BAB III
BANDA ACEH PADA MASA KEMERDEKAAN
3.1. Kota Banda Aceh Sebagai Ibukota Poropinsi
Penyebutan Koeta Radja kemudian berganti menjadi Kutaraja setelah Indonesia merdeka. Nama Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh pada tanggal 28 Desember 1962 dan menjadi ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya bagi wilayah Aceh. Perkembangan kota Banda Aceh tidak lepas dari arus urbanisasi; di mana faktor ekonomi dan pendidikan menjadi magnet yang cukup kuat untuk menarik penduduk Aceh untuk datang dan bermukim di Banda Aceh. Walaupun kota Medan adalah pusat perekonomian dan perdagangan yang cukup berpengaruh di pulau sumatera; akan tetapi Banda Aceh tetap menjadi salah satu magnet yang kuat khususnya di daerah selat Malaka. Kondisi ini semakin diperkuat dengan dengan dibukanya Sabang sebagai Pelabuhan Bebas atau Free Port.
Pada tahun 1963, Kota Banda Aceh berperan kembali sebagai Kota Perniagaan yaitu sebagai pintu gerbang distribusi barang dari Pelabuhan Bebas Sabang. Pada awalnya kegiatan perdagangan dikuasai oleh pengusaha pribumi namun jatuh bangkrut karena dikenakan retribusi terhadap barang impor dari Sabang dan dipacu dengan terbentuknya Dolog sebagai penyalur bahan pokok serta buruknya manajemen perusahaan dan permodalan. Kondisi ini ditambah lagi dengan munculnya perusahan grosir baru yang dikuasai oleh pedagang Cina; serta adanya pedagang jengek yang melakukan kegiatan dagang dengan membeli barang di Pelabuhan Sabang dan Ulee Lheue untuk dijual di pasar. Salah satu kawasan yang muncul sebagai magnet perdagangan di Banda Aceh adalah: Pasar Aceh yang didominasi oleh pedagang Aceh dan Peunayong yang didominasi oleh pedagang Cina.
Komoditi ekspor melalui Pelabuhan Sabang antara lain: cengkeh, kopi, pinang, pala, udang, sapi. Dengan adanya Sabang sebagai Pelabuhan Bebas, maka kawasan Ulee Lheue menjadi semakin berkembang. Kawasan ini yang pada masa Hindia Belanda dijadikan salah satu titik pertahanan penting dan juga sebagai basis akomodasi militer. Konsekuensi keruangan yang terjadi adalah semakin kuatnya koridor barat Ulee Lheue ke pusat kota yang berada di sekitar Masjid Baiturrahman. Ditutupnya Pelabuhan Bebas Sabang pada tahun 1971, tidak berpengaruh secara signifikan pada bentuk keruangan kota Banda Aceh; karena secara fungsi keruangan area koridor Ulee Lheue ke pusat kota sudah terbentuk mapan.
Koridor keruangan yang terbentuk pada kota Banda Aceh adalah pada sisi selatan, yaitu jalur sirkulasi darat menuju ke luar kota yaitu: ke Medan serta ke seluruh daerah Aceh lain. Jalur ini semakin kuat dengan adanya bandar udara Iskandar Muda di Blang Bintang, Aceh Besar. Jalur ini merupakan jalur yang dibangun oleh Hindia Belanda untuk mendukung kolonialisasi, serta kepentingan logistik dan militer pada masa itu.
![]() |



Simpang Panté Pirak kemudian dikenal dengan sebutan Simpang Lima menjadi salah satu “titik pertumbuhan” yang penting bagi kota Banda Aceh. Koridor bisnis semakin menguat di sepanjang Jl. Panglima Polem yang menjadi perluasan daerah bisnis Peunayong yang sudah terkenal sejak jaman Kesultanan Aceh Darussalam dan masa kolonial Hindia Belanda. Kepadatan bangunan di koridor bisnis ini sangat tinggi dan didominasi dengan pertokoan serta dipenuhi dengan billboard di sepanjang jalan. Koridor kepemerintahan muncul di sepanjang Jl. T. M. Daud Beureueh dari Simpang Lima Pantè Pirak.
Banda Aceh menjadi kota yang sangat padat di mana pertumbuhan permukiman mengikuti pola octopus or star shaped city yang dibuat oleh kolonial Hindia Belanda. Daerah permukiman berada di antara “jari-jari bintang” sehingga kepadatan bangunan menjadi “merata” di kota Banda Aceh. Daerah permukiman banyak yang menggunakan lahan-lahan yang dahulunya adalah rawa-rawa. Konsekuensi dari penimbunan rawa-rawa ini adalah berubah pola aliran air di kota Banda Aceh. Kota menjadi kehilangan
daerah resapan air, karena rawa yang merupakan daerah resapan air berubah fungsi menjadi daerah permukiman. Aliran air menjadi bergantung pada saluran drainase kota saja; termasuk Krueng Aceh yang menjadi salah satu saluran drainase kota. Krueng Aceh bisa dikatakan selalu meluap dan menimbulkan bajir dalam setiap tahun di Banda Aceh. Salah satu usaha untuk yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh untuk merespon luapan banjir Krueng Aceh adalah dengan membangun talud atau tanggul beton di sepanjang sisi sungai. Pembangunan talud atau tanggul beton ini dilakukan pada masa Gubernur Ibrahim Hasan; yang dilanjutkan dengan perbaikan jembatan Peunayong, jembatan Panté Pirak dan jembatan Beurawe; serta pembangunan taman-taman kota termasuk pada beberapa bagian di tepian Krueng Aceh.


Pada pertengahan tahun 1980-an angkutan labi-labi menggunakan mobil jenis Hijet-55 dengan kapasitas mesin sebesar 550 cc dan dengan bentuk serta kapasitas penumpang yang lebih besar, yaitu sebanyak 14 orang. Pada era berikutnya, angkutan Labi-labi menggunakan mobil Hijet 1000 dengan kapasitas mesin 1000 cc yang bisa menampung penumpang sebanyak 16 orang. Layanan angkutan Labi-labi ini biasanya mulai beroperasi dari jam 06.30 sampai jam 20.00. Tarif angkutan labi-labi untuk dalam kota Banda Aceh sekarang ini sekitar Rp 1.000 per orang untuk sekali jalan; sedang untuk pelajar dikenakan tarif berkisar antara Rp 500 – 750 per orang untuk sekali jalan.
Terminal Labi-labi dahulu berada di Jl. Diponegoro tepatnya di bagian Pasar Aceh. Sekitar tahun 1997 Terminal Labi-labi pindah ke Keudah, di antara Bank Indonesia dan Lembaga Pemasyarakatan; sedang terminal yang lama di Pasar Aceh sekarang ini menjadi tempat pedagang kaki lima. Di lokasi Terminal Labi-labi di Keudah juga menjadi tempat bongkar muat barang, biasanya buah-buahan, yang diangkut truk colt dari Medan dan Takengon. Selain menjadi terminal, di lokasi Terminal Labi-labi Keudah ini juga ada fasilitas Pasar terpadu yang menjual sayuran, ikan dan buah-buahan. Pasar Terpadu di terminal Labi-labi Keudah ini buka dari jam 07.00 sampai jam 14.00.
Rute layanan moda transportasi Labi-labi di Banda Aceh pada sekarang ini meliputi:
- Terminal Keudah – Lhok Nga
- Terminal Keudah – Darussalam
- Terminal Keudah – Keutapang atau Mata Ie
- Terminal Keudah – Ulee Kareeng
- Terminal Keudah – Krueng Cut atau Krueng Raya
- Terminal Keudah - Lampineung
7. Terminal Keudah - Ulee Lheu
- Terminal Keudah – Lampeuneurut
- Terminal Keudah – Lambaro,Sibreh,Samahani,Indrapuri,Jantho,Seulimeum
Selain sebagai angkutan penumpang, angkutan labi-labi juga menjadi angkutan barang khususnya muatan dagang dari pedagang pasar. Labi-labi biasa membawa barang dagangan di pagi hari, sekitar jam 04.00, membawa muatan sayuran, ikan teri dan ikan asin untuk dikirim ke Pasar Peunayong, Pasar Aceh, Pasar Neusu dan Pasar Setui. Muatan berupa sayuran biasa diambil dari daerah sekitar Tungkop, Cot Kueung dan Ulee Kareng; sedangkan ikan teri dan ikan asin dimuat dari daerah Krueng Raya. Terminal Labi-labi juga sering menjadi tempat transit bagi pedagang ikan teri dan ikan asin untuk menunggu jemputan angkutan labi-labi dari Seulimum untuk mengantar pedagang ikan teri dan ikan asin tersebut ke Pasar Seulimum di Aceh Besar. Jasa angkutan barang ini biasa dikenakan tarif sebesar Rp 8.000/orang dan Rp 4.000/raga ikan teri. Raga adalah istilah Aceh untuk keranjang dibuat dari anyaman rotan atau bambu yang biasa dipakai untuk berdagang ikan atau sayuran.
Moda transportasi dalam-kota di Banda Aceh yang unik adalah becak. Sekitar tahun 1968, di Banda Aceh muncul moda transportasi kota yaitu: becak. Becak di sini adalah becak yang menggunakan sepeda sebagai alat penggerak; yang kemudian dikenal dengan istilah becak dayung. Istilah lain di Banda Aceh untuk becak adalah trishaw; namun istilah trishaw ini tidak populer di masyarakat. Penarik becak dayung ini menggunakan sepeda yang ada di sisi kanan dan menjadi satu rangkaian dengan tempat penumpang duduk yang sering disebut bak becak. Tempat pembuatan becak disebut sebagai tempat buat bak becak; di mana ada pengerajin yang khusus membuat bak becak yang kemudian dirangkai dengan sepeda kayuh atau sepeda motor. Bak becak ini bisa menampung 2 orang penumpang. Diperkirakan jumlah becak dayung di Banda Aceh tidak banyak, hanya ada sekitar puluhan unit saja dengan jarak layanan operasi yang terbatas karena becak dayung mengandalkan tenaga manusia. Becak dayung tidak mempunyai tempat mangkal yang khusus, di mana becak dayung berkeliling mencari penumpang dan hanya berhenti di warung kopi, tempat di mana penarik becak dayung biasa melepas lelah.

1. Depan Pasar Aceh;
2. Depan terminal bus di Setui;
3. Depan stasiun kereta api (depan Masjid Raya Baiturrahman);
4. Simpang pasar ikan di Peunayong;
5. Pasar sayur lama di Peunayong;
6. Simpang Surabaya serta simpang Merduati.
Pada tahun 1997 ada perkembangan pada becak mesin, yaitu tidak hanya menggunakan motor DKW sebagai alat penggerak; tetapi menggunakan beberapa jenis motor keluaran tahun 1970-an sampai dengan tahun 1980-an. Motor yang sering banyak
digunakan adalah jenis Honda C 70, Honda Super Cup 700, Honda Super Cup 800, Honda CB 100, Honda CG 100, Suzuki A 100, Yamaha RX, Yamaha RX Special, Vespa Bajaj, Vespa Sprint, Vespa PX dan Vespa PS. Becak yang menggunakan motor ini sering disebut sebagai becak motor. Munculnya modifikasi becak mesin menjadi becak motor ini tidak lepas dengan adanya krisis ekonomi di Indoensia pada tahun 1997 yang dikenal dengan istilah krisis moneter; di mana banyak pengangguran dan alih profesi di penduduk Banda Aceh. Becak motor ini secara ekonomis lebih irit dan jangkauan layanannya lebih jauh dibandingkan dengan becak mesin yang menggunakan motor DKW. Tempat becak motor biasa mangkal yaitu di ada 14 (empat belas) titik di Banda Aceh.

Setelah bencana tsunami pada tahun 2004, selain jenis motor yang ada sebelumnya, muncul modifikasi becak motor yaitu dengan menggunakan motor Honda WIN 100 dan motor buatan Cina dengan merek Winners. Bencana tsunami 2004 ini, pada satu sisi menghancurkan potensi transportasi becak motor di Banda Aceh; tetapi di sisi lain juga kemudian menjadi lapangan kerja baru bagi penduduk Banda Aceh pasca bencana tsunami. Hal tersebut bisa diindikasikan dari sebaran pangkalan becak motor di Banda Aceh menjadi 31 (tiga puluh satu) titik.
Dahulu, perkumpulan becak motor di Banda Aceh hanya ada 2 (dua) perkumpulan saja, yaitu: PERTIBA dan PERTISA. Sekarang diperkirakan sudah ada 6-7 organisasi atau perkumpulan penarik becak di Banda Aceh. Para penarik becak, atau sering disebut sebagai abang becak, pada prinsipnya bisa bebas memilih tempat mangkal; namun mereka harus mengikuti aturan main di mana mereka mangkal, yang biasa disebut aturan mangkal. Pangkalan becak di Simpang Surabaya atau di Jl. T. Chik Ditiro mempunyai aturan mangkal, yaitu: penarik becak boleh mengambil penumpang tetapi tidak boleh menurunkan ongkos atau tarif yang ditawarkan apabila penumpang tidak mau naik becak karena ongkos yang ditawarkan tersebut tidak disepakati. Aturan mangkal yang lain adalah: becak motor yang ada di pangkalan harus antri; jadi apabila ada penumpang yang mau menggunakan jasa transportasi becak motor, maka harus menggunakan becak motor yang berada pada urutan terdepan dari antrian; atau dengan kata lain, pengguna jasa transportasi becak motor di pangkalan ini tidak bisa bebas memilih becak motor secara sembarangan.

III.2. Kota Banda Aceh Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
Pada tanggal 26 desember 2004 kota Banda Aceh menjadi salah satu kota di Nanggroe Aceh Darussalam yang diterjang bencana gempa bumi dan tsunami. Hampir sepertiga kota Banda Aceh rusak; di mana 3 kecamatan dari 9 kecamatan di Banda Aceh hancur total. Sedangkan 3 kecamatan mengalami rusak sedang dan 3 kecamatan yang lain tidak mengalami kerusakan apa pun.
![]() |
Dari 89 kelurahan di Banda Aceh, 41 kelurahan mengalami rusak total atau sekitar 52,78%; sedangkan 8 kelurahan (3,3%) mengalami rusak sedang dan 40 kelurahan (43,89%) tidak mengalami kerusakan. Bencana gempa bumi dan tsunami ini tidak hanya menelan korban jiwa, di mana sekitar 23% dari 264.618 jiwa penduduk kota Banda Aceh menjadi korban; tetapi juga merusak banyak fasilitas fisik yang ada di kota.
![]() |
No comments:
Post a Comment