Saturday, September 18, 2010

Kualitas dan Percaya Diri Lulusan Pendidikan Tinggi


Para pembaca yang budiman,

Perkenankan saya memberikan beberapa butir pemikiran dalam konteks Fakultas yang mencetak tenaga pengajar bukanlah tempat buangan dan pilihan terakhir bagi mahasiswa. Lulusannya harus menjadi ujung tombak pendidikan, terutama dalam menyediakan tenaga pengajar. Kutipan dari KOMPAS ONLINE yang bertajuk: Fakultas Keguruan Bukan Fakultas "Buangan"! Kamis, 22 Oktober 2009 | 16:44 WIB BANDA ACEH, KOMPAS.com
Agaknya, paling sedikit ada DUA HAL yang baik untuk dikembangkan dalam diskusi ini, yakni PERMASALAHAN KUALITAS DAN PERCAYA DIRI.

(1) persoalan KUALITAS lulusan pendidikan tinggi kita di Aceh, utamanya Universitas Syiah Kuala, lebih utama lagi adalah produk FKIP-Unsyiah. Ini TEMA YANG MEMPRIHATINKAN DAN PATUT MENDAPAT PERHATIAN DAN PARTISIPASI SEMUA PENGAJAR DAN PENDIDIK DI UNSYIAH. Dalam hubungan ini patutlah dipertanyakan kembali definisi dan ukuran operasional KUALITAS yang kita rujuk untuk memahami dan mengakui kondisi lulusan kita, untuk berapa tahun terakhir misalnya. (mahasiswa dan dosen, minimal untuk jenjang dan bidang (studi) keilmuan bersangkutan dapat menelaah secara kritis perkembangan lulusan kita 5-10 tahun terakhir).

Keprihatinan terhadap POKOK MASALAH KUALITAS LULUSAN adalah, boleh jadi, awal dari kemajuan kita ke depan. Menurut hemat saya, pangkal untuk melakukan persiapan menuju suatu capaian tertentu yang dicita-citakan adalah KESADARAN akan kelemahan dan kekuatan. Untuk memenuhi pangkal ini diperlukan kesadaran individual dan bersama tentang keberadaan kita selama ini dalam proses pembelajaran di universitas. Misanya, bagaimana prinsip pembelajaran di perguruan tinggi? Apa saja pra-syarat seseorang agar memungkinkan mengembangkan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Perguruan Tinggi Untuk siapa saja? Apakah semua orang mempunyai kesiapan dan kesanggupan untuk belajar di perguruan tinggi?

Diskusi mengenai definisi konseptual dan operasional KUALITAS penting dilakukan untuk membangun asumsi-asumsi kita pada data (empirik) lulusan yang akan kita analisis. Keandalan dan kesahihan (validity), keterujian dan  objektivitas (realiability) hasil analisis itu akan memberikan bobot dan pengakuan dari berbagai kalangan yang membacanya. Kegiatan investigasi secara ilmiah ini sangat mungkin dilakukan secara sukarela tanpa dukungan sosial-ekonomi dari pihak luar (individual atau institusional), kerja-ilmiah untuk memperoleh data yang benar dan dengan data itu memungkinkan seseorang (peneliti atau pemimpin lembaga) melakukan prediksi yang berlandaskan pada kebenaran ilmiah yang objektif. Itulah dasar membangun kepercayaan publik, utamanya di dalam lingkungan komunitas kampus kita.

Akhir-akhir ini pendidikan tinggi sebagai lembaga yang disponsori Negara atau Swasta semakin terliobat dalam proses industrialisasi. Salah ciri industrialisasi adalah mass production. Ciri ini adalah bagian dari kondisi yang menghantui kita baik sebagai mahasiswa maupun pengajar/pendidik di lembaga pendidikan tinggi. Gejala industrialisasi seperti itu sudah merambah ke seluruh pelosok nusantara, dan sudah dihayati dan dilembagakan secara formal dan substansial, baik secara terencana atau tidak. Kita dalam hal ini perlu merujuk dan memahami bagaimana INDUSTRI SEBAGAI sebuah IDEOLOGI  yang berkembang secara mendunia belakangan ini. Hampir tidak ada masyarakat atau Negara yang berhasil menolaknya, paling-paling ada yang sukses menggiring proses industriasiasi itu untuk mengikuti suatu alur perubahan sesuai dengan yang diinginkan pihak pemerintah (Negara) dan Pemilik Modal.

Apa yang harus dimiliki mahasiswa atau pengajar untuk menghadapi gejala mass-production dalam proses pendidikan di perguruan tinggi sekarang adalah LATIHAN DAN PERSIAPAN KEMANDIRIAN. Boleh jadi, hanyalah mereka yang terlatih dan siap-pakai yang akan memperoleh bekal (ketrampilan) untuk berhadapan dengan pasar kerja (lokal, nasional, dan global). KITA agaknya sudah mulai sampai, walaupun sebagian saja, pada era industrialisasi. Capaian ini sudah dilalui oleh bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, utamanya BARAT. Mereka sudah melampaui tahapan industrialisasi ini sejak abad modern (17-19) di eropa Barat.

Latihan kemandirian itu didasarkan pertama-tama pada pendidikan LOGIKA. Upaya untuk mempersiapkan anak-didik dengan dasar-dasar logika ilmu pengetahuan (deduksi dan induksi) ilmiah dengan andalan eksperiemntasi ilmiah juga. KEMANDIRIAN untuk menghadapi era industrialisasi global SULIT DIPERCAYA BISA secara efektif dihadapi oleh DOGMA atau PENDIDIKAN DOKTRINER. Boleh jadi, KESADARAN yang diperoleh oleh mahasiswa dan pengajar di perguruan tinggi sekarang tidak lebih berdasar pada DOGMA atau DOKTRIN yang diajarkan dan dilatih secara sistematis, melainkan KESADARAN itu dipelajari secara manusiawi dari PRAKSIS, KEBERADAAN dengan sesama mereka dalam lingkup nyata atau tidak nyata. GEJALA kepribadian terbelah (split personality) itu amat nyata terlihat dalam pengalaman kerja kita di berbagai institusi. Pengalaman saya mengajar di jenjang pendidikan Magister Ilmu Hukum di Unsyiah memperlihatkan betapa para peserta atau mahasiwa yang mengikuti pendidikan tersebut merasa bosan, jenuh, dan sebagainya karena menurut mereka apa yang dipelajari dalam proses pembelajaran sama sekali berbeda dengan praktik di lapangan. Ini untuk menunjukkan bahwa MOTIVASI mereka tidak datang dari dalam dirinya, melainkan dari luar (lapangan kerja). 

Dengan pengalaman sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa ada KESULITAN membangun kesadaran belajar mereka dengan andalan DOKTRIN atau DOGMA tertentu (seperti orang-orang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan akan memperoleh derajat yang tinggi di mata TUHAN, dan sebagainya). Mereka merasa tidak cocok dengan berbagai harapan dan pujian yang tidak nyata. Jadi, KEBERADAAN mereka secara factual (kondisi birokrasi dan pasar kerja yang sedang (chaos, korup, dan tidak memperhitungkan KUALITAS) memprihatinkan dari segi KUALITAS yang membawa-serta LULUSAN dalam berbagai bidang keilmuan untuk mencari gelar dan sertipikat formal saja. Fenomena ini semakin dipicu oleh karakteristik sosial-budaya (mentalitas) masyarakat kita yang masih cenderung feudal, agraris-tradisional, dan tidak berorientasi ke masa depan.

(2) Persoalan PERCAYA DIRI, berdasarkan diskusi terdahulu, dengan demikian, dapat diketahui tidak berasal dari dalam diri sesorang, paling tidak untuk era industrialisasi yang kita jalani sekarang. RASA PERCAYA DIRI seringkali muncul disebabkan faktor-faktor  materialistik. Landasan kehidupan bersama (common ground) tempat kita bekerja dan mengabdi sekarang didukung oleh cara-pandang yang lebih pragmatis, bahkan tidak berbasis materialis yang kuat. Basis kehidupan materialisme ditandai oleh keberadaan seseorang secara individual, seseorang yang mempunyai individualitas yang terpuji baik secara fisik maupun kapasitas pribadinya yang unggul. Kecakapan dari segi pengetahuan dan kamampuan (kekuatan fisik, mental, dan spiritual) amatlah mendasari keberadaan seseorang di dunia nyata secara sosial dan cultural. Rasa PERCAYA DIRI itu tidak bisa maujud hanya berdasarkan kemampuan dogmatis, pewarisan pengetahuan dan gagasan masa lalu yang ideologis, melainkan semua pengalaman warisan itu perlu berakumulasi dengan pengalaman materialis (kuat secara individual) yang memungkinkan seseorang itu tampil secara prima sebagai MAHASISWA BERPRESTASI SECARA SUBSTANTIF.

Seseorang mahasiswa baru memungkinkan tampil dengan rasa PERCAYA DIRI dalam kelompok atau komunitasnya apabila ia memiliki pengetahuan (substantif) dan kemampuan (formal) yang memadai, dan itu merupakan permintaan (demand) dan kebutuhan dalam pasar kerja atau dunia industrial yang rasional. Demikian pula, Pengajar atau pendidik yang memiliki RASA PERCAYA DIRI selalu saja antusias untuk mengemukakan ide-ide atau gagasan teoeritis mereka yang baru yang diperoleh dari bacaan-bacaan mutakhir. Idealisme para pengajar yang demikian itu akan memberikan imbas pada peserta didik mereka lebih dari sekadar formalitas. Atribut pendidikan tinggi, misalnya, JURNAL-JURNAL ILMIAH, adalah jendela dari mana para mahasiswa dan pengajar menampilkan ajang kompetisi untuk berebat dan menemukan sintesa-sintesa dalam bidang bidang keilmuan mereka masing-masing.

Secara parsial kita ternyata lebih cepat mengalami proses industrial dalam bidang-bidang budaya (termasuk gagasan-gagasan, gaya hidup, dan konsumsi) melalui media pendidikan formal dan non-formal. Di samping itu, masyarakat industrial ternyata juga mementingkan tenaga kerja yang trampil dan memiliki kecakapan dalam mengelola hubungan-hubungan kerja industrial yang birokratis. Oleh karena itu, para LULUSAN yang tidak berkualitas hampir tidak mungkin memperoleh pekerjaan (SELAIN PNS) yang menjanjikan secara financial. Lebih jauh, pasar kerja dunia industrial membutuhkan keterlibatan PEMILIK KAPITAL yang menanamkan investasi mereka pada berbagai barang dan jasa yang sudah dapat disebut KOMODITAS (use value dan exchange value). Selanjutnya, para pemilik modal itu akan melipat-gandakan capital mereka untuk melakukan ekspansi usaha mereka ke berbagai wilayah yang lain.

DAPAT diambil beberapa KESIMPULAN:
(1) KUALITAS lulusan pendidikan tinggi kita masih dihadapkan pada ukuran-ukuran lokal. Itu sesuai dengan input (calon-calon peserta didik) yang dating dari berbagai penjuru pedesaan (yang mencirikan mentalitas dan tradisi lisan dan pertanian tradisional). Untuk itu diperlukan kerja-keras kita semua (utamanya para pengajar yang berkualifikasi doctor untuk memikirkan dan mendudukan masalah ini agar didiskusikan bersama sebelum UNSYIAH menjadi BHPP) agar membuat GARIS-GARIS BESAR HALUAN PENDIDIKAN kita melalui UNSYIAH. Sebagaimana kita maklum bahwa KUALITAS LULUSAN seringkali DITENTUKAN oleh KUALITAS kita sebagai PENGAJAR. Para pengajar yang konsisten dengan keahlian dan bidang-bidang keilmuan dalam proses pembelajaran akan sangat akan sangat membantu mempercepat peningkatan KUALITAS LULUSAN pendidikan tinggi Kita.

(2) PERCAYA DIRI para lulusan itu merupakan kelanjutan dari kualitas mereka secara substansial dan formal. Tingkat PERCAYA seseorang lulusan tidak selalu bisa ditelusuri melalui penampilan mereka yang formal, melainkan perlu diamati juga bagaimana kondisi mereka pada waktu berada dalam suatu ajang kompetisi yang menasional. PERCAYA DIRI yang cenderunghanya  JAGO KANDANG adalah bersifat SEMU. Kita patutlah membawa para mahasiswa atau lulusan kita secara nyata pada level yang mendunia sehingga PERCAYA DIRI mereka lebih didasarkan pada fakta material yang menjanjikan. Agaknya, Pak Saiful dari FKIP yang menekuni PSIKOLOGI dapat memberikan banyak kontribusi dalam upaya kita meningkatkan RASA PERCAYA DIRI LULUSAN FKIP di level komunitas ilmiah yang luas. SEMOGA ADA MAnFAATNYA.
WASSALAM.
Saleh Sjafei
Pengajar Sosiologi pada FH dan FISIP UNSYIAH

No comments: