Monday, September 13, 2010

Aspek Sosiologis Individu dan Masyarakat


INDIVIDU dan MASYARAKAT dalam PERSPEKTIF SOSIOLOGI
M. Saleh Sjafei
(Doktor Sosiologi, alumni program Pasca Sarjana FISIP-UI)



Pengantar

Akhir-akhir ini ketegangan sosial dan berbagai bentuk konflik sosial terjadi pada masyarakat Indonesia. Ketegangan dan atau pertikaian tersebut mungkin berhubungan dengan banyak sebab. Beberapa kemungkinan adalah pertama, individu tidak dilihat sebagai agen yang mempunyai peluang, posisi dan peran dalam berbagai pertikaian itu. Artinya, fenomena itu tidak terjadi begitu saja tanpa ada intervensi individu, mereka yang mempunyai posisi sosial, ekonomi, budaya, agama dan politik atau memiliki kepentingan (ideologis) tertentu, atau dorongan lain yang mungkin. Kedua, orang secara awam melihat peristiwa sosial yang memakan korban manusia, harta, dan sebagainya, dengan cara pandang yang sederhana (common serlse). Mereka menyederhanakan sebab-sebab suatu gerakan massa atau pertikaian terjadi secara kausalitas (A yang menyebabkan B menjadi mati). Misalnya, peristiwa Maluku atau Aceh terjadi karena pemerintah tidak becus mengurus rakyatnya, dan lain-lain yang senada.

Cara pandang seperti itu tentu saja kurang arif danmengandung banyak kelemahan, dan hal itu mengandung akibat yang profokatif bagi masyarakat, terutama karena cidak didukung informasi atau data yang memadai. Kalaupun didukung data, penjelasan tersebut menggunakan bentuk hubungan sebab-akibat yang kaku sebagaimana penjelasan dalam ilmu-ilmu alamiah. Dibutuhkan penjelasan dalam bidang iimu social dan humanitas yang memiiiki keterkaitan dengan berbagai kemungkinan lain yang melampau realitas sosial yang kasat mata.

Perspektif sosiologis adalah salah satu perspektif yang dapat dikemukakan dalam upaya kita mengusulkan berbagai cara memahami suatu realitas atau fenomena sosial yang melampaui (beyond observable thing) suatu kejadian yang tampak. Penjelasan seperti itu diharapkan mampu memperlihatkan kedudukan dan peran individia dalam reaiitas tersebut sebagai inti atau salah satu pokok persoalan. Dengan kata lain, ada bcberapa kemungkinan yang menjadi pendorong atau pemicu suatu kejadian atau pertikaian sosial sehingga muncul ke permukaan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa penjelasan seperti ini membuahkan ketidakpuasan, oleh karena hal ini adalah sebagian dari penjelasan sosiologis. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan bila ketidakpuasan terjadi, antara lain kepentingan yang berbeda, ketidaksabaran dan juga ketidakmampuan kita untuk membongkar atau menelusuri suatu persoalan secara tuntas, clan keinginan untuk memecahkan masalah dalam sehari semalam.
Ikatan nilai sosial budaya dari di mana kita dilahirkan, sosialisasi kehidupan dalam masa di mana kita dibesarkan menjadi salah satu faktor yang melekat dan mempengaruhi pandangan dan pikiran yang kita hasilkan. Hal seperti ini juga muncul dalam hubungan sosial masyarakat kita, seperti dapat diamati dari kinerja pelayanan public. Apabila diamati maka kita bisa melihat bagaimana sistem sosial mendukung ke arah pengaturan secara politis clan organisasional atau adminsitratif tertentu. Dengan demikian perlu dipertanyakan dari sisi manakah kita harus clan bersedia memulai pengaturan individu dalam masyarakat kita yang majemuk dan memiliki kebutuhan yang beragam. Barangkali kita memerlukan penataan posisi dan peranan individu dalam kaitannya dengan suatu pengelompokan masyarakat yang selama ini berjalan sebagaimana adanya. Pengaturan seperti itu, antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, sehingga individu yang memiliki latar belakang majemuk dapat memiliki akses yang sesuai dengan kapasitas dan pengetahuan yang menjadi tujuan yang dipilih.

Hakekat Individu
Sebelum memulai dalam pembahasan karni mengartikan topik yang ditawarkan panitia, adalah topik dengan titik tolak penjelasan ilmiah (Scientific). Dalam hal ini penjelasan ilmiah yang dimaksudkan adalah penjelasan dari sisi bidang ilmu (sosiologi). Usulan seperti ini adalah usulan yang positif dan menantang dalam merencanakan suatu program melalui suatu perspektif atau pendekatan ilmiah. Dalam kaitan ini, kita dapat bertanya pada diri masing-masing apakah kita telah mencoba memahami clan menghayati atau menjalani hidup kita dengan bekal ilmu pengetahuan.[1]  Namun sejauhmana pemahaman seperti itu dapat diterima oleh berbagai pihak. Bagaimana kalau kita menawarkan suatu pilihan dalam melihat hubungan manusia dan masyarakat dalam perspektif sosiologi secara sadar, sebagaimana pentingnya ilmu pengetahuan sosial (social sciences) untuk ilmu pengetahuan itu sendiri, dalam ranngka program islamisasi ilmu pengetahuan sosial,[2] atau sebagai instrumen untuk pemenuhan kebutuhan tertentu yang mendukung upaya atau tujuan yang dipilih?
Pertanyaan seperti itu penting karena ada kerterkaitan antara kebutuhan dan kepentingan kita untuk melakukan perbincangan ini. Bagi penulis, response atas pertanyaan itu akan membantu menempatkan posisi yang sesuai dengan tujuan kita dalam membahas persoalan individu dalam masyarakat. Jika tidak ada kesesuaiar antara kebutuhan dan kepentingan kita, maka hal itu akan menimbulkan pertimbangan nilai yang mempengaruhi pemahaman kita pada hubungan antar individu. Misalnya, jika penulis pada saat membicarakan topik ini, to some extent, mengambil jarak dari batas kepercayaan relijius tertentu, dengan asumsi agar dengan demikian sedapat mungkin yang bersangkutan terlepas dad kepentingan nilai (value judgment) yang bersangkutan dengan penjelasan kami atas topik tersebut. Pandangan seperti ini, mempertanyakan secara sosiologis hakekat dan realitas individu dalam golongan atau kelompok masyarakat tertentu yang berkaitan dengan keyakinan bahwa figure tertentu terkategorikan sebagai manusia super yang tak bisa dibicarakan atau dibahas lagi, meskipun secara akademis, demi kepentingan atau kebutuhan wawasan iimu pengetahuan.

Pemikiran sosiologis, berdasar pada sejarahnya, mengikuti alur pandangan pencerahan yang muncul atau lahir di Eropa Barat. Penulis termasuk individu yang dibesarkan dengan pengetahuan, pendidikan warisan masyarakat Barat seperti itu. Baik secara sadar ataupun tidak, penulis lebih sering berpikir dan bertindak dalam kehidupan keseharian dengan cara pandangan sosiologis sebagaimana diajarkan oleh guru-guru yang banyak menimba pengetahuan mereka dari Barat. Meskipun tulisan ini berangkat dari asumsi-asumsi ilmu pengetahuan yang lahir di Barat, namun penjelasan atau uraian ini tidak mempunyai pretensi dan kepentingan tertentu selain untuk belajar dan memahami keberadaan atau hakekat individu dalam berbagai kelompok masyarakat.

Salah satu penjelasan sosiologis adalah melihat individu dari sudut kesadaran diri (self-consciousness). Ia (individu atau manusia) adalah kesadaran dari dirinya, artinya suatu kesadaran dari realitas dan martabat kemanusiannya. Dalam pengertian itu, individu pada dasarnya berbeda dari hewan (animal) yang tidak sampai pada (do not go beyond) level sentimen diri yang bersahaja. Individu menjadi sadar tentang dirinya pada saat ketika                  ---untuk pertama sekali-- ia menyatakan "aku".[3] Individu merenung atau melakukan kontemplasi melebur (absorbed) pada apa yang direnungkannya. Individu mencoba mengetahui subjek, cleh karena itu menjadikan dirinya sebagai objek yang ingin diketahuinya. Jadi, perenungan itu memperiihatkan objek, bukan subjek. Aku adalah seorang individu (manusia) yang bebas (dalam kaitan dengan kenyataan yang ada) dan mempunyai sejarah (dalam hubungan dengan dirinya). Dan aku di sini yang menemukan diriku dalam diriku dan pada orang lain sebagai kesadaran diri.
Upaya untuk menyatakan itu berangkat dari gagasan bahwa aku didorong oleh hasrat atau keinginan. Suatu hasrat (desire) itu diarahkan pada keinginan yang lain. Di sanalah ia menjadi hasrat manusiawi, dan kemudian, menjadi suatu hasrat (hewani) yang bermacam-macam. Dengan kata lain, kesadaran diri lahir dari sentimen diri. Realitas individu pertama berada pada level realitas hewani dan dalam proses selanjutnya realitas tersebut muncul dalam dimensi ya„g bermacam-macam. Oleh karena itu, individu dapat muncul atau hidup secara manusiawi di atas muka bumi hanya dalam suatu hubungan sesamanya yang disebut kawanan atau kumpulan individu-individu. Itulah mengapa realitas individu dapat menjadi sosial.[4]

Untuk menjadi manusia atau individu yang sesungguhnya, secara esensial berbeda dari seekor hewan, maka hasrat itu secara actual harus berhasil menang dari hasrat hewaninya. Hampir semua hasrat adalah keinginan mencapai sebuah nilai. Nilai tertinggi bagi seekor hewan adalah kehidupan hewaninya. Semua hasrat hewani pada akhirnya adalah suatu fungsi keinginannya untuk mempertahankan kehidupannya. Gieh karena itu, hasrat individu harus bzrhasii mengalahkan hasrat hewani yang sekadar untuk mepertahankan dirinya. Dengan kata lain, humanitas manusia "datang untuk menerangi" hanya jika ia mampu mengorbankan (risks) kehidupan hewaninya demi hasrat kemanusiannya. Adalah dalam dan dengan risiko ini realitas individu diciptakan dan ditemukan dan terwujud sebagai realitas yang datang untuk menerangi (comes to light}, seperti antara lain yang ditunjukkan, didemonstrasikan, uiverifikasi, dan diperoleh bukti-bukti tentang dirinya (being) secara esensial berbeda dari hewan, realitas alamiah.[5]

Oleh karena itu, upaya menginginkan hasrat yang lain pada akhirnya adalah suatu upaya yang menunjukkan nilai aku atau aku mewakili nilai yang diinginkan orang lain. Aku mau dia mengakui (recognize) nilaiku sebagaimana nilai dia. Aku mau dia mengakui saya sebagai suatu nilai tersendiri (autonomous value). Dengan kata lain, semua individu adalah hasrat antropogenetis -hasrat yang melahirkan kesadaran diri- sebuah realitas individu adalah suatu fungsi hasrat bagi pengakuan. Oleh karena itu, membicarakan asal usul kesadaran diri perlu membahas mengenai perjuangan mati-matian untuk mendapatkan pengakuan terhadap aku, dari individu­-individu lain dalam kelompok atau masyarakatnya.
Perspektif Sosiologis

Sosiologi adalah suatu disiplin yang sadar diri (self-conscious) bahwa ia lahir untuk menjelaskan transformasi yang berkaitan dengan modernitas, setelah terjadi kebangkitan kapitalisme agraris di Eropa, dan akhirnya di manapun di dunia. Dalam kaitan ini muncul pandangan bahwa teori sosiologi dapat dipakai untuk menjelaskan proses-proses sosial, tidak hanya dalam era modern, tetapi juga masa lalu dan masa depan. Sementara pandangan lain melihatnya dalam kerangka yang lebih sederhana, terbatas pada penjelasan terhadap era tertentu saja, misalnya, untuk menafsirkan kejadian-kejadian dalam dunia modem.

Ada beberapa perspektif dalam sosiologi yang digunakan untuk memahami dan menggambarkan atau menjelaskan hubungan antar individu (manusia) dalam kelompok atau masyarakatnya. Pandangan modernis, percaya bahwa pengetahuan ilmiah dapat dipakai untuk merancang suatu masyarakat yang lebih baik, seperti, untuk meningkatkan produktivitas, demokrasi, dan keterbukaan (fairness) dalam pola-pola organisasi sosial. Di dalam sosiologi terdapat beberapa perspektif yaitu positivisme, konvensionalisme, dan realisme, dan masing-masing perspektif, mengandung kekuatan dan kelemahannya sesuai dengan konteks sosial dan sejarahnya. Perspektif adalah suatu cara pandang yang didukung oleh; asumsi-asumsi filosofis yang terdapat dalam semua cabang ilmu pengetahuan. Dalam khazanah literature sosiologi perspektif tersebut dapat diturunkan menjadi atau ke tingkat yang lebih kongkrit, seperti apa yang disebut sebagai paradigma, yaitu suatu konstelasi pikiran individu (peneliti) yang didukung oleh asumsi-asumsi tentang objek yang sedang dipelajari. Paradigma-paradigma sosiologi meliputi (1) fakta sosial yang menganut paham positivismt (2) definisi sosial menghayati aliran konstruktivisme atau konvensionalisme, dan (3) hubungan sosial merujuk pada mazhab realisme­ pragmatis.[6]

Pandangan seperti itu ada tolok ukur di mana penulis berusaha mengkaitkan perbincangan yang akan dilakukan. Tolok pandang seperti ini perlu dikomunikasikan sebagai pengetahuan yang akan didiskusikan dalam upaya memahami dan mendapatkan informasi yang beragam, dan dalam cara pandang sosiologis. Hai itu dilakukan dalam rangka menemukan realitas dan hakekat individu dalam seting sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam upaya kita untuk sampai pada pemahaman tersebut penulis lebih banyak berangkat dan berjalan di atas paradigma kedua, dengan suatu premis bahwa masyarakat (society) merupakan kumpulan atau kawanan dari individu-individu yang memiiiki kapasitas sebagai manusia independen.[7] Masyarakat adalah suatu "struktur", bangunan, yang berada di atas jalinan hubungan nilai-nilai dan norma-norma yang dirajut secara bersama-sama oleh para individu (aktor sosial) anggota masyarakat bersangkutan berdasarkan suatu kesepakatan baik secara langsung ataupun secara diam-diam. Jadi, setiap individu menjalin kesepakatan (konvensi) yang secara sadar mengkonstruk seting sosial yang kondusif bagi pergaulan hidup mereka yang bersifat majemuk. Dengan kata lain, masyarakat terdiri dari para anggota yang sangat beragam dalam bidang-bidang atau latar belakang sosial, budaya dan agama, ekonomi, dan politik. Masing-masing individu atau kelompoknya berasal dari daerah atau wilayah yang tidak sama, misalnya, dari wilayah pesisir dan mereka yang dari perbukitan dan sebagainya. Keragaman latar belakang itu menuntut suatu pengakuan dan penghargaan secara berbeda-beda antara satu orang, kelompok, suku, ras, (aliran) agama, dari yang lain. Belum lagi jika perbedaan tersebut berkaitan dengan cara pandang jender yang saling berbeda menurut ragam budaya atau tradisi yang dihayati masing-masing. Jadi, individu itu sendiri sarat dengan nilai-nilai budaya tempat ia hidup dan dibesarkan.

Kendatipun demikian, ada berbagai perdebatan lain yang dewasa ini berkembang dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi, yang berupaya untuk menggugat kemapanan ilmu-ilmu sosial konvensional yang berlandasan positivisme. Para flosof pencerahan hampir seluruhnya memuji, dan berangkat dari rasionalitas (individual) yang mempercepat perkerrrbarigan produktivitas dan dorongan masyarakat menuju perubahan cara berpikir yang sangat dramatis selama rentang abad sejarah peradaban manusia, terutama di Eropa.[8]  Perdebatan itu antara lain ialah sebagai berikut. Pertama, apa yang disebut perdebatan nilai-nilai masyarakat Asia, Asia Value Debate, yaitu salah satu counter -argument dari para sarjana dan politisi masyarakat Asia terhadap cara pandang masyarakat Barat, terutama berkaitan dengan universalitas dan relativitas hak-hak asasi manusia (HAM). Ketika menguraikan topik HAM dan Pembangunan, Klaff (1998) mempertanyakan apakah ada HAM yang khusus tentang Pembangunan? Uraian tersebut berkaitan dengan hakekat individu dalam masyarakat Asia yang sering disebut oriental society.[9] Pada dasarnya kontroversi universalis-relativis itu menyangkut pertanyaan apakah HAM dapat dipahami, mengikat, dan diaplikasikan secara universal, atau hal itu merupakan suatu konsep Barat (west-centric) yang mempunyai konotasi imperialisme atau neokolonialisme Barat terutama dilihat oleh para sarjana dan politisi Asia dengan wacana debat nilai Asia itu.
Berkaitan dengan martabat manusia dan pengalaman ketidakadilan HAM, ada dua macam argumen tentang hal ini, yaitu normative dan empiris. Pada level pertama, ada tuntutan pada prinsip yang menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity). Konsep ini mengandung kepercayan bahwa setiap individu terlepas dari ikatan kultural dan tradisional, agama, kelas atau sex, pembawaan asal (carries the ultimate), dan seterusnya. Konsep ini, dengan demikian, tidak memihak (favour) pada suatu model moratitas dan konsep humanitas Barat yang spesifik, yang diikat oleh tradisi atau budaya occidental yang spesifik. Hal itu dipahami sebagai suatu prinsip universal untuh miena{sirkan setiap manusia sebagai sesuatu yang unik, berharga dan non repeatable individual. Cara berpikir seperti ini berusaha menjamin perlindungan institusiona! terhadap harkat manusia dan mencegah kekuasaan sewenang-wenang atas orang-orang yang diperintah dan dengan demikian memerlukan pemerintahan yang menganut sistem checks and balances. Dalam teks klasik, bentuk politik (negara) ini disebut `republic', apa yang disebut sebagai 'demokrasi'. Kedua, level empiris, adalah pengalaman global yang membawa pada konsep HAM, terutama dalam kaitan dengan penghargaan pada masalah-masalah sosiai dan ekonomi. Penaalaman ini dapat  disebut 'experience of injustice' Bebarapa dari itu dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Pengalaman bahwa perintah negara (states command) terhadap agama adalah unjust -yang berakibat pada permintaan kebebasan untuk beremigrasi dan pada akhirnya mengakui prinsip kebebasan beragama. (2) Pengalaman bahwa penggunaan kekuasaan negara secara sewenang­ wenang adalah unjust -yang berakibat pada permintaan dan kodifikasi hak-hak hobeas-corpus. (3) Pengalaman bahwa keistimewaan elite yang berkuasa secara politik, sosial dan ekonomi adalah unjust --yang berakibat pada permintaan hak-hak kemanusiaan dan sipil sebagaimana terdapat dalam Revolusi Prancis. (4) Pengalaman bahwa marginalisasi dalam setiap hal dari keseluruhan bagian kemasyarakatan adalah unjust -yang berakibat pada formulasi mengenai permintaan hak-hak social. Ini adalah conto" eontoh yang dapat diperluas menjadi kenyataan terbuka dan fleksibel dan karena itu memperkuat argumen bahwa tidak ada kondisi sejarah dan budaya, atau kecenderungan pada aplikabilitas HAM.

Selanjutnya berkaitan dengan Indigenization of human rights, dalam hubungan ini nampaknya telah mengalami dua kecenderungan yang kontradiktif. Pertama,..kecenderungan globalisasi, yang merefleksikan cirri-ciri utama (predominant) peradaban Barat yang teknis-ilmiah; dan kedua, kecenderungn pertumbuhan penting mengenai partikularitas budaya.[10]

Ketika paradigma/teori modemisasi berlaku sekitar 1960an, banyak penulis percaya pada pendekatan antinomy, bahwa ada suatu  adverse reinforcement antara kadar kebebasan pluralist dan kecepatan pembangunan. Sebagaimana Richard Lowenthal: "tiap-tiap kenaikan kadar kebebasan akan dibayar dengan kelambatan pembangunan, tiap kadar percepatan pembangunan akan dibayar dengan kehilangan kebebasan tertentu". Tesis ini membawa pada kesimpulan bahwa suatu peianggaran HAM temporal adalah a legitimate means untuk sampai pada tujuan pembangunan. Pendekatan antinomy adalah suatu konstruk teoretis untuk menjelaskan dan melegitimasi bentuk khusus pemerintahan dunia berkembang yang dikenal sebagai ' modernizing dictatorship’. Dewasa ini, kerangka teoretis kontemporer yang dominan adalah pendekatan interdependen, yang menafsirkan HAM dan Pembangunan memiliki suatu ketergantungan positif. HAM dan Pembangunan dilihat sebagai suatu yang saling memperkuat sedari awal. Tanpa perlindungan HAM tidak dapat dilakukan proses pembangunan yang genuine. Pelanggaran HAM menghalangi pembangunan. Dengan bukti yang sama tingkat pelanggaran HAM menunjukkan kualitas normative proses pembangunan, yang akhimya mengikuti bahwa fungsi HAM sebagai suatu ukuran pembangunan, sementara pembangunan bukan suatu ukuran bagi HAM (lihat Klaff, 1998).

Banyak pandangan tradisional yang menyibukkan rakyat dengan pertentangan-pertentangan ideologis rasanya membekukan semua pemikiran progresif dan kreatif. Gejala ini sering ditemukan dalam masyarakat yang sedang berkembang terutama di belahan dunia timur. Di samping itu, sistem kekuasaan juga memperlihatkan peluang untuk keluar dari pemikiran mitis dan sebagainya juga menentukan kemungkinan untuk menguasai ilmu pengetahuan sebagaimana berkembang di Barat. Bellah (2000:xx) menunjukkan bahwa sistem kekuasaan vertikal adalah salah satu penghambat utama bagi bangsa-bangsa Timur Jauh, yakni Asia Timur. Sebagai latar belakang ideologis ia menunjuk pada 'mitos kosmologis' yang menurut Bellah, menghubungkan individu dengan alam dan masyarakat dan melihatnya dalam suatu kesatuan bersama dengan alam rohani. Salah satu lambang yang sangat mendalam membentuk rasa identitas orang Timur dan yang berasai dari mitos kosmologis itu ialah hubunyan anak-bapak, atau lebih luas hubungan individu atau manusia dengan orang tuanya, dengan penguasanya, akhimya dengan dunia dan surga. Kalau boleh ditambahkan di Indonesia, struktur ini dikenal sebagai pola kekeluargaan. Pokok etika seorang individu menurut pola ini adalah kesetiaan mutlak pada penguasa.

Kedua, cara pandang postmodernist. Sebagaimana pendekatan kritis lainnya, pendekatan ini mencoba mempersoalkan beberapa hal tentang pengetahuan manusia, yaitu:

(1) cara pandang ini menggugat pandangan bahwa ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk melakukan demistifikasi atas dunia (disenchantment of the world) dengan prinsip-prinsip hukum (law-like) yang dapat mengatur cara kerjanya. Ini merupakan suatu keyakinan ilmu pengetahuan sebagai cara kerja yang handal (a single best mode), dengan menggunakan teori ilmiah dan temuan-temuan penelitian dalam upaya mengekspresikan kebenaran dunia. Pandangan ini ditentang oleh postmodernist dengan asumsi bahwa ada pertalian antara sign of scientific language dan realitas yang sesungguhnya (obdurate reality). Pertanyaannya, apakah bahasa ilmiah menjadi jendela langsung (direct window) untuk melihat realitas. Dapatkah bahasa ilmiah menyederhanakan realitas, atau dapatkah bahasa sebagai konstruksi sosial merubah gambar realitas (picture of reality)? Masalahnya bahasa itu berkaitan dengan kelompok-kelompok sosial dan kepentingan-kepentingan kelompok tersebut. Jadi, asumsi yang menyatakan bahwa bahasa merupakan representasi langsung dari realitas mengandung sifat problematik.

(2) Ada persoalan power dan vested intetrest dalam ilmu pengetahuan. Kendatipun diakui bahwa dunia fisikal dapat bekerja dengan hukum-hukum, banyak proses untuk menemukan hukum-hukum itu yang menciptakan budaya-budaya yang tunduk pada kepentingan-kepentingan, politik dan bentuk dominasi yang terjadi dalam proses itu (apakah dengan demikian realitas itu tidak sarat dengan power dan interest?). Oleh karena itu, kebenaran dalam ilmu pengetahuan sosial bukan merupakan suatu pertalian antara pernyataan-pernyataan teoretik dan dunia sosial yang aktual, tetapi suatu produksi kultural dari setiap sistem tanda (sign) yang lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak dapat menikmati suatu kedudukan istimewa (Priri:eug u voice) disebabkan ia ada sebagaimana semua teks-teks kultural yang lain.

(3) Permasalahan kontinuitas. Ada gugatan terhadap pandangan bahwa pengetahuan itu berakumulasi dengan cara-cara meningkatkan kontinuitas di antara pemahaman­-pemahaman tentang dunia dan yang dapat digunakan untuk memajukan masyarakat. Keyakinan seperti itu telah menjadi lambang resmi modemitas. Namun pandangan tersebut digugat dengan argumen bahwa ada diskontinuitas dalam pengetahuan berkaitan dengan perubahan kepentingan dari faksi-faksi dominan dalam masyarakat. Keyakinan untuk memajukan kontinuitas pengetahuan dan budaya bukan hanya petunjuk yang salah (misguided), tetapi juga salah secara empiri. Dengan demikian tidak ada suatu kebenaran yang bertahan (existj sebagai bagian dari kepentingan ideologi manusia. Diskontinuitas pengetahuan adalah norma, dan kebenaran nyata yang harus dihadapi manusia secara kontinue adalah pluralisme yang permanen. Sebagaimana cara pandang posmodernist bahwa sebagian ras manusia pengetahuan adalah relatif, dan tergantung pada keadaan yang melahirkannya. Karena pengetahuan pada akhirnya suatu sistem sign). Ia adalah dirinya sebagaimana dunia eksternal, out there.


Gagasan Masyarakat Global

Para filosof pencerahan suka menganggap dirinya sebagai individu yang tegas dan tidak terbebani dengan nilai-nilai tempat mereka hidup dan dibesarkan. Tetapi dalam realitas mereka menyatu bersama masyarakat dengan moralitas agama dan rasa kewajiban sosialnya. Mereka ingin mengubah masyarakatnya. Untuk tujuan itu mereka menemukan individu yang bebas dan diberkati rasio yang setia pada nurani kesadarannya, bukan pada posisi eksternal akan menjadi pendorong kemajuan.

Namun demikian, kenyataan seperti itu tidak berarti harus berasal dari moralitas filosofis dan politik yang awalnya muncul pada era tertentu hanya karena kegagalan pendekatan tersebut mencapai ambisinya (2001:120) dengan gagasan-gagasan falibilitas, refieksifitas, dan yang terbebani, ia mengusulkan suatu masyarakat terbuka yang bersifat universal.[11] Falibilitas didefinisikan sebagai suatu asumsi bahwa pemahaman kita terhadap dunia tempat kita hidup tidaklah sempurna. Tidak ada individu atau kelompok yang memonopoli kebenaran; dan sebaiknya kita tidak tunduk sepenuhnya pada dikte rasio, melainkan membuat pilihan secara sadar dalam artian tidak menunjuk pada kebenaran swa-objektif semata-mata, melainkan bersifat inter-subjektif, yang berarti bahwa pemikiran kita aktif mempengaruhi setiap peristiwa yang kita ikuti dan kita pikirkan.[12] Dan Individu yang terbebani adalah individu-individu yang tidak bisa eksis dalam isolasi, tetapi keanggotaan tanpa sadar pada masa pencerahan. Konsep ini dapat dipahami melalui lingkungan sosial, keluarga mereka, dan ikatan-ikatan lain kebudayaan dimana mereka dibesarkan.

Konsep masyarakat global itu lebih pluralistik, tetapi ia tidak bisa sedemikian plural sehingga tidak bisa menentukan benar clan salah. Toleransi clan moderasi juga bisa terjebak pada ujung ekstrimitas. Dalam prosesnya apa yang benar itu hanya bisa ditentukan setelah proses trial and error. Definisi tentang sesuatu bisa saja bervariasi menurut waktu dan tempatnya, tetapi pada setiap waktu dan tempat mesti ada suatu definisi. Berbeda dengan keyakinan era pencerahan bahwa hanya ada satu definisi, masyarakat global menyadari bahwa nilai-nilai itu refleksif dan bisa berubah setiap waktu. Keputusan kolektif tidak bisa didasarkan pada rasio, tetapi kita tidak dapat melakukannya dengan keputusan kolektif. Kita memerlukan aturan hukum semata-mata karena kita tidak mendapat kepastian tentang apa yang benar dan salah.


Individu Mendefinisikan Aku

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa kehidupan dunia telah berubah, dan terjadi dalam proses yang cepat. Sebagai konsekuensinya pemahaman diri juga berubah. Gambaran ini memperlihatkan tantangan, yang muncul dalam problematik Islamisasi yang disodorkan sebagai pokok bahasan. Bahasan  ini muncul dalam bentuk pembahasan binari (kaya-miskin, tua-muda, leiaki-perempuan), pandangan yang melatar belakangi pola pemikiran era pencerahan, dan pandangan yang umum beredar. Disebut sebagai pandangan umum, oleh karena pola binari adalah pola yang paling mudah dicerna dan diajarkan pada individu. Pandangan lain berusaha menunjukan kemajemukan dan berusaha menghindarkan diri dari pandangan yang binari. Upaya ini dilakukan oleh mereka yang berusaha mencari jawaban dengan membahas kembali masalah kebudayaan yang muncul dalam kajian perempuan, etnisitas, dsb. Islamisasi dengan demikian adalah problema yang muncul dalam kategori pandangan binari (Islam-nonIslam, atau Islam-Barat). Tentu tidak salah memiliki pandangan seperti itu, akan tetapi ada beberapa kecenderungan perkembangan masyarakat yang harus dipahami seperti kemajemukkan itu sendiri. Sejauh mana pandangan seperti Islamisasi menyadari adanya keanekaragaman yang ada.

Dilihat dari sisi individu dengan berkembangnya aku, maka ada beberapa permasalahan yang bisa diajukan. Pertama, sejauh mana Islamisasi memberikan tempat pada perkembangan aku; yang kedua, sejauh mana Islamisasi akan berkembang menjadi konstruksi nilai yang universal ataukah nilai yang eksklusif. Telah dijelaskan di atas bagaimana aku berada pada masyarakat, bagaimana aku bisa berkembang. Aku harus dapat mendefiniskan dirinya melewati batas mempertahankan diri, dan aku berada pada masyarakat, pada kelompok, sebagai upaya mengembangkan dirinya. Dalam tataran ini perkembangan aku bisa membuahkan problematik, bila proses Islamisasisasi mengawali gerakannya dari definisi kelompok.[13] Dalam hal ini kepentingan kelompok menjadi lebih penting dan aku terpaksa melebur di dalamnya. Ciri-ciri kemajemukkan menghilang dan kelompok menjadi sebuah perkumpulan yang bersifat tribal, ciri-ciri kepemimpinan menjadi ketat, simbol menjadi sangat jelas.[14] Apabila hal ini terjadi maka Islamisasi yang menyangkut banyak orang dalam banyak negara, kelompok, jenis kelamin, lokasi, urban-rural bisa kehilangan pegangannya. Apakah Islamisasi berada pada tingkat ide ataukah dalam tingkat aksi. Apabila Islamisasi berada pada tingkat ide maka individu masih mendapatkan tempat untuk berpikir, merenung, beraksi setelah melakukan refleksi terhadap masalah dimana dia berada dan juga masalah yang lebih luas (global).

Perkembangan yang rerakhir ini merupakan permasalahan yang kedua yaitu sejauh mana Islamisasi menjadi nilai yang universal atau nilai eksklusif. Pergumulan pendekatan ilmiah adalah pergumulan yang tidak habisnya dan memiliki sejarah yang panjang. Sering dikatakan seiring dengan perkembangan Islam maka ilmu pengetahuan pun berkembang. Perkembangan ini berbenturan dengan Barat yang pada saat itu pun sedang mengalami masa pencarian peradabannya. Penaklukkan Barat atas Timur kemudian juga berpindahnya pengetahuan ke arah Barat. Dengan demikian pencarian Timur seperti yang muncul dalam Islamisasi muncul juga dalam nostalgia kebesaran Timur. Tidak jarang hal ini muncul dalam keinginan yang menggebu-gebu dan kemudian melupakan bahwa gerakan tidak harus berarti keseragaman. Justru yang terjadi haruslah lebih banyak waktu diluangkan untuk memahami diri sendiri seperti kemiskinan, loyalitas kepada pemimpin yang berlebihan, kedudukan perempuan yang didomestikasikan, kesenjangan pengetahuan diantara kelompok yang membutuhkan pemahaman Islamisasi, posisi Islam sebagai atribut politik. Pemahaman seperti ini membutuhkan kerja keras clan dilakukan secara simultan dalam banyak segi keilmuan sehingga pengetahuan bagaimana bentuk masyarakat yang membutuhkan Islamisasi sebenarnya. Memahami diri sendirl adalah suatu proses yang menyakitkan dan sulit, karena diri dan perasaan, desire terlibat sepenuhnya. Dalam proses ini emosi harus dipahami sebagai pengeerak ataukan sebagai kekuatan mempertahankan diri yang eksklusif dan hanya dipahami oleh sebagian kecil dari masyarakat.

Penutup

Penjelasan ini merupakan sebagian kecil dari permasalahan yang berkaitan dengan individu dan masyarakat dalam pergulatan nilai yang sekarang terjadi di dunia. Pergulatan ini menjadi penting dan signifikan untuk dipahami oleh karena dalam saat di mana terjadi juga perubahan situasi dunia. Dunia telah berkembang sangat pesat sehingga menimbulkan kebingungan pada banyak orang. Oleh karena itu keinginan akan pemaknaan baru menjadi penting sebagai tolok pegangan bagi kehidupan individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan.


DAFTAR RUJUKAN


Bellah, Robert N. (2000). Beyond Belief. Paramadina. Jakarta.

Klaff, Rene (1998), "Human Rights and Development: A Critical View", dalam Quarterly Journal of the Institute of Regional Studies, Islam Abad, Volume XVI, Number 4, Autumn.

Kojeve, Alexandre (1986). Introduction to the Reading of Hegel. Cornell University Press. Ithaca.

Neuman, W. Laurence (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 3th Ed. Allyn & Bacon. Boston.

Noerhadi, Toeti Heraty (1979). Aku Dalam Budaya, Suatu Teori Orientasi Filsafat Barat Modern. Disertasi. Universitas Indonesia.

Popper, Karl R. (1950/2002). Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Schaurich, James Joseph (1997). Research Method in the Postmodernism. The Falmer Press. London.

Soros, George (2001). Krisis Kapitalisme Global. Qalam. Yogyakarta.

Wallerstaein, Immanuel (1997), "Social Science and the Quest for a Just Society", dalam American Journal of Sociology, Volume 102,                 Number 5, March.


[1] Comte dalam hubungan ini pernah menjeiaskan bagaimana tahapan sejarah berpikir manusia, mulai dari tahapan teologis, metafisikal, dan positif. Masyarakat rasional dengan demikian telah melewati dua tahapan pertama untuk sampai pada tahapan untuk menghargai dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai carapandang mereka dalam kehidupan dunia. Cara berpikir teologis itu cenderung bersifat abstrak-spiritual, dan cara berpikir positif itu telah mencapai pada metode ilmiah, uji kebenaran dengan pengalaman empirik, dan pada dasarnya cara ini menekankan pada cara berpikir opaasional-kalkulatif. Mungkin, dapat juga dikaitkan dengan pernyataan seorang irmuan (scientist) Albert Einstein bahwa agama tanpa ilmu pengetahuan akan menjadi buta, dan ilmu pengetahuan tanpa agama akan rnenjadi binasa, dan semacamnya.
[2]  Ada banyak cara interpretative untuk memahami proses isaramisasi ilmu pengetahuan tersebut, antara lain, yaitu ada asumsi bahwa seluruh ciptaan Tuhan di muka bumi ini disediakan untuk kelangsungan hidup manusia karena itu dalam upaya memiliki dan menguasainya manusia mempunyai mekanisme masing-masing sesuai dengan latar bekalang kebudayaannya yang berisikan metode, konsep-konsep, dan aliran agamanya. Dengan membaca nama Tuhan (dengan nama Allah, misalnya) individu-individu dan kelompoknya dapat menikmati sajian alam itu dengan leluasa. Itu berarti bacaan tadi atau upaya tadi merupakan proses legitimasi pemilikan atau penguasaan dari suatu wilayah kepercayaan atau keyakinan ke pola lain. Di samping itu, ada asumsi lain bahwa semua yang telah berjadi dan menghasilkan produk di muka bumi ini adlah sah dan Islam datang untuk menyempumakan semua kejadian dan proses itu dengan suatu paradigma atau pendekatan yang perfecsionistik.
[3] Subjektivitas manusia berbeda dari subjektivitas hewani secara prinsipil karena keadaannya sebagai individu (person) dengan aspek rohaniah yang menggunakan hubungan-hubungan budaya dan sosial. Dialog dengan lingkungannya adalah dengan dunia manusiawi dan sesama manusia, dengan melibatkan suatu kebebasan. Subjektivitas manusiawi mengarahkan diri pada suatu dunia manusia yang merupakan dunia budaya dengan peluang kebebasan. Sedangkan subjektivitas hewani mengarahkan diri pada dunia yang terbatas oleh keterikatan pada kemarrpwan jer,s. Dengar. subjektivitas manusiawi ini sampailah pada pengertian aku. (Lihat Noerhadi, 1974:18).
[4] Ketika terjadi perubahan sosial yang sangat radikal dalam sejarah Eropa Barat para sosiolog seperti Durkheim, Marx, dan Weber, terperangah melihat perubahan tersebut dengan masing-masuig kemudian mengajukan pertanyaan, kurang lebih, mengapa bagaimana itu bias terjadi, dan ke mana arah perubahan kemasyarakatan itu (what makes society sustainted, atau how society is possible) jika fimdasi tradisi yang berisikan nilai-nilai pemersatu sudah ambnilc oleh rasionalitas produk revolusi sains dan pencerahan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa pemikiran sosiologis itu baru munctd ketika terjadi ancaman terhadap kebenaran (dogma) apa yang selama waktu tertentu menjadi pegangan masyarakat bersangkutan.
[5] Menurut penulis individu-individu yang relijius adalah mereka yang telah melewati tahapan individu biologis yang terikat atau dikuasai oleh pandangan dominasi naluri hewani. Mereka adalah para individu yang telah melewati tahapan, kedua, manusia rasional produk filosof ; pencerahan juga, yaitu mencapai level ketiga, sebagai individu yang terbebani oleh nilai-nilai moral hasil kesepakatan kolektiv dan konteks sejarah dan sosialnya.
[6] Ada tiga pendekatan dalam ilmu social, versi Neuman, yaitu positivism, interpretative, dan kritikal. Sebagian besar penelitian social didasarkan pada pendekatan pertama karena ia merupakan pendekatan yang paling tua dan digunakan secara luas. Pada dasamya setiap pendekatan dikaitkan dengan tradisi-tradisi penelitian yang beraneka ragam. Pertalian di antara pendekatan-pendekatan besar pada ilmu pengetahuan, teori-teori social, dan teknik-teknik penelitian adalah tidak sempuma (stric). Pendekatan itu sama dengan program penelitian, tradisi penelitian, atau paradigma ilmiah. Paradigma adalah suatu gagasan yang diperkenalkan (made famous) oleh filosof ilmu pengetahuan Thomas Kuhn (1970), yang berarti suatu orientasi dasar pada teori dan penelitian. Secara umum paradigma menurut versi ini adalah suatu kesuluruhan system berpikir, mencakup asumsi-asumsi dasar, pertanyaan-pertanyaan penelitian, atau fuzzles yang akan diselesaikan, teknik penelitian yang digunakan, dan contoh-contoh bagaimana penelitian yang baik (lihat Neuman, 1997).
[7] Ada asumsi bahwa individu-individu yang mandiri adalah meraka yang secara ekonomi hidup mereka sudah memadai dan mernenuhi kebutuhan primer, meskipun kebutuhan itu akan berkembang terus sesuai dengan tingkat kemajuan "peradaban" manusia. Paling tidak individu-individu tersebut memiliki kemampuan untuk beberapa derajat melepaskan dirinya (dengan cara-cara yang rasional) dan ikatan kelompok (secara ekonomi, sosial, budaya) untuk menyatakan pandangan dan prinsip hidupnya sesuai dengan kemauan bebasnya dalam upaya sampai pada tujuannya.

[8] Era pencerahan memperlihatkan penolakan definitive para ilmuan terhadap otoritas relijius yang dipegang para agamawan sebagai hakim-hakim untuk menyatakan kebenaran atau kebaikan. Tetapi siapa yang menggantikan mereka. Kant ingin sekali (anxious) untuk mengambil aiih hak-hak para agamawan untuk menilai (judge) baik kebenaran (truth) atau kebaikan (goodness). Ia menemukan cara yana cukup mudah untuk menilai kebenaran, tetapi lebih sulit untuk menilai kebaikan. Dapat dikatakan bahwa orang tidak dapat membuktikan hukum-hukum moralitas sebagaimana dipikirkan dalam hukum-hukum ilmu fisika (laws of physics), ia boleh menyerahkan (conceded) kebaikan kepada para agamawan. Tetapi ia meminta bahwa di sini juga para filosof dapat menawarkan jawaban yang bagi Kant ditempatkan dalam konsep imperatif-kategoris. Para ilmuan datang untuk mempertanyakan keberadaan filosof, apakah ada sesuatu yang melegitimasikan spekulasi-spekulasi sebagal dasar pertimbangan (rationations) mereka sehingga memungkinkan kita menganggap mereka itu benar? Para ilmuan menegaskan bahwa mereka, sebaliknya, memiliki dasar yang kuat (firm basis) untuk menilai kebenaran dengan suatu penyelidikan empiris (empirical mvestigation) yang dapat diuji dan hipotesis-hipotesis mereka yang teruji sehingga kemudian menjadi provisional universals yang disebut sceentific theorems. Ilmu-ilmu social yang berdiri pada abad 19 adalah tepat (precisely) menjadi ahli waris bagi pencarian kebenaran dan kebaikan, dan dalam beberapa cara telah menawarkan dirinya sebagai landasan (ground) yang bias mendamaikan perdebatan, tersebut. Bagaimanapun, dalam hal ini, diakui bahwa ilmu-ilmu social tidak cukup berhasil dalam pencariannya; lebih daripada penyatuan kembali (reunifying) dan pencarian, ia mengalami dirinya sebagai bagian dari ketidak cocokan (dissonance) di antara mereka itu. (lihat wallerstein, 1997)
[9] Dalam kaitan ini ia membagi kepada tiga generasi HAM, yaitu generasi yang menekankan pada hak-hak politik yang klasikal, yang diformulasikan berdasarkan dokumen-dokumen yang ada pada abad 18, seperti virginia Bill of Rights, Konstitusi Amerika dengan Bill-of-Rights Amandementnya, dan Deklarasi Prancis tentang Human and Civil Rights. Inti dari tri-tunggal (triad) itu adalah hak-hak untuk hidup (life), kemerdekaan (liberty) dan kemilikan (property). Hak-hak liberal dilengkapi dengan hak-hak sipil (civil rights) untuk menjamin hak-hak individu agar mereka dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan negara. Kedua, generasi yang diformulasikan dalam masa paruh kedua abad ke-19. Generasi ini meliputi (widens) perjuangan wujud asli HAM sebagaimana juga dalam prinsip: hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya yang bukan hak defensif yang diarahkan pada negara, keeuali hak-hak pemberian (entidement) untuk mendapatkan keuntungan (benefiting) dari distribusi dan alokasi sumberdaya dari negara. Ketiga, generasi yang secara nyata terdiri atas hak-hak kolektif, yaitu meliputi hak-hak sosial, ekonomi, dan politik dari generasi kedua yang dapat diinterpretasi baik sebagai  hak-hak individual atau kolektif. Mereka memerlukan intervensi aktif negara to a large degree dalam urusan-urusan sosial dan ekonomi. Positivisme merupakan dasar ilmu pengetahuan modem yang lahir kembali dengan semangat pencerahan dan sangat menonjol di Barat (lihat Klaff, 1998)

[10] Dunia kontemporer ditandai oleh globalisasi structural dan fragmentasi kultural. Dua proses yang simultan ini berpotensi menghasilkan kebencian yang sangat luas dan nyata dalam berbagai bentuk fundamentalisme yang terlihat dalam semua budaya di dunia. Oleh karena itu, harus dinyatakan secara eksplisit bahwa proses globalisasi tidak membawa pada integrasi norma-norma, etik, dan kultur. Oleh karena itu sungguh perlu menerjemahkan konsep HAM, sebagai reaksi pada pengalaman universal tentang ketidakadilan, ke dalam bahasa-bahasa dan tradisi-tradisi budaya yang berbeda. Dalam hal ini dibutuhkan adanya suatu pribumisasi (indigenization) HAM, dan ini akan memungkirikan formulasi bentuk-bentuk standar kerangka hukum yang umum, berdasarkan suatu consensus normative yang mengembalikan kondisi berfungsinya tatanan dunia (lihat Klaff, 1998.

[11] Soros (dengan misi Open Society Fund) berhasrat untuk membantu membuka masyarakat-masyarakat tertutup ­agar masyarakat terbuka lebih bergairah, dan mendorong cara berpikir kritis sebagai sponsor masyarakat ……………formulanya ialah: setiap aktivitas atau asosiasi yang tidak berada di bawah pengawasan (kontrol) penguasa memungkinkan terciptanya berbagai alternatif dan karenanya mengurangi monopoli dogma (Soros, 2001:94).
[12] Dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan para individu yang berpikir, hubungan satu arah ………..dan fakta (yang dibuat para ilmuan tentang alam) tidak membantu menilai kebenaran masyarakat ……………pernyataan berkorenpondensi dengan fakta, ia benar, dan jika tidak, ia masalah). Dalam ilmu sosial atau …………hubungan dua arah. Pada satu arah, individu berupaya memahami situasi yang diikutinya, ia membentuk ………….yang berkorespondensi dengan realitas, yaitu apa yang disebut sebagai fungsi kognitif atau pasif. Pada ……….individu tersebut mencoba memberi pengaruh, mengemas realitas agar sesuai dengan hasratnya, yaitu apa apa yang …………fungsi partisipatif atau aktif Ketika kedua fungsi tersebut bekerja pada waktu yang sama, situasi itu disebut ………………….2001:21).
[13] Dalam suatu komunitas tertentu, aku tidak mendapat peranan dan kedudukan yang independent, melainkan aku sangat dependent sehingga ia menjadi kurang lebih sebagai robot-robot atau wayangnya komunitas bersangkutan. Para individu dalam konteks itu tidak mampu menghargai pluralitas karena mereka tidak mampu melepaskan diri dari keseragaman dalam cara berpikir, cara bertindak, dan bahkan cara merasa terhadap apa yang dihadapinya.
[14] Peradaban sering digambarkan bertujuan pada kemanusiaan dan didasarkan pada penerimaan akal; pada kesejajaran dan kebebasan. Sebuah model peradaban yang masih dalam babakan pertumbuhan, dan terus berkembang kendati fakta menunjukkan bahwa peradaban itu sering dikhianati oleh banyak pemimpin intelektual umat manusia. Agaknya, peradaban itu belum seluruhnya bangkit dari keterkejutan kelahirannya-transisi dan masyarakat tribal atau 'masyarakat tertutup, yang ditandai oleh penyerahannya pada kekuatan-kekuatan magis, menuju 'masyarakat terbuka' (versi Popper) yang membebaskan kekuatan-kekuatan kritis manusia. Keterkejutan transisi bisa merupakan salah satu faktor yang terus berupaya menggulingkan peradaban dan kembali pada tribalisme. Totaliterianisme adalah bagian dari tradisi yang umurnya sebaya dengan peradaban kitaa sendiri (Popper, 1950/2002: 1-2)

No comments: