Monday, September 13, 2010

Apa itu Ilmu Pengetahuan?


Apa Itu Ilmu Pengetahuan?
M. Saleh Sjafei ·
Pengantar
Agaknya, dalam masyarakat kita acapkali suatu ceramah atau khutbah itu diawali dengan mukaddimah yang antara lain berisikan kalimat bahwa “…….Salawat dan Salam kita sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kegelapan ke alam ilmu pengetahuan”.  Ungkapan itu sudah dikumandangkan sejak lama oleh banyak para intelektual mubaliq dan cendekiawan dalam berbagai pertemuan formal atau non-formal. Ada kecenderungan kalimat dan susunan-isinya telah diterima orang-orang begitu saja (taken for granted) dalam kesehariannya. Dengan perkataan lain, orang-orang tidak lagi berupaya mempertanyakan kembali esensi maknawi ungkapan itu secara kritis (teks-konteks) sehingga pengucapan kata-kata itu memungkinkan korespondensi yang bernuansa transformatif dengan kenyataan empirik yang digeluti mereka dalam pelbagai aktivitas sehari-hari.
Ada banyak pertanyaan yang patut didiskusikan dalam hal ini. Namun, artikel kali ini bermaksud untuk menguraikan apa yang dimaksud dengan dan bagaimana transformasi ilmu pengetahuan itu? Seberapa jauh kita (utamanya para pemimpin dan cendekiawan) telah mempercayai ilmu pengetahuan sebagai capaian rasional manusia yang spektakuler untuk menjadi kerangka berpikir (frame of reference) kita dalam membangun kemanusiaan diri, kelompok, masyarakat, bahkan daerahnya? Sejauhmana, misalnya, para ilmuwan, peneliti, dan komunitas kampus Syiah Kuala jantung-hati masyarakat Aceh yang selalu mengumandangkan (eksternalisasi) instilah ilmu pengetahuan itu setiap hari menghayati (internalisasi) dan mengamalkannya secara bersama-sama (objektivasi) untuk memberikan gambaran orientasi, penjelasan, dan prediksi keperluan pemenuhan hidup bersama mereka dalam jangka waktu (pendek, menengah, dan panjang) tertentu yang progresif?   

Transformasi Ilmu Pengetahuan
Sebelum zaman modern, ilmu pengetahuan cenderung dipahami sebagai keseluruhan hasil penalaran dan imaginasi manusia terhadap alam semesta dan manusia yang dilandasi pemikiran spekulatif. Pada masanya muncul sebuah ungkapan ‘imaginasi adalah sumber pengetahuan’. Secara berangsur-angsur logika penarikan kesimpulan atas rangkaian pengetahuan (abstrak dan spiritual) yang diperoleh berbagai pengrajin itu berubah dari yang deduktif, misalnya, menuju induktif, dan kemudian berkembang logika berpikir hasil perpaduan kedua logika itu sehingga menemukan sintesanya dalam wujud tesis-tesis dan hipotesis. Proses transformasi dalam bidang ilmu pengetahuan terjadi sejalan dengan perkembangan filsafatnya. Transformasi dipahami sebagai suatu perubahan pola pemikiran dan perilaku orang-orang (melalui eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi) dalam berilmu pengetahuan (ngelmu). Proses perubahan itu mencakup transformasi dalam konteks landasan (common ground) dan dimensi (perspective) ber-ilmu pengetahuan yang mendorong para sesepuhnya, termasuk para filosof, ilmuwan, dan intelektual-cendekiawan untuk memahami berbagai gejala secara operasional dan nyata.  
Pada masa Yunani kuno ilmu pengetahuan masih dilandasi oleh konteks alamiah (natural law) sehingga para filosof sekaligus dipandang sebagai ilmuwan yang mempunyai gagasan-gagasan (pandangan hidup) besar dan cemerlang dalam memberikan deskripsi dan penjelasan mereka mengenai pokok permasalahan di dunia. Pelbagai pandangan hidup (world-view) itu digunakan para filosof untuk memahami dan menggali gejala alam dan manusia untuk menemukan landasan dan mekanisme pengorganisasian dalam banyak pola dan hubungan sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada kurun itu.
Transformasi yang berpengaruh pada bentuk landasan dan substansi ilmu pengetahuan itu dikemukakan oleh banyak sesepuh ilmu-ilmu sosial. Misalnya, August Comte (1798-1853) melalui kerangka teori hukum tiga stadia tentang sejarah perubahan tahapan pola pikir individu dalam masyarakatnya menggambarkan proses transformasi itu. Pada awalnya, manusia dalam kebersamaan mereka berpikir (a) secara teologik (religious), yakni tahap yang menunjukkan kemampuan berpikir paling sederhana (kongkrit) dan tumbuhnya mentalitas manusia yang partisipatif, di mana orang-orang berada di bawah asumsi bagian dari kosmologik; (b) stadium metafisik, yaitu tahapan transisional dari yang kongkrit, yang ditandai oleh kemampuan manusia untuk melakukan penalaran abstrak melalui alam sekitarnya; dan (c) stadium positif, adalah tahapan berpikir manusia secara rasional yang dilandasi positivisme dengan andalan metode ilmiah dan menekankan pada logika ilmu pengetahuan alam.
Pitirim Alexandrovich Sorokin (1889-1968) menunjuk transformasi cara berpikir manusia melalui tiga tahapan perkembangan kebudayaan dalam masyarakat. (1) Tahap ideasional, dengan asumsi bahwa ada pemersatu kebudayaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, supra-rasional, dan supra-inderawi. Kebudayaan Barat abad pertengahan, Yunani abad ke-8 dan ke-6, India pada masa Buddhisme, dan Cina pada zaman Taoisme. (2) Tahap inderawi, ditandai oleh munculnya kesadaran bahwa nilai yang autentik adalah gejala yang bersifat inderawi; yang nyata adalah yang bissa ditangkap oleh pengalaman inderawi manusia, itulah abad materialis dan empiris. (3) Tahap idealistik, adalah kebudayaan hasil pemaduan yang inderawi dan supra-inderawi. Capaian tahap ini antara lain, misalnya, sintesis budaya produk Thomas Aquino antara Kitab Suci (ideasional) dengan pemikiran aristotles (inderawi). Tahap kerohanian adalah sebuah transformasi kebudayaan inderawi versi Sorokin sebagai anti-tesis terhadap  kapitalisme, sosialisme, demokrasi, dan agama yang dipandang mempunyai  kelemahan secara budaya karena tidak memiliki kekuatan menyembuhkan secara nyata (curative). Oleh karena itu, Sorokin menrauh harapan pada “curative altruism” sebagai kesadaran transformatif yang dicapai melalui tahapan “supra conscious”, di mana relijiusitas altruistik (berkorban dan prihatin spiritual dan jasmani pada sesame) menjadi kerangka acuan hidup bersama.  
Dapat dikatakan bahwa sejak zaman modern, ilmu pengetahuan (science) dipahamai sebagai kumpulan fakta hasil pengalaman hidup manusia yang bersifat inderawi (berbeda dari kepercayaan, tahyul, dan penerangan yang keliru) yang disusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran (logika) dan selalu dapat diperiksa serta ditelaah (dikontrol) konsistensi kebenarannya secara kritis oleh setiap orang (objektif). Metode ilmiah adalah logika yang membentuk susunan-formal (form) dan isi-substantif (content) ilmu pengetahuan itu. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai rangkaian sistematis pengetahuan yang ditarik dari alam pikiran dan dunia kehidupan manusia (yang berakar pada alam kegelapan dan naluri yang penuh misteri) dan disertifikasi dengan metode ilmiah oleh para ahli yang memiliki standar kualifikasi dalam ilmu bersangkutan sehingga pernyataan tersebut menjadi secular (tercerabut dari akarnya yang penuh misteri naluri-alamiah) dan dinamakan certified knowledge. 
 Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan (alam, sosial, dan budaya) adalah kumpulan pengetahuan faktual manusia yang tersusun dalam suatu struktur pemikiran logis, sistematis, dan konsisten. Struktur ilmu pengetahuan tersebut berubah sesuai dengan kerangka landasan material (common ground), pokok masalah (subject matter), dan cara-penjelasan (school of thought) yang mengikutinya.
Sejauh ini agaknya kita (utamanya para pemimpin dan cendekiawan) belum menunjukkan tingkat kepercayaan yang memadai pada ilmu pengetahuan. Artinya, kita belum mampu melakukan eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi atas gejala alam, sosial, dan kemanusiaan di lingkungan masyarakat sipil, sector bisnis, dan pemerintahan daerah kita melalui suatu kerangka berpikir (frame of reference) ilmiah. Para pemimpin dan anggota komunitas ilmiah kampus Syiah Kuala, misalnya, belum cukup siap untuk secara konsekuen (istiqomah) menjadi agent of change dalam cara-cara berpikir, bertindak, dan berperasaan sebagai seorang ilmuwan atau peneliti. Mereka masih cenderung mengandalkan prioritas pengambilan keputusan secara kompromis baik dalam managemen akademis maupun non-akademis. Gejala ini dapat membawa-serta implikasi pada kepercayaan dan capaian kemajuan prediktif keperluan pemenuhan hidup bersama hanya untuk dalam jangka pendek, dan manjadi bagi jangka menengah dan panjang.



· Penulis adalah alumni Program Pendidikan Jenjang Doktor pada Departemen Sosiologi FISIP-UI, dan Pengajar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

No comments: