Saturday, September 18, 2010

Restrukturisasi Komnas HAM Daerah


Restrukturisasi Perwakilan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia di Daerah

Oleh M. Saleh Sjafei [1]

A.      Dasar Pemikiran

Agaknya, masyarakat dan atau daerah Aceh pasca-bencana (kemanusiaan-konflik dan alam-tsunami) sampai sekarang ini dipandang oleh berbagai kalangan masih dalam keadaan darurat. Belum ada sinyalemen dari pengambil kebijakan (policy maker) baik nasional maupun lokal untuk memberikan suatu batasan waktu sampai kapan (tahun berapa) masa darurat itu akan berakhir secara formal. Kondisi darurat dalam masyarakat bersangkutan memperlihatkan kecenderungan anggotanya yang labil dalam berbagai dimensi, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik, dan karena itu dibutuhkan perlakuan khusus untuk berbagai hal, termasuk restrukturisasi institusi Komnas HAM di daerah bersangkutan.  

Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA, 2006) adalah hasil konsensus formal antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berdasarkan MoU Helsinky. Itu adalah juga bagian dari realisasi khusus bagi Aceh dalam konteks otonomi daerah (desentralisasi) di Indonesia. Ukuran desentralisasi dalam kaitan dengan perlindungan dan pemajuan HAM adalah restrukturisasi kantor/perwakilan Komnas HAM di daerah Aceh. Restrukturisasi ini untuk memberikan kemudahan pengelolaan dan pelayanan bagi para korban pelanggaran HAM serta pemajuannya dalam masyarakat atau daerah Aceh.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan institusi modern-rasional yang telah mendapat otoritas negara untuk memberikan perhatian dan penanganan dalam wujud penegakan, perlindungan, dan pengembangan HAM bagi masyarakat Indonesia. Lembaga ini berkedudukan di ibu-kota Negara, Jakarta. Mekanisme-kerja, indikator, dan permasalahan yang diperhatikan organisasi ini sebagian besar merupakan produk pengalaman masyarakat industri atau Negara maju. Organisasi tersebut memungkinkan diadopsi oleh masyarakat Indonesia, antara lain, karena proses reformasi yang membawa-serta akibat pada pelanggaran HAM berat rezim Orde Baru (ORBA) di berbagai daerah. Komnas HAM, oleh karena itu, memperoleh otoritas melalui Kepres No. 50 Tahun 1993 dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM,[2] dan kemudian lahir Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 Tentang  Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 

Pengalaman empirik yang dimiliki Komnas HAM (luasnya wilayah operasional Komnas HAM-RI dan berpusatnya pelayanan masyarakat di ibu-kota Negara) dan Kantor/Perwakilan di Daerah (kurangnya efisien dan efektif cara-kerja yang terpusat di ibu-kota Negara, jangkauan aksesibilitas publik) menunjukkan berbagai kendala atau hambatan dalam rangka mereka merealisasikan fungsi dan tugasnya secara efektif. Kantor/Perwakilan Komnas HAM adalah media pelayanan masyarakat Indonesia dalam rangka memberikan kemudahan akses, terutama komunitas korban pelanggaran HAM pada hukum dan keadilan (access to justice). Institusi Komnas HAM berada dalam lingkup kerja (1) Komnas HAM di Jakarta, dan (2) Kantor/Perwakilan Komnas HAM di Daerah.

UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM memberikan peluang pendirian perwakilan Komnas HAM di daerah. Pasal 76 ayat 4 berbunyi bahwa “perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah”. Pemusatan sumber-sumber daya pada Komnas HAM sebagian dapat didesentralisasikan ke daerah, dan sebagian besar pelanggaran HAM justru terjadi di daerah-daerah. Komunitas korban pelanggaran HAM perlu menemukan keadilan, memperjuangkan pemulihan HAM mereka sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dialaminya. Tulisan ini untuk mengusulkan suatu kerangka penjelasan (frame of reference) pada Diskusi Terfokus (FGD) dalam rangka menemukan alternatif solusi restrukturisasi yang baik bagi penguatan kelembagaan Kantor/Perwakilan Komnas HAM di Daerah, khususnya Aceh.

B.      Landasan Struktural  
Ada interpretasi bahwa Komnas HAM itu merupakan bagian dari badan-badan pemantauan secara universal yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional (treaty-based monitoring bodies) sesuai tema HAM yang dipilih.  Struktur Komnas HAM-RI memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan yang lebih luas dari pemantauan (penghormatan, pematuhan, perlindungan, dan pelaksanaan HAM). Fungsinya mencakup pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan penyelesaian perkara HAM yang bersifat perdata di luar pengadilan. Bahkan, dengan UU No. 26/ 2000 Komnas HAM mempunyai kewenangan yurisdiksional karena satu-satunya lembaga penyelidik proyustisia pelanggaran HAM berat menurut UU No. 26/2000. [3]

Struktur Komnas HAM di Daerah dapat dirujuk pada Pasal 76 ayat 4 yang mengatakan bahwa “perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah”. Jika kita mengikuti praktik yang dianut Komnas HAM berdasarkan Keppres No. 50/1993, Komnas HAM periode keanggotaan 2002-2007 menetapkan kehadiran institusi HAM di daerah dalam dua kategori, yaitu: (1) “Perwakilan” Komnas HAM; (2) “Kantor Perwakilan” Komnas HAM.[4]
Perihal yang berhubungan dengan keberadaan Perwakilan dan Kantor Perwakilan Komnas HAM di daerah, telah diatur oleh Komnas HAM periode keanggotaan 2002-2007 lebih lanjut dalam Peraturan Tata-Tertib Komnas HAM (tertanggal 29 April 2004, selanjutnya disebut Tatib 7). Adapun pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.[5]

1.    Perwakilan (2 Perwakilan Komnas HAM, yaitu Padang, Sumatra Barat & Pontianak, Kalimantan Barat)
a.       Pembentukan perwakilan Komnas HAM dilakukan berdasarkan usul masyarakat setempat atau apabila dianggap perlu oleh Komnas HAM;
b.      Tujuan perwakilan Komnas HAM dapat dicapai dengan ‘penyesuaian seadanya’ (mutatis mutandis) pada tataran daerah tujuan Komnas HAM menurut pasal 75 UU No. 39/1999;
c.       Fungsi perwakilan Komnas HAM adalah merealisasikan kebijakan dan sebagian fungsi Komnas HAM (dalam bidang-bidang pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi di tataran daerah yang bersangkutan) sebagai delegasi dari Komnas HAM;
d.      Keanggotaan perwakilan Komnas HAM merujuk pada jumlah menurut kebutuhan yang ditetapkan dalam Keputusan Komnas HAM tentang pembentukannya. Masa jabatan anggota adalah 3 (tiga) tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan;
e.      Tanggung jawab perwakilan Komnas HAM merujuk kepada Sidang Paripurna Komnas HAM;
f.        Anggaran perwakilan Komnas HAM dibebankan pada APBN yang dialokasikan kepada Komnas HAM;
g.       Perwakilan Komnas HAM tidak menutup kemungkinan bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2.    Kantor Perwakilan (4 Kantor Perwakilan, yaitu Banda Aceh, NAD; Ambon, Maluku; Palu, Sulawesi Tengah; dan Jayapura, Papua). Sedangkan Kantor Perwakilan yang sejak tahun 2006 direncanakan pembukaannya adalah Kantor Perwakilan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pekanbaru (Riau)
a.       Pembentukan Kantor Perwakilan Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM, dan untuk jangka waktu tertentu;
b.      Tugas Kantor Perwakilan Komnas HAM adalah melaksanakan tugas tertentu di daerah yang bersangkutan (sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Komnas HAM tentang pembentukannya) untuk jangka waktu tertentu;
c.       Pimpinan dan staf Kantor Perwakilan Komnas HAM dipimpin oleh “Kepala” Kantor Perwakilan Komnas HAM, dan Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM dibantu oleh staf menurut kebutuhan;
d.      Tanggung jawab Kantor Perwakilan Komnas HAM ditujukan kepada Pimpinan Komnas HAM;
e.      Anggaran Kantor Perwakilan Komnas HAM dibebankan pada anggaran Komnas HAM.

   
C.      Kerangka Penjelasan
Komnas HAM dapat dipahami sebagai salah satu ragam teknologi sosial, yakni cara penyelesaian dan pemenuhan masalah-masalah kemasyarakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, Komnas HAM adalah konsep baru mengenai institusi penyaluran kebutuhan hukum bagi masyarakat.[6] Ia dapat dipahami sebagai teknologi sosial dalam upaya kita memberdayakan masyarakat tertentu, terutama mereka yang rentan terhadap perlakuan ketidak-adilan baik oleh Negara maupun warga Negara dengan sesamanya. Secara sosiologis anggota masyarakat kita masih memerlukan pencerahan dan penyuluhan mengenai HAM.[7] Timbul dan berkembangnya teknologi serta pengaruhnya pada kehidupan sosial dan ekonomis membawa-serta gagasan (ideas) untuk menggambarkan proses realisasi Komnas HAM sebagai suatu bentuk rekayasa sosial dan kemanusiaan (social engineering by law). Institusi Komnas HAM sedapat-mungkin diupayakan untuk menjadi instrumen pembentuk budaya HAM yang berukuran universal dalam masyarakat Indonesia.
Urgensi restrukturisasi Komnas HAM dalam wujud dukungan pembukaan Perwakilan Komnas HAM di Aceh lebih mungkin dikaitkan dengan kebutuhan mendesak pada rekayasa sosial. Dengan adanya peningkatan status Komnas HAM di Aceh dari Kantor Perwakilan Komnas HAM menjadi Perwakilan Komnas HAM akan memungkinkan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRD-Aceh) saling membantu dengan Komnas HAM dalam bidang program dan anggaran. Restrukturisasi yang demikian itu diperlukan untuk mempercepat pemahaman, penghayatan, dan pengalaman warga masyarakat Aceh pada ukuran dan cara-pandang HAM yang universal.[8]
Kerangka penjelasan (frame of reference) ‘Perwakilan Komnas HAM’ sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat Aceh dapat dikaitkan dengan konsep Roscou Pound tentang “kepentingan”, yakni inti dari aliran hukum sosiologis. Kepentingan dipahami sebagai suatu keinginan atau permintaan yang hendak dipenuhi manusia, baik secara pribadi, hubungan antar pribadi, maupun kelompok (komunitas Aceh). Restrukturisasi Komnas HAM untuk keperluan masyarakat Aceh, agaknya, sudah menjadi kepentingan sosial (social needs, social interest, dan social adjustment).[9] Kepentingan sosial di sini merujuk pada kebutuhan kemasyarakatan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik). Dalam kepentingan sosial tercakup antara lain kepentingan atas keamanan umum, kehidupan pribadi, perlindungan moral, konservasi sumberdaya sosial dan alam, serta kepentingan perkembangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Lebih jauh lagi, bahwa Perwakilan Komnas HAM di Aceh dapat diasumsikan sebagai ‘jembatan’ untuk membawa-serta masyarakat pada keadilan, baik yang bersifat hukum maupun bercirikan administif. Pertama, keadilan yang bersifat hukum. Macam keadilan ini didasarkan pada pengelolaan administrasi HAM yang otoritatif, dilandasi norma-norma yang terpola –atau panduan, yang dikembangkan dan diaplikasi melalui suatu teknik (pengelolaan dan pembelajaran HAM) yang otoritatif, di mana para warga Negara mengetahui adanya kontroversi (pelanggaran HAM) sebelumnya, dan karena itu semua orang layak menerima perlakuan yang sama. Artinya, ada administrasi peradilan (administration of justice) tertentu yang impersonal dan sejajar, sehingga dengan demikian dapat dijamin oleh sarana aturan-aturan (precepts) yang berlaku umum. Institusi (Perwakilan) Komnas HAM dalam hubungan ini dipahami sebagai tata-hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).
Kedua, keadilan yang bercirikan administratif. Ragam keadilan ini memungkinkan diwujudkan sesuai dengan keinginan atau intuisi seseorang (pemimpin kharismatik yang adil) yang di dalam pengambilan keputusan mempunyai ruang-lingkup kebebasan pengambilan keputusan (diskresi) yang luas serta tidak ada keterikatan pada perangkat aturan umum tertentu.[10] Masalah yang akan sering dihadapi masyarakat dalam konteks pekerjaan Perwakilan Komnas HAM di Aceh adalah harmonisasi unsur-unsur judisial dengan administrasi dan keadilan.[11] Keberadaan Perwakilan Komnas HAM di Aceh, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai institusi, wahana kumpulan dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan administratif (termasuk harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan dari para individu ataupun kelompok-kelompok yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka) yang berkaitan dengan pekerjaan Komnas HAM.  

D.      Simpulan
Simpulan ini bersifat konseptual dan hipotetis, tidak didasarkan pada data empirik yang memadai dan relevan. Bahwa Kantor/Perwakilan Komnas HAM di Daerah merupakan bagian dari struktur pekerjaan Komnas HAM RI yang berpusat di ibukota Negara, Jakarta. Restrukturisasi dalam artian pembaruan kelembagaan Komnas HAM di Daerah, dari Kantor Perwakilan Komnas HAM menjadi Perwakilan Komnas HAM di Daerah atau sebaliknya, itu sangat ditentukan oleh kondisi dan kestabilan masyarakat di daerah bersangkutan. Dimensi kestabilan itu dapat diukur, antara lain, pada kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam konstalasi integrasi nasional. Kebutuhan restrukturisasi Komnas HAM RI itu dilandasi oleh semangat rasionalitas dan sivilisasi. Oleh karena itu, semakin stabil suatu daerah (Kantor/Perwakilan Komnas HAM) semakin mungkin persiapan untuk restrukturisasi diselenggarakan. Restrukturisasi dilakukan terhadap satu atau lebih Kantor/Perwakilan Komnas HAM yang sudah ada, sebagai bagian dari penyusunan atau penataan kembali organisasi atau institusi Komnas HAM yang ada.


[1] Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala; manajer Aceh Justice Resource Centre (AJRC) kerjasama Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Syariah IAIN AR-Raniry dengan European Commision (EC) dan United Nations Development Programme (UNDP), Darussalam-Banda Aceh. Paper ini disajikan sebagai pengantar Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) tentang Restrukturisasi Perwakilan Komnas HAM di Daerah, 25 Agustus 2008, di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh.
[2] Lihat dasar hukum Internasional (Piagam PBB 1945, DUHAM 1948) dan nasional (UUD 1945, terutama alinea pertama pembukaan, pasal-pasal 27, 28, 29 ayat 2, 30 ayat 1, dan 31 ayat 1. Lihat juga Eny Soeprapto, “Menuju Terbentuknya Undang-Undang Tersendiri Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia –Sebuah Pemikiran”, Modul Diskusi pada Seminar tanggal 15 Juni 2008, halaman 10.
[3] Misalnya, Komite tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial” untuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965; “Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya” (dibentuk oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB) untuk HHESB, 1966; Komite HAM untuk KIHSP, 1966; dan Komite-Komite  lain yang bersifat unibversal. Lihat Eny Soeprapto, “Menuju Terbentuknya Undang-Undang Tersendiri Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia –Sebuah Pemikiran”, Modul Diskusi pada Seminar tanggal 15 Juni 2008, halaman 36.
[4] Landasan struktural dalam konteks penulisan ini tidak mencakup pengertian operasional organisasi bersangkutan seperti bentuk institusi, jumlah anggota, dan pembagian kerja personil berdasarkan besar-kecilnya divisi yang dirancang baik pada level nasional maupun daerah.
[5] Lihat Eny Soeprapto, “Menuju Terbentuknya Undang-Undang Tersendiri Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia –Sebuah Pemikiran”, Modul Diskusi pada Seminar tanggal 15 Juni 2008, halaman 71.
[6] Hukum (as a tool of social engineering) dalam konteks ini masih dipahami secara positivistik, yakni sumber dari hak-hak, tugas-tugas, dan kuasa-kuasa yang harus direalisasikan (Law as a source of rights, duties, and powers, as in the sentence ‘the law forbids the murdering heir to inherit’, Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence 220-21, 1990, lihat Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8-ed, Thomson, West, 2004:900).
[7] HAM yang dikembangkan dan dijadikan ukuran oleh Komnas HAM kita, boleh jadi, merujuk pada indikator yang universal yang  dihayati dan diamalkan masyarakat modern-industrial. Kita cenderung mengadopsi teknologi sosial itu sebagian besar untuk keperluan ekternal, dalam wujud mengukur dan menghakimi pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat terdahulu yang terorganisasi (secara politik) di mana mereka hidup dan dibesarkan dengan sistem pendidikan atau dontrin yang fatalistik. Belum dapat dikatakan bahwa pelanggaran HAM (secara sosial, budaya, dan ekonomi) di tingkat warga Negara dengan sesamanya tidak terjadi secara nyata dalam masyarakat kita.
[8] Salah satu substansi pendidikan HAM yang penting dan krusial bagi masyarakat Aceh ke depan adalah pembentukan sistem nilai-budaya yang inklusif dan akomodatif pada perbedaan identitas baik secara individual maupun komunal sehingga debat mengenai HAM Barat dan Timur menjadi negasi. Itu antara lain untuk memungkinkan persiapan para individu berhadapan pelbagai budaya lain yang dihayati dan amalkan oleh warga Negara sendiri dan luar dengan andalan kemandirian. Prinsip untuk menjunjung tinggi perbedaan baik dalam hubungan personal dan kolegial, individual dan kelompok, terutama secara sosial dan budaya di daerah itu tidak mudah karena cara-berpikir dan cara-bertindak yang berlaku dalam masyarakat Aceh masih dilandasi sistem nilai-budaya homogen. Oleh karena itu, diperlukan kerja-keras dan kemauan-baik baik dari penguasa maupun kalangan menengah terdidik untuk menjadi pelopor HAM universal yang istiqamah.
[9] Suatu sarana rekayasa sosial yang baik dirancang berdasarkan wawasan ideal-realistik, suatu kombinasi dari paham idealisme dan paham prgamatisme. Dalam konteks ini, struktur Perwakilan Komnas HAM di Aceh harus dirancang berdasarkan unsur-unsur realitas sosial tempatan berupa kebutuhan sosial, kepentingan sosial, dan penyesuaian sosial yang pragmatis, serta ditopang oleh elemen ideal yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan berupa nilai-nilai spiritual.
[10] Lihat Roscoe Pound, Jurisprudence, St. Paul Minn, West Publishing, 1959:347. Bagi Rescoe Pound hukum adalah “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum serta hukum di sini adalah sarana utamanya (lihat http://adienur.wordpress.com/ 2008/04/14/beberapa-definisi-hukum/, didownload tanggal 23 Agustus 2008).
[11] Untuk sampai pada harmonisasi unsur-unsur judisial dengan administrasi dan keadilan itu membutuhkan wawasan pengetahuan (knowledgeability) dan kemampuan (capacity) para warga Negara (terutama pengambil keputusan) dalam menangkap, memahami, dan memberikan penjelasan pada masyarakatnya.

No comments: