibatkan oeh berlakunya nominalisme dalam sistem per-uang-an ini.

Mungkin perlu dilihat juga sifat saling keterkaitannya dari ‘rezim moneter’ dan ‘rezim politik’ ini. Kredibilitas moneter dan kredibilitas politik memiliki hubungan yang timbal balik. Kredibilitas politik untuk sebagian besar berisi legitimiasi politik (misalnya dengan diadakannya Pemilu) dan supremasi hukum. Karena itu, nominalisme uang berhubungan dengan diskursus dan relasi kekuasaan. Atau dengan kata lain, nominalisme uang lebih merupakan nominalisme postmodern, bukannya nominalisme Abad Pertengahan. Nominalisme postmodern ini sifatnya publik atau komunitarian, berhubungan dengan diskursus dan relasi kekuasaan yang senantiasa menyertainya.

Uang sebagai relasi sosial
Sejauh pengetahuan kami, satu-satunya buku yang membahas soal uang adalah yang berjudul “Philosophie des Geldes” (Filsafat Uang) yang ditulis oleh Georg Simmel, seorang filsuf dan sosiolog berkebangsaan Jerman yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Berlin.

Salah satu dalil pokok dari filsafat Simmel ialah bahwa “semua hal harus dianggap saling terhubung atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain”. (Pandangan ini biasa disebut ‘relasionisme’, yang kadang dimisinterpretasikan dengan ‘relativisme’. Padahal relasionisme hanya menggarisbawahi bahwa semua yang ada saat ini terhubung dengan hal-hal lain, sementara relativisme menggarisbawahi kenisbian atau ketidakmutlakan dari hal-hal yang ada, utamanya kebenaran, etika dan keindahan). Relasionisme Simmel bertolak dari asumsi dasar filosofisnya yang menganggap bahwa realitas atau kenyataan itu pada hakekatnya ialah gerak, perubahan terus menerus, sebuah proses. Akan tetapi hakekat kenyataan sebagai sesuatu yang senantiasa mengalir ini, sebagai ‘gelombang’ atau ‘vibrasi’ dari energi menurut novel “Celestine Prophecy” karya James Redfield, hanya dapat ditangkap oleh manusia apabila intelek dan akal budi manusia mengejar pengetahuan adalah demi pengetahuan itu sendiri. Kebanyakan manusia menggunakan intelek atau akal budinya untuk mencari pengetahuan demi alasan-alasan pragmatis atau instrumental ini, realitas tampil sebagai fenomena yang solid, yang telah fix, yang dapat disebut sebagai ‘substansi’. Manusia selalu beranggapan bahwa realitas adalah ‘apa yang tetap’, ‘yang tak berubah’, yang kelak disebut ‘substansi’ itu tadi. Seorang filsuf modern, Rene Descartes, misalnya, sangat menggaris bawahi konsep substansi ini sebagai “sesuatu yang untuk menjadi ada, tidak membutuhkan sesuatu yang lain lagi”. Konsep ini bertentangan dengan ‘relasionisme’. Pergeseran ‘substansialisme’ ke ‘relasionisme’ ini juga dapat diamati dalam pergeseran teori fisika: dari Newton ke Einstein, misalnya.

Pandangan dasar ini sangat tampak dalam uraian Simmel tentang masyarakat dan tentang uang. Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah ‘gerak’ dan ‘aliran’. Namun, kita sudah terbiasa untuk sering menganggap masyarakat itu sebagai sebuah ‘organisme’, sebagai ‘substansi’, sebagai ‘entitas yang utuh’, padahal—padahal itu semua hanya imagined community.
Begitu juga uang. Bagi Simmel, uang bukanlah ‘substansi’ yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Tidak. Uang pada hakekatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang, dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran.

Ini sesuai dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullgate dan Peter Newman, bahwa: “Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual’s will as any natural phenomenon.” (The New Palgrave: A Dictionary of Economics). Untuk memahami sistem hubungan sosial dimana uang memainkan peranan penting, kita harus memakai perspektif historis komparatif. Sifat khas uang hanya dapat dilihat bila sistem sosial kita dibandingkan dengn sistem sosial yang tidak melibatkan uang. Analisis Karl Marx tentang produksi komoditi memberi kita perspektif itu.

Dalam setiap masyarakat, orang haruslah berproduksi (memproduksi sesuatu) agar dapat bertahan hidup dan mengembangkan diri. Namun cara berproduksi atau berhubungan dalam produksi itu sebenarnya dapat diorganisir melalui berbagai cara yang berbeda satu sama lain. Salahs atu dimensi yang membedakan cara-cara berproduksi ini ialah sejauh mana produk yang dihasilkan itu dikontrol oleh individu-individu pemili (perodusen) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Dalam sistem produksi komoditi, suatu produk yang dihasilkan ialah ‘hak milik’ seorang pemilik, yang dapat ditukarkannya dengan produk yang dimiliki orang lain, mula-mula dengan sistem barter, lalu melalui uang komoditi, dan saat ini akhirnya dengan nominalisme.

Sebagai seorang sosiolog, Simmel juga meletakkan uang dalam perspektif sosiologi. Yang menarik dan relevan disini ialah pernyataan bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat dan itu memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Semakin luas lingkup sosial, semakin terdiferensiasi masyarakat, semakin ‘terspresialisasi’ pula ‘kewajiban-kewajiban sosial’ yang harus dijalani oleh individu. Bila lingkup sosial kecil, setiap anggota harus mampu mengerjakan banyak hal, diferensiasi dan spesialisasi krja hampir tak ada. Semua orang harus mengerjakan semua. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang ‘impersonal’, karena itu berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial.
Selain itu, uang dapat menjadi substitusi bagi ‘kewajiban-kewajiban sosial’, setidaknya sampai tingkat tertentu. Misalnya, kakak ipar saya menikahkan anaknya di Bali atau Kalimantan sementara saya tinggal di Jawa, ‘kewajiban sosial’ saya cukup terpenuhi dengan mengirimkan ongkos transportasi sebagai kado (katakanlah Rp. 1.000.000,- termasuk menginap di hotel semalam) daripada saya tetap wajib hadir in person dan memberi kado ala kadarnya (katakanlah “yang lazim” Rp. 100.000,-).

Kita dapat merumuskan, bahwa dengan pemilikan uang terjadi apa yang kini disebut sebagai leisure time, yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk aktualisasi diri. Masalahnya kini, salah satu isu yang berkembang dalam dunia bisnis dewasa ini adalah industri jasa yang fokus utamanya adalah pada leisure time itu sendiri. Di Amerika, majalah “Fortune” pernah membahas mengenai adanya semacam mode semi-retirement di kalangan eksekutif muda. Itu salah satu bukti bahwa uang dapat memperlonggar kewajiban untuk ‘mencari nafkah’ sebagai salah satu ‘kewajiban sosial’. Contoh lain misalnya adalah yang sering terjadi di kompleks-kompleks perumahan urban dewasa ini di Indonesia, tugas ronda atau tugas membuang sampah yang notabene merupakan salah satu ‘kewajiban sosial’, kini dapat dihindari hanya dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu.

Kita sering mendengar pepatah time is money, waktu adalah uang. Namun bagi orang yang dapat memanfaatkan uang (bukan dimanfaatkan oleh uang), mungkin kebalikannyalah yang terjadi. Money is time, uang adalah waktu. Money is time and energy. Individu yang tidak perlu lagi dipusingkan oleh uang, apapun alasannya, adalah mereka yang dapat secara leluasa bermain-main, dengan apapun, baik itu dengan kata-kata (menulis puisi, novel ataukah cerpen), dengan warna (melukis) atau dengan dunia nyata (berpetualang) atau bermain dengan ide-ide (berfilsafat), atau kalau kata Mary Poppins: “Supercalifragilisticexcepialidocious”.

Sikap etis terhadap uang: dari Aristoteles ke Fromm
Dalam “Ethica Nichomachea”, Aristoteles juga membedakan tiga sikap manusia terhadap uang. Sikap yang seimbang dan etis sebagai “sikap murah hati”, sikap yang merupakan ekses sebagai “sikap boros”, dan sikap yang merupakan kekurangan sebagai “sikap pelit”. Sikap murah hati ialah sikap yang dapat memberikan uang atau apapun yang dapat diuangkan kepada pihak yang tepat dan mau menerima dari pihak yang tepat. Tekanan diberikan pada kata “memberi”, karena ia bermakna lebih aktif daripada kata “menerima”. Sebaliknya sikap pelit memberi tekanan pada kata “menerima” saja.

Erich Fromm, seorang dari generasi pertama Frankfurt School, yang sering dianggap sebagai pakar psikologi sosial, mengembangkan etika humanisme yang antara lain merupakan persenyawaan dari etika Aristoteles, psikoanalisis Freud dan filsafat sosial Marx. Sikap yang sehat menurut Fromm adalah sikap generosity atau sikap murah hati. Sikap ini berhubungan dengan biophily, kecenderungan kepada kehidupan, kepada semua yang hidup, tumbuh dan berkembang, mengalir, bergerak. Orang-orang dari ‘kelas atas’ dan ‘kelas bawah’lah yang memiliki kecenderungan murah hati, atau bahkan juga boros.

Kelas atas, karena mereka memiliki sumber yang berlimpah ruah. Kelas bawah, karena mereka tidak memiliki kecemasan akan “turun kelas” dan tidak melihat kemungkinan untuk “naik kelas”. Nah, kelas menengah, terutama kelas menengah bawah inilah yang, menurut Fromm, paling cenderung untuk menjadi pelit. Mereka berdisiplin diri dengan sangat tidak manusiawi dan sangat pelit, bahkan juga pada diri sendiri, tidak hanya dalam soal keuangan, tetapi bahkan juga pada soalan seksual. Sumber sangat “pas-pasan”, kalau hemat bisa “naik kelas” tetapi kalau murah hati bisa “turun kelas”, padahal dalam dirinya mereka selalu ingin bisa “naik kelas” dan amat cemas sepanjang hidupnya kalau kalau nanti “turun kelas”. Mereka inilah yang cenderung menjadi “craving for fame and money”, partisipan tetap acara-acara seperti Akademi Fantasi Indosiar, pemilihan ratu kecantikan, pemilihan calon model, dsb. Bahkan orang-orang seperti mereka ini jugalah yang dalam analisis Fromm, merupakan basis massa utama terkuat dari partai Nazi di Jerman dulu.

Penutup
Jadi bukan kebetulan sepertinya apabila Julie Andrew selain bermain dalam film “Mary Poppins”, seperti yang telah disebut dalam pendahuluan, juga bermain dalam film “The Sound of Music”. Dalam film pertama, yang ditertawakan adalah para bankir, sementara dalam film kedua yang ditertawakan adalah disiplin tentara, atau bekas tentara. Disiplin mati, keseragaman dan regimentasi berakar pada ketidakamanan psikis yang sama dengan sikap pelit.

“I could never answer to a whistle. Whistles are for dogs and cats and other animals, but not for children and definitely not for me. It would be too humiliating.” (dari “The Sound of Music”), maka, “Listen, listen, she’s calling to you: feed the birds, 2 pence a bag, 2 pence, 2 pence, 2 pence a bag.” (dari “Mary Poppins”).
Ambil uangmu, gunakanlah sebaik yang ia mampu. Tataplah matamu dalam cermin, tanyakanlah pada dirimu, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sukses, ataukah seorang yang bahagia. Tanyakanlah.

No comments: