Monday, September 13, 2010

Berpikir dan Bekerja Dengan Ilmu Pengetahuan


Ilmu Pengetahuan: Landasan Berpikir & Bersikap-tindak Kritis
M. Saleh Sjafei ·

Pengantar
Belakangan ini ada artikel atau opini di harian Serambi Indonesia yang menyita perhatian publik. Opini tersebut sempat menjadi polemik melalui harian yang sama di antara beberapa penanggap, baik para intelektual dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) maupun pengajar pada Madrasah Aliah Negeri (MAN) di sekitar kampus Unsyiah. Opini-opini tersebut adalah: pertama, Otto Syamsuddin Ishak tentang “Akreditasi Tidak penting? Unsyiah Bernilai Santing” (Serambi, 8 Februari 2010); kedua, Ishak Hasan tentang “Pil Saridon untuk Otto (Menanggapi Unsyiah Bernilai Santing” (Serambi, 10 Februari 2010); ketiga dan keempat secara berturut-turut Nazamuddin tentang “Jantung-Hati yang Sedang Sakit” dan Alamsyah Taher tentang “Jeruk Makan Jeruk (Surat Terbuka untuk Otto)” (keduanya pada 13 Februari 2010). Kelima adalah artikel Djamaluddin Husita tentang “Seungko Menusuk Jantung” (Serambi, 15 Februari 2010).  
Tulisan ini dipersiapkan sebagai pengantar diskusi (intellectual exercise) dengan para peneliti, ilmuan, dan pengrajin ilmu pengetahuan di lingkungan komunitas ilmiah Unsyiah. Secara akademis kajian ini untuk membuka tabir (“debunking”) hubungan struktural subjek-objek dalam ilmu pengetahuan sehingga ia melandasi cara kita berpikir dan bersikap-tindak kritis dalam rangka membangun peradaban duniawi. Di satu sisi, ilmu pengetahuan dipandang sebagai proses berpikir dengan menggunakan akal-budi melalui metode logika yang objektif; dan di sini lain, ia dilihat sebagai hasil kerjasama olah-pikir manusia yang subjektif.

Kerangka Pikir
Dalam suatu pembukaan tentang metafisika, Aristotle menyatakan bahwa “pada`dasarnya setiap manusia mempunyai rasa ingin tahu”. Kekaguman atau rasa ingin tahu itu mendorong seseorang untuk mencari dan menemukan sesuatu pengetahuan. Berpikir kritis pun diawali dengan rasa kagum pada suatu pokok permasalahan. Berpikir dan bersikap-tindak kritis dalam konteks ini dipahami sebagai upaya seseorang untuk memahami dan mengamalkan sifat-sifat (properties) ilmu pengetahuan dalam rangka memenuhi capaian kehidupan yang progresif secara individual dan komunal.  Hasil penghatan dan pengamalan itu, boleh jadi, akan melekat pada kepribadian seseorang sehingga orang bersangkutan memiliki integritas keilmuan, moral, dan intelektual. Itulah antara lain sosok intelektual, ilmuan, atau peneliti yang mencerminkan cara-cara berpikir, bertindak, dan berperasaan dengan landasan pensifatan ilmu pengetahuan yang value-neutrality.
Keinginan manusia mencari pengetahuan juga menimbulkan upaya melakukan pengamatan  terhadap sesuatu hal. Pada mulanya pengamatan secara inderawi ditujukan  pada sesuatu untuk menangkap gejala-gejala di sekeliling manusia. Berbagai fenomena yang diperhatikan itu menjadi objek bagi dirinya. Peristiwa ini memperlihatkan bentukan struktural dalam hubungan antara si pengamat atau subjek (peneliti dan atau ilmuan) dengan gejala (pokok permasalahan) yang diamati atau objek. Hubungan antara subjek dan objek merupakan suatu relasi yang saling terarah satu sama lain dalam suatu bentuk yang disebut struktur.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam hubungan subjek-objek itu terdapat elemen-elemen internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi. Proses internalisasi dan eksternalisasi itu terjadi dalam suatu kerangka keter-arahan yang bersifat timbal-balik. Subjek mengarahkan diri-(subjek)nya pada objek, dan sebaliknya, objek menampilkan diri-(objek)nya kepada subjek yang bersangkutan dalam suatu landasan prosesual internalisasi dan eksternalisasi. Adapaun hasil hubungan tersebut adalah seperangkat pengetahuan objektif, dan “konstruksi” pengetahuan itu menjadi independen atas subjek yang telah membentuknya. 

Adapun tujuan akhir proses intelektual dari berbagai kegiatan ilmu adalah pengembangan teori-teori yang koheren disebutkan tadi yang dapat menjelaskan sejumlah besar gejala tertentu dengan cara yang sederhana mungkin.[1] Pada dasarnya ilmu pengetahuan tergolong dalam komponen supra-struktur masyarakat manusia. Apakah ilmu pengetahuan itu merupakan hasil dari kondisi-kondisi infra-struktur dan struktur yang mendasarinya?

Ilmu Pengetahuan
Apa itu Ilmu Pengetahuan? Ada beberapa variasi definisi ilmu pengetahuan. Ada yang menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan adalah seperangkat pengetahuan yang diperoleh dengan kerangka berpikir metodis, yaitu logis, sistematis, dan konsisten. Hasil pikir yang demikian itu kemudian disebut sebagai certified knowledge. Di samping itu, ilmu pengetahuan juga dipahami sebagai “pertanyaan intelektual untuk mencari pemahaman yang koheren tentang dunia ini dengan landasan metode observasi yang sistematis”. Umpamanya, observasi dilakukan untuk memberikan sejumlah jawaban hipotetis atas pertanyaan “mengapa sesuatu gejala (natural atau buatan manusia) itu terjadi sebagaimana adanya”.[2] Epistimologi adalah filsafat yang begitu kritis terhadap pengetahuan (dirinya) sendiri hingga tidak menerima demikian saja anggapan umum (common sensen) bahwa semua orang dapat tahu tanpa menguji secara kritis aspek-aspek dasar yang melandasi suatu pengandaian yang memadai tentang adanya pengetahuan tersebut.[3]
Threats to the taken-for-granted world adalah dorongan lain bagi orang-orang untuk memasuki wilayah ilmu pengetahuan. Organized skepticism merupakan landasan bersikap-tindak kritis bagi para peneliti untuk menemukan hasil studinya yang memenuhi kriteria kebenaran ilmiah. Upaya seseorang atau sekelompok orang baik untuk mempertanyakan kembali kebenaran yang diterima begitu saja (taken for granted), hasil kontruksi masa silam yang sudah mapan atau mendarah-daging (traditionalized) adalah bagian ancaman (threats) untuk keberadaan manusia masa depan. Tambahan lagi, ilmu pengetahuan pada prinsipnya bersifat emansipatif, dapat digunakan seseorang untuk membebaskan dirinya dari cara berpikir dan bersikap-tindak pilih-kasih (kolusi, korupsi, dan nepotisme) yang mengancam kehidupan bersama, pelayanan publik, dan keadilan sosial, seperti purba-sungka, dan sebagainya. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan adalah suatu proses untuk membebaskan penghayat atau pengamalnya dari kungkungan gejala yang tidak kundusif lagi bagi kehidupan manusia yang dinamis.

Pembahasan
Agaknya, artikel Otto adalah punca polemik. Semangat masing-masing penanggap kemudian memberikan perhatian pada pokok masalah yang relatif tidak sama. Ada penanggap yang mencoba menukik pada karakteristik subjek, dan ada yang melihat keberadaan objek. Dasarnya bahwa penulis awal berangkat dari hasrat ingin tahu tentang “mengapa wujud capaian peringkat akreditasi-C yang diperoleh Unsyiah itu terjadi sebagaimana adanya”. Apa kemungkinan faktor-faktor yang tidak memiliki korespondensi-logis antara capaian substantif dan yang formal? Apakah manajemen universitas, koordinasi antar lembaga di dalam universitas, transparansi, akuntabilitas, atau apa? Mazhab kritis dan cara-pandang provokatif telah digunakan penulis awal untuk menggerakkan anggota komunitas Unsyiah berbicara secara akademis. Namun, seberapa jauh para penanggap (ilmuan atau akademisi) tersebut dapat menjadikan properties ilmu pengetahuan (objektif: rasional, kritis, dan netral atau berpihak pada kebenaran ilmiah) itu sebagai alat kendali manusiawi sehingga implikasi provokasi mengarah pada proses dialektika menuju capaian bersama universitas yang progresif.

Penutup
Ada tiga pertanyaan Immanuel Kant:
(1)   apa yang dapat kita ketahui (what can we know). Pertanyaan ini berkait dengan pengetahuan yang dimiliki manusia dan cara memperolehnya. Deskripsi Kant itu mengandung pengertian bahwa dalam upaya memperoleh pengetahuan haruslah melalui sebuah proses yang panjang, di mana akal-budi mengolah objek yang dipelajarinya melalui sebuah “konstruksi” rasio;[4]
(2)   apa yang seharusnya kita lakukan (what should we do). Pertanyaan ini berkait dengan nilai atau norma yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari;[5]
(3)   apa yang dapat kita harapkan (what can we hope for). Pertanyaan terakhir ini sangat melekat dengan persoalan being, yang mempertanyakan tentang segala yang “ada”, baik dari sisi manusia maupun sisi teologis. Pertanyaan ketiga ini mempunyai implikasi permasalahan ontologis dan metafisis, yakni pokok persoalan tentang keberadaan sesuatu  yang nyata (existence) dan tidak nyata (consciousness). Pokok permasalahan yang nyata cenderung lebih kongkrit dan yang tidak nyata relatif lebih transenden.



· Penulis adalah Sosiolog pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Pernah menulis disertasi tentang Aktor dan Struktur Dalam Masyarakat Aceh yang Sedang Membangun (Studi Kasus Dualisme Kepemilikan Pribadi atas Tanah).
[1] Ilmu pengetahuan, boleh jadi, terdiri dari akumulasi observasi dan teori, sehingga ilmu pengetahuan adalah suatu cara menyelidiki dan juga hasil akumulasi penyelidikan tersebut.
[2] Dengan andalan definisi situasi, William Thomas juga pernah meyakinkan para pakar dengan teorinya “when men define situations as real, they are real in their consequences .  
[3] Pengetahuan sebagai bagian dari “cara berada” manusia. Lihat Watloly, Aholiab. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, 20010:103
[4] Pertanyaan tersebut lebih erat kaitannya dengan logika, filsafat ilmu, dan metodologi.
[5] Pertanyaan tersebut sangat berhubungan dengan aksiologi. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang dikaitkan dengan penilaian tentang baik-buruk dan indah-tidaknya suatu hal.

No comments: