Friday, September 17, 2010

Sejarah Aceh (diperoleh dari Togu Pardede, Mahasiswa Ph.D. di Jepang) I


BAB I
BANDAR ACEH DARUSSALAM PADA MASA
KESULTANAN ACEH DARUSSALAM

I.1. Ureueng Acèh bak Acèh Lhèe Sagoe
Istilah Acèh sampai sekarang bisa jadi masih menjadi perdebatan, berkaitan dengan arti atau makna dari acèh itu sendiri. Dari kajian toponim dari teks-teks sejarah, istilah acèh baru dikenal dalam Suma Oriental dari catatan Tome Pires pada tahun 1520 dalam bentuk pengejaan Achei atau r­egno dachei. Beberapa tahun kemudian penyebutan acèh dalam naskah-naskah Eropa kemudian berkembang menjadi achem, achin, atchin atau akhin. Pada peta dunia yang dibuat oleh Desellier (1553) atas permintaan Raja Henry II digambarkan daerah di ujung pulau sumatera ditandai dengan nama “Acha”.
Pada literatur Cina Tong-hsi-yang-kao yang dibuat pada tahun 1618; serta peta laut Shun-feng-hsiang-song yang berasal dari awal abad XVII yang menyebutkan A-ts’i. Penulisan kata acèh juga berkembang menjadi: atjèh, atjéh, atjeh atau aceh. Namun diperkirakan, istilah acèh sudah disebutkan jauh lebih lama dari naskah-naskah di atas. Menurut Dennys Lombard, seperti lazimnya toponim di Asia Tenggara mempunyai etimologi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka (diperkirakan) nama acèh berasal dari nama tumbuh-tumbuhan; walau kepastian mengenai hal itu masih diperdebatkan. Marsden juga menyatakan dalam MarsHistSum bahwa: “menurut orang Melayu namanya diambil dari sejenis pohon yang dinamakan Achi yang khas tumbuh di situ”.
Text Box:  
Jeu’ee –alat penampi beras-
perumpamaan bentuk dari
The Triangle Land of AcehAcèh Lhèe Sagoe atau The Triangle Land of Aceh adalah tanah yang berbentuk segi tiga yang berada di ujung utara pulau Perca atau Sumatera diperkirakan sudah didiami manusia pada Zaman Batu Tengah atau Mesolitik. Bukti hunian ini bisa terlihat dengan adanya temuan bukit-bukit kerang yang dikenal sebagai bukit kelembai, yang banyak ditemukan di sepanjang pantai timur Acèh Lhèe Sagoe yaitu dari utara Lhok Seumawe sampai ke Tamiang (Alur Itam, Seruwai), bahkan sampai ke Langkat (Sukajadi), Deli-Serdang (Bulu Cina) dan Asahan di pantai timur Sumatera Utara. Bukit kerang yang diperkirakan merupakan akumulasi dari sampah dapur ini menunjukkan bahwa sumber daya laut menjadi bahan pokok makanan. Bentukan fisik dari Acèh Lhèe Sagoe atau The Triangle Land of Aceh sering disimbolkan dengan jeu’ee atau alat penampi beras. Bagian ujung jeu’ee yang menyempit digambarkan seperti mulut tampah tempat terkumpulnya kotoran beras hasil menampi yang ditepis keluar. Ujung jeu’ee atau alat penampi beras ini menunjuk pada muara sungai yang yang ada di ujung Acèh Lhèe Sagoe atau The Triangle Land of Aceh. Sungai yang bermuara di ujung jeu’ee ini kemudian dikenal sebagai Krueng Aceh.
Populasi awal yang mendiami Acèh Lhèe Sagoe tergolong dalam ras Australomelanesid yang merupakan populasi umum di tempat lain di Asia Tenggara. Sekitar masa Neolitik mulai terjadi pergantian populasi dengan sub-ras Malayo-Indonesid yang tergolong ke dalam Monggolid Selatan. Sub-ras ini bertutur dalam rumpun bahasa Malayo-Polinesia golongan Barat. Temuan tengkorak manusia telrihat berbentuk lonjong dan diberi hematit, menunjukkan ciri Australomelanesid yang berbada agak pendek. Alat batu yang khas adalah sumatralit atau kapak genggam yang dibuat dari batu sungai dengan olahan pada satu sisi; selain juga ada alat berupa alu dan lesung, serta batu giling. Temuan alat batu ini menunjukkan bahwa hasil buruan dan hasil hutan menjadi bahan makanan yang lain selain makanan dari sumber daya laut.
Ureueng Acèh atau orang Aceh merupakan sebuah komunitas besar yang multikultural; di mana paling sedikit ada delapan suku-bangsa atau ethnic-group sebagai kelompok asal di Aceh. Suku-bangsa atau ethnic-group ini sering diartikan sebagai kesatuan-kesatuan manusia atau kolektifa yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan. Suku-bangsa atau ethnic-group yang ada di Aceh ini adalah: Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil dan Simeulue. Dari suku-bangsa atau ethnic-group ini kemudian memunculkan bahasa sebagai media penting dalam membangungan kebudayaan suku-bangsa.
Ureueng Acèh juga yang banyak merupakan keturunan bangsa asing di tanah Aceh, seperti bangsa Arab dan India yang dikenal erat hubungannya pasca penyebaran Agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut di Negeri Yaman, dibuktikan dengan marga: Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain-lain. Nama-nama tersebut merupakan marga bangsa Arab asal Yaman yang dulunya datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh dan menghilangkan nama marganya.
Keturunan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil; terlihat dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan –seperti: kari- dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh. Pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Pelaut Tiongkok menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Banyak juga keturunan bangsa Persia, seperti: Iran, Afghanistan dan Turki, di mana mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia; di mana kata banda atau bandar mempunyai arti: pelabuhan.
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya - Lamno yang berada di pesisir barat Aceh. Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan Nakhoda Kapten Pinto yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia) dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lamno. Sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lamno di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lamno, pimpinan Raja Mereuhoem Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.
Bahasa ureueng Acèh atau orang Aceh termasuk dalam keluarga bahasa Hesperonesia. Pada masa itu, bahasa Aceh mungkin sudah bersuku satu atau monosibalik dan banyak mempunyai diftong. Bahasa Aceh diperkirakan mempunyai keterkaitan dengan bahasa Campa dan juga bahasa Cina. Perkembangan selanjutnya setelah era perdagangan terbuka, terjadi kontak-bahasa dengan bahasa-bahasa India (seperti: Tamil, Hindi, Sansekerta), Sri Lanka (Singgala), Parsi, Arab, Turki, Portugis, Inggris dan Belanda. Pengaruh Negrid terjadi melalui budak-budak Afrika yang dibeli di Arab. Diperkirakan ada 10 bahasa lokal yang ada Aceh, yaitu: bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Kluet, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Singkil, bahasa Simeulue, bahasa Sigulai dan bahasa Haloban. Diperkirakan ada beberapa dialek yang ada di Aceh di antaranya adalah: dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh. Penggunaan bahasa Melayu, yang sering disebut juga sebagai bahasa jawi, sudah dikenal sejak lama; terutama dalam penulisan kitab-kitayang berisi pengetahuan agama, pendidikan dan kesusastraan. Bahasa Aceh, pada masa sekarang ini, berkembang menjadi 4 macam bahasa yaitu: (1) Bahasa Gayo – Alas, yang diucapkan oleh masyarakat Gayo dan Alas di Aceh Tengah dan Gayo Lues; (2) Bahasa Aneuk Jamee, merupakan bahasa masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Barat, Simeuleu, Aceh Jaya, Nagan Raya, Singkil, Aceh Barat Daya, Aceh Tenggara dan diigunakan oleh 20% masyarakat Aceh; (3) Bahasa Tamiang, tersebar di perbatasan antara Kota Langsa dan Provinsi Sumatera Utara digunakan oleh Penduduk Aceh Tamiang dan dipengaruhi oleh bahasa Melayu dari Provinsi Sumatera utara. Bahasa Tamiang diperkiran digunakan oleh 10% masyarakat Aceh; (4) Bahasa Aceh, digunakan oleh masyarakat Kota Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Langsa, Aceh Timur dan sebagian masyarakat Aceh Barat.
Transportasi dari jaman dahulu diperkirakan berupa rakit, jalur, perahu yang beratap dan berdinding, serta sampan-sampan yang tidak bercadik. Rakit diperkirakan ada yang stasioner dan ada juga yang bergerak untuk menyeberang atau hilir mudik di sepanjang sungai. Transportasi darat pada masa itu diperkirakan sudah menggunakan gerobag yang ditarik oleh lembu atau kerbau. Bukit Barisan menjadi rintangan yang berat dalam penyebaran dan pergerakan penduduk; tetapi diperkirakan dari ujung  Acèh Lhèe Sagoe sampai kaki Bukit Barisan pernah didiami dan diperkirakan sudah terjadi pada masa Neolitik. Penghunian ke arah pantai timur Sumatera Utara dan pantai barat Semenanjung Melayu menunjukkan bahwa selat Malaka bagi manusia Aceh pada masa itu untuk melakukan migrasi. Adanya Bukit Barisan ternyata merupakan hambatan untuk terjadinya intermigrasi dengan pantai barat Aceh. Eksploitasi ekoton, berupa pantai yang menjadi landai, adanya bangka atau mangrove dan muara menjadi indikator penggunaan jalur atau sampan di lepas pantai dan di sungai-sungai lebar.
Seni rupa Aceh mencakup seni pahat, ukir dan seni rias. Seni rupa ini diekspresikan dalam motif-motif ukiran yang muncul pada rumah adat atau rumoh aceh, bordir, kasab, kopiah, baju dan barang-barang perhiasan. Hasil karya seni pahat terlihat pada relief, motif hiasan dan kaligrafi pada batu nisan para bangsawan, pahlawan dan tokoh adat. Sisa-sisa peninggalan seni ukir tampak pada kisi, pintu, serta benda-benda logam seperti pada perisai, jimat dan cuping. Secara umum seni ukir di Aceh pada sekarang ini mengalami kemunduran. Motif kaligrafi khas Aceh bisa dilihat pada peninggalan epigrafi atau tulisan pada nisan pada makam kuno di Aceh. Makam kuno yang ditandai dengan batu nisan berukir kaligrafi dan ornamen ini sering disebut: batu aceh. Salah satu karya batu aceh yang ada di kota Banda Aceh antara lain terdapat di Makam Dua Belas pada Kampung Pango; di mana di lokasi ini merupakan tempat Sultan Johansyah dimakamkan. Kompleks makam kuno yang menyimpan potensi batu aceh antara lain ada di kompleks makam Malik al Saleh, makam Ratu Nahrisyah di kampung Meunasah Minyeuk Tujoh dan makam Sultan Malik al Zahir di kampung Meunasah Beringin, Gedong di Lhok Seumawe; juga terdapat di makam Sultan Muzaffar di Biloi dan makam Naina Hisamuddin bin Naina Amin di kompleks Tengku di Iboih. Batu nisan kuno yang kaya dengan kaligrafi juga banyak ditemukan di kampung Pante Keutapang di Lham No, Aceh Jaya

I.2. Pondasi Awal Kota Bandar Aceh Darussalam
Berdasarkan manuskrip yang ada di Universiti Kebangsaan Malaysia, sejarah berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam bermula dari kedatangan kabilah Baghdad berjumlah 500 orang pada 510 H (1116 M) di bawah pimpinan Makhudum Abi Abdullah Syaikh Abdurrauf al-Mulaqqab Tuan di Kandang Syaikh Bandar Darussalam. Kedatangan kabilah Baghdad ini membawa dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Kampung Pande di Aceh. Putra dari Makhudum Abi Abdullah Syaikh Abdurrauf al-Mulaqqab ini adalah Sultan Johansyah yang kemudian menjadi sultan atau penguasa di Kampung Pande. Kampung Pande menurut manuskrip ini diperkirakan adalah Kampung Pande sekarang; bersebelahan dengan Kampung Jawa dan berada di wilayah administratif Kecamatan Kutaraja pada sisi barat Krueng Aceh saat ini.
Dokumen sejarah yang ada menyebutkan bahwa sebutan Banda  Aceh berawal dari wilayah yang dikenal dengan sebutan: Bandar Aceh Darussalam; yang mempunyai arti sebagai bandar dari Aceh Darussalam. Pemahaman bandar di sini adalah suatu tempat yang berada di pinggir laut yang berfungsi sebagai arena transaksi dagang atau pelabuhan dagang. Istilah darussalam atau dar ‘el salaam sendiri memberikan gambaran sebagai suatu tempat, kota atau negeri yang mendapatkan keselamatan atau kesejahteraan dari Tuhan. Bandar Aceh Darussalam sendiri dibangun pada tanggal 1 Ramadhan 601 H, hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 22 April 1205 M oleh Sultan Alaidin Johan Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sejak tahun tahun 601 H hingga 631 H (1205-1234 M). Dengan kata lain, bandar aceh darussalam atau Banda Aceh dibangun menjadi sebuah kota perdagangan di tepian laut; di mana aturan main yang ada dalam pengelolaan kota (baca: bandar) berdasar atas kebijakan pemerintahan yang berlandaskan aturan agama.
Awal kejayaan Sultan Alaidin Johan Syah dan Kesultanan Aceh Darussalam tidak bisa dilepaskan dengan tiga kerajaan besar yang ada di Aceh sebelumnya, yaitu: Indrapurwa, Indrapatra dan Indrapuri. Ketiga kerajaan “Indra” ini adalah kerajaan yang menganut agama Hindu dan Buddha. Jejak arkeologi dari peninggalan ketiga kerajaan tersebut adalah dengan penemuan patung kepala Lokeshvara di daerah Kutaraja. Penemuan jejak arkeologi ini sedikit banyak memberikan gambaran adanya komunitas Buddha di Aceh. Diperkirakan tiga artefak “Indra” ini yang menjadi bentukan dasar dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Text Box:  

Peta Groot-Atjeh dan lokasi ketiga kerajaan
Indra yang membentuk Acèh Lhèe Sagoe:
(1) Indrapurwa, (2) Indrapatra, (3) IndrapuriMenurut analisa Snouck Hurgronje dalam de Atjèhers (1893), simbolisasi bentuk fisik dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam adalah jeu’ee atau alat penampi beras yang melambangkan bentuk Tanoh Acèh Lhee Sagoe atau The Triangle Land of Aceh. Diperkirakan luasan dari ketiga artefak “Indra” yang menjadi batas wilayah Tanoh Acèh Lhee Sagoe yang berbentuk jeu’ee tersebut berada di wilayah Aceh Rayeuk dan sekitarnya. Ketiga Kerajaan Indra ini membentuk segi tiga dalam kawasan Aceh Besar atau Groot Atjèh dengan Banda(r) Aceh sebagai pelabuhan kerajaan; sedang wilayah lain seperti Pidie, Pasai, Perlak Deli, Serdang, Pariaman dan beberapa daerah di Semenanjung Malaya merupakan negara-negara bagian yang bernaung dalam sebuah federasi Kesultanan Aceh Darussalam, yang disebut oleh Snouck sebagai Atjèh en Onderhoorigheden atau: Aceh dan negeri taklukannya.
Diperkirakan penaklukan tiga kerajaan “Indra” ini oleh Sultan Alaidin Johan Syah berawal dari pengusiran pasukan Cina yang menduduki Kerajaan Indra Purwa yang beribukota Bandar Lamuri; di mana kota Bandar Lamuri berada di Pelabuhan Malahayati pada Krueng Raya sekarang ini. Penaklukan Kerajaan Indrapurwa ini kemudian berlanjut dengan penaklukan kerajaan “Indra” yang lain, yaitu: Indrapatra dan Indrapuri. Setelah penaklukan ini, ketiga benteng dari kerajaan tiga “Indra” ini berubah menjadi masjid dan kota Banda(r) Aceh Darussalam dibangun sebagai port of state atau (kota) pelabuhan kesultanan. Bentukan kota Bandar Aceh Darussalam ini bisa terlihat dalam peta kuno yang dibuat oleh bangsa Portugis pada abad ke-15 dan 16; serta peta kuno buatan bangsa Belanda pada abad ke-17 dan 18.
Istana Sultan Alaidin Johan Syah sendiri dibangun di tepi Sungai  Kuala Naga di Kampung Pande. Istana sultan tersebut dikenal dengan sebutan: Kandang Aceh. Sungai  Kuala Naga ini kemudian berubah nama menjadi Krueng Aceh; yang mempunyai arti: sungai Aceh. Pada masa pemerintahan cucunya, yaitu Sultan Alaidin Mahmud Syah yang memerintah pada tahun 665-708 H (1267-1309 M), istana Kesultanan Aceh Darussalam dipindahkan dan dibangun di seberang Krueng Aceh dengan nama: Kuta Dalam Darud Dunia. Istana yang baru ini berada kira-kira pada kawasan Meligou Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang ini. Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah pula Mesjid Jamik Baiturrahman atau Mesjid Raya Baiturrahman dibangun tahun 691 H (1293 M). Mesjid Jamik Baiturrahman ini berfungsi sebagai pusat ibadah, pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi Kesultanan Aceh Darussalam.
Menurut manuskrip Kitab Tazkirat al-Tahaqat Qanun Syara’ Kerajaan Aceh susunan Syaikh Syamsulbahri yang disalin oleh oleh Teungku di Mulik Sayyid Abdullah al-Jamalullail atas titah Tuanku Ibrahim al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Mansyur Syah pada tahun 1272 H, disebutkan bahwa telah berdiri Kerajaan Aceh Bandar Darussalam pada 12 Rabiul Awwal 913 H, dan Pohon Kerajaan diistiharkan oleh Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Johan ‘Ali Ibrahim Mughayat Syah; di mana Pohon Kerajaan merupakan aturan dasar atau kebijakan dari kerajaan untuk pengelolaan kepemerintahan. Pembukaan dari Pohon Kerajaan menyebutkan:
Bahwasanya kita semua negeri bernama Aceh, ...yakni satu negeri, satu bangsa dan satu kerajaan, dan satu ‘alam [bendera] dan satu ajaran yakni Islam degan mengikut syariat Nabi Muhammad SAW atas jalan ahlussunnah wal jamaah r.a. dengan mengambil hukum dari pada Al Qur’an dan Hadis Nabi dan Qias dan Ijma’ ‘alim ulama ahlussunnah wal jamaah r.a. dengan hukum dengan adat dengan reusam dengan qanun yaitu syara’ Allah syara’ Rasulullah dan syara’ kami bernaung di bawah panji-panji syariat Nabi Muhammad SAW dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa.
Pohon Kerajaan yang terdiri atas 21 pasal ini berisikan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh rakyat Kerajaan Aceh Bandar Darussalam. Dari Pohon Kerajaan ini bisa terlihat beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kota Bandar Aceh Darussalam, yaitu telah ada aturan mengenai tata aturan bangunan atau building-code yang berbunyi:
Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau mesjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tihang di atas puting di bawah bara hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit [Pohon Kerajaan, Pasal 2].
Pengelolaan fasilitas publik -seperti masjid, balai warga dan meunasah- di kota Bandar Aceh Darussalam diatur Pohon Kerajaan dengan uraian sebagai berikut:
Sekalian zakat dan fitrah di dalam negeri Aceh tidak boleh pindah dan tidak diambil buat bagian mesjid-mesjid dan balai-balai dan meunasah-meunasah maka zakat dan fitrah itu hendaklah dibagi lapan bahagian ada yang mustahak menerimanya masing-masing daerah pada tiap-tiap kampung maka janganlah sekali-kali tuan-tuan zalim merampas zakat dan fitrah hak milik yang mustahak dibagi lapan [Pohon Kerajaan, pasal 12].
Visi kota Bandar Aceh Darussalam sebagai kota-bandar yang terbuka bagi pedagang dari luar Kesultanan Aceh Bandar Darussalam bisa terlihat dari kebijakan yang berbunyi:
Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli dalam negeri dan luar negeri dengan bangsa asing. [Pohon Kerajaan, pasal 6]
Pengelolaan sumber daya alam berupa budidaya tanaman dan ternak sebagai bagian dari penguatan sektor perekonomian Kesultanan Bandar Aceh Darussalam di atur dalam:
Diwajibkan atas sekalian rakyat Aceh yaitu bertani utama lada dan barang sebagainya [Pohon Kerajaan, pasal 3]
Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh memelihara ternak seperti kerbau dan sapi dan kambing dan itik dan ayam tiap-tiap hal yang halal dalam agama Islam ada memberi manfaat pada umat manusia diambil ubat [Pohon Kerajaan, pasal 16]
Sektor industri juga dikembangkan untuk menjadi landasan perekonomian rakyat kota Bandar Aceh Darussalam yang diatur dalam:
Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh mengajar dan belajar pandai mas dan pandai besi tembaga beserta ukiran bunga-bungaan. [Pohon Kerajaan, pasal 4]
Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang perempuan yaitu mengajar dan belajar membikin teupeuen [alat tenun] bikin kain sutera dan kain benang dan jahit menjahit dan menyulam dan melukis bunga-bunga pada kain dan barang sebagainya. [Pohon Kerajaan, pasal 5]
Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar mengukir kayu-kayu dan mengukir batu-batu dengan tulisan dan bunga-bungaan dan mencetak batu-batu dengan berapa banyak pasir dan tanah liat dan kapur dan air kulit dan tanah bata yang ditumbuk serta batu-batu karang dihancur semuanya diayak itulah adanya. [Pohon Kerajaan, pasal 14]
Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar indang mas di mana-mana tempatnya dalam negeri Aceh. [Pohon Kerajaan, pasal 15]
Dengan dimaklumatkannya Pohon Kerajaan oleh Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Johan ‘Ali Ibrahim Mughayat Syah ini memberikan gambaran bahwa Kesultanan Aceh Darussalam mempunyai visi dan konsep pembangunan kota Bandar Aceh Darussalam yang cukup jelas. Kebijakan negara dalam bentuk Pohon Kerajaan ini juga menunjukkan bahwa sistem kelembagaan kepemerintahan sudah diatur untuk bisa mengelola sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan juga sumber daya manusia untuk menjadikan kota Bandar Aceh Darussalam sebagai kota perdagangan internasional.

1.3. Masa Kejayaan Kota Bandar Aceh Darussalam
Kebijakan yang tertuang dalam Pohon Kerajaan yang diistiharkan oleh Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Johan ‘Ali Ibrahim Mughayat Syah menjadikan kota Bandar Aceh Darussalam tumbuh dan berkembang menjadi jalur lalu-lintas perniagaan dengan dunia luar dengan Krueng Aceh sebagai urat nadi kota. Gambaran tersebut bisa dilihat dari pernyataan Laksamana Beaulieu pada tahun 1621 yang secara tegas mengatakan:
...sungai itu berfungsi sebagai jalur utama untuk memasuki kota, walaupun muaranya sedikit agak dangkal dan medannya sulit. Muaranya berawa-rawa, sedangkan ibukota terletak pada suatu dataran rendah dengan tanah subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan.
Sejak dulu kontak perniagaan dengan pedagang asing telah dilakukan di wilayah ini, terbukti dengan berbagai kapal keluar masuk ke jurusan Birma, Benggala atau Srilangka, Kalikut, Malaka, Pegu, Arab di sungai ini. Komoditi yang diperdagangkan pada saat itu berupa bahan makanan, beras dan rempah-rempah.
Posisi Aceh yang berada di persilangan jalur niaga menjadi sangat vital, yaitu menjadi tempat persinggahan dan tempat tukar menukar atau transaksi barang dagangan. Setelah Terusan Suez dibuka, peran kota Bandar Aceh Darussalam menjadi sangat penting karena menjadi pintu masuk ke daerah-daerah penghasil pala, lada, kopi dan teh. Dibukanya Terusan Suez membuat pedagang-pedagang dari Eropa lebih mudah dan lebih cepat untuk menjangkau daerah-daerah produksi hasil bumi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kejayaan kota Bandar Aceh Darussalam sebagai kota dagang juga diikuti menjadi kota yang berbasis pertahanan yang kuat.
Text Box:  

Bandar Aceh Darussalam dalam Atjehkaart 1568Kota Bandar Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1600-an digambarkan sebagai suatu kota yang berada di tepi Krueng Aceh dengan keraton yang dikelilingi benteng dengan beberapa sungai kecil melintas di dalam keraton. Struktur ruang dari keraton melihat pada harmoni antara darat dengan air (baca: sungai). Konsep dari ruang dalam keraton ini didasarkan atas konsep kota firdausi berupa taman bustanus salatin atau “kebun raja-raja” dengan sungai yang mengalir di dalamnya. Dalam beberapa manuskrip lama, kota Bandar Aceh Darussalam digambarkan dalam suasana yang alami dengan kesibukan perahu nelayan di sungai dan kapal-kapal di dermaga pelabuhan. Digambarkan pula pemandangan upacara kerajaan yang megah dan berwibawa dengan didominasi barisan gajah dalam jumlah besar, serta pohon-pohon atau kebun kelapa yang sangat luas.
Text Box:  

Peta Keraton yang dibuat pada 
tahun 1645. Laut berada di sisi
bawah; pulau yang ada di sisi
bawah adalah Pulau Gajah yang
merupakan basis pertahanan
Kesultanan Aceh Darussalam.Perahu dan gajah tergambar secara dominan dalam sebuah peta kuno yang dibuat oleh seorang berkebangsaan Belanda pada tahun 1645. Dalam peta tersebut tergambar Krueng Aceh dengan perahu-perahu yang cukup banyak. Pada Krueng Aceh tersebut terlihat ada beberapa pula kecil, salah satunya adalah Pulau Gajah. Di pulau ini tergambarkan banyak gajah di dalamnya. Peranan gajah pada konteks itu adalah sebagai bagian dari pertahanan; di mana gajah-gajah milik Kesultanan Aceh Darussalam dilatih untuk menjadi kendaraan dan alat. Salah satu naskah yang ada menyebutkan bahwa gajah-gajah tersebut dibiasakan untuk tenang dalam kondisi ramai dan penuh suara ledakan. Diperkirakan Pulau Gajah ini menjadi salah basis pertahanan dari kraton atau dalam dari serbuan musuh yang masuk melalui muara Krueng Aceh. Saat ini Pulau Gajah pada Krueng Aceh tersebut sudah lenyap tanpa bekas dan diperkirakan pulau ini terletak di antara lokasi Hotel Medan sampai kantor Kodam Iskandar Muda sekarang. Pada masa itu tidak bisa dipungkiri bahwa sungai adalah jalur transportasi yang penting dan vital untuk menghubungkan antara daerah pedalaman dengan dunia luar; di mana motivasi dasar dari pertemuan ini adalah melakukan transaksi dagang. Perahu, kapal atau pun sampan menjadi moda transportasi kota dan bahkan antar wilayah.
Kota Bandar Aceh Darussalam sendiri tidak hanya menjadi tempat persinggahan atau meeting-point bagi pedagang-pedagang antar bangsa untuk melakukan transaksi dagang; tetapi juga menjadi tempat transit bagi orang-orang yang berlayar menuju ke Mekkah untuk melakukan perjalanan haji. Kota Bandar aceh Darussalam kemudian mendapat predikat atau julukan lain yaitu sebagai Seuramoe Makkah atau Serambi Mekkah untuk menggambarkan suatu tempat persinggahan sejenak (baca: serambi) sebelum masuk ke dalam rumah (baca: baitullah atau rumah Allah di Mekkah). Predikat ini dipertegaskan dengan banyaknya tempat-tempat belajar ilmu agama seperti meunasah atau pesantren. Kota Bandar Aceh Darussalam pada saat itu juga mempunyai aturan tata bangunan atau building-code yang mengharuskan semua orientasi rumah dan bangunan menghadap ke kiblat; sehingga orang tidak pernah kesulitan untuk menentukan arah kiblat bila berada dalam rumah atau bangunan. Kota Bandar Aceh Darussalam berkembang tidak hanya sebagai kota pelabuhan dagang tetapi menjadi pusat perkembangan dan penyebaran agama Islam yang terpenting di Asia Tenggara.
Pada masa pemerintahan Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Johan ‘Ali Ibrahim Mughayat Syah (1511-1530 M), kota Bandar Aceh Darussalam memiliki lembaga pendidikan tinggi setingkat universitas, yaitu Jami al-Bayt al-Rahman atau Universitas Baitul Rahman. Universitas yang mengajarkan ilmu keagamaan filsafat, sejarah, kebudayaan dan sastra ini melahirkan kaum terpelajar dan cerdik cendikia yang mempengaruhi perkembangan penulisan kitab dan sastra. Keberadaan kota Bandar Aceh Darussalam sebagai salah satu pusat perdagangan dunia pada masa itu, mendorong penulisan kitab menjadi lebih maju dengan mudah di dapatnya kertas yang bermutu tinggi dan tahan lama. Kertas berkualitas tersebut berasal dari Eropa yang banyak diperdagangkan dalam jumlah besar di kota Bandar Aceh Darussalam.
Text Box:  

Penggambaran orang Aceh dalam manuskrip tahun 1600Pada masa Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar yang memerintah pada tahun 1537-1571 M, kota Bandar Aceh Darussalam berkembang juga menjadi kota industri militer yang sangat disegani. Pada tahun 1563 Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar memohon bantuan dari Sultan Turki di Konstantinopel untuk memerangi Portugis yang menguasai Melaka. Dua armada kapal Turki yang membawa perbekalan dan pakar-pakar teknik kemiliteran dari Turki dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam dan kemudian mengabdi pada Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar. Industri kemiliteran yang memproduksi peralatan perang dibangun di kota Bandar Aceh Darussalam dan Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar membangun armada laut dan angkatan darat yang kuat. Kesultanan Aceh Darussalam kemudian melakukan hubungan diplomasi dan bersekutu dengan Turki, Arab dan India. Invasi militer pada masa Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar dilakukan untuk menguasai Negeri Batak, Aru dan Melaka.
Text Box:  

Gambaran wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada masa jaya.Peranan Kesultanan Aceh Darussalam di kancah politik dunia terlihat sangat kuat pada masa Sultan ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah yang memerintah pada tahun 1589-1604. Kesultanan Aceh Darussalam merupakan negara pertama di Asia yang memberikan pengakuan kepada Negeri Belanda pada saat Belanda sedang berperang melawan Spanyol pada tahun 1568-1648. Prins Maurits dari Negeri Belanda yang memimpin Bataafsche Republiek pada tanggal 11 Desember 1600 mengirim surat ke Sultan ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah untuk memohon terjalinnya hubungan persahabatan dan perdagangan degan Kesultanan Aceh Darussalam. Delegasi Kesultanan Aceh Darussalam yang terdiri dari Abdulhamid, Laksmana Sri Muhammad dan Mir Hasan diutus oleh Sultan ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah ke Negeri Belanda untuk menghadap ke Prins Maurits. Pertemuan antara delegasi Kesultanan Aceh Darussalam dengan Prins Maurits berlangsung di Grave, dekat Brabant Utara. Dukungan dari Kesultanan Aceh Darussalam mengangkat martabat Prins Maurits yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya di mata raja-raja Eropa pada masa itu dan akhirnya peperangan dengan Spanyol berakhir dengan kemenangan Belanda.
Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak kejayaan sebagai kerajaan yang mempunyai armada tempur yang tangguh pada masa Sultan Iskandar Muda Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat yang berkuasa pada tahun 1607-1636. Manuskrip Bustanus Salatin menyebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat melakukan penaklukan pada Deli (1021 H), Johor (1022 H), Bintan (1023 H), Pahang (1026 H dan 1045 H), Kedah (1029 H), Nias (1034 H) dan penyerangan ke Melaka (1038 H). Pada tahun 1629 M, Sultan Iskandar Muda Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat mengirim armada tempur yang terdiri dari sekitar 400 kapal perang untuk menyerang Melaka yang dikuasai oleh Portugis. Armada tempur Kesultanan Aceh Darussalam ini berada di bawah pimpinan Orang Kaya Sri Maharaja dan Orang Kaya Laksamana. Ekspansi ini hampir berhasil menguasai Melaka sampai datangnya armada bantuan Portugis yang berasal dari Goa, India Selatan. Armada Portugis di bawah pimpinan Nuno Alvares ini juga mendapat dukungan dari Johor dan Patani; yang akhirnya bisa memukul mundur armada tempur Kesultanan Aceh Darussalam yang dalam jangka waktu yang cukup lama mampu mengepung Aceh. Besarnya armada tempur yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat ini menggambarkan bahwa kota Bandar Aceh pada masa itu sudah sangat maju dan mempunyai sumber daya pendukung yang sangat besar; di mana bisa dilihat dari ratusan armada kapal yang dimiliki dan jangkauan armada tersebut yang bisa sampai ke Melaka dan bahkan ke Timur tengah dan Eropa.
Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam tidak hanya di lautan saja, tetapi juga terlihat dari pengembangam kekuasaan teritorial yang sangat terjadi pada masa kepemerintahan Empat Sultanah atau sultan perempuan. Keempat sultanah tersebut adalah: Sultanah Taj al-‘Alam Safiat ad-Din Syah (1641-1675 M), Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Di Syah (1675-1678 M), Sultanah ‘Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah (1678-1688 M) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Perencanaan tata ruang wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dan lembaga pengelolaannya digagas pada masa Sultanah Taj al-‘Alam Safiat ad-Din Syah (1641-1675 M). Menurut Qanun Meukuta ‘Alam pada Kesultanan Aceh Darussalam dibangun beberapa fasilitas penting, yaitu: balai laksamana sebagai institusi semacam markas perang; balai fardah yang menjadi tempat pengaturan keuangan negara atau bea cukai; balai musyawarah sebagai tempat pertemuan yang di dalamnya ada balairungsari sebagai tempat bertugas 73 orang yang mewakili 73 mukim di Aceh Besar. Mukim adalah unit wilayah yang merupakan gabungan dari beberapa kampung. Sultanah Taj al-‘Alam Safiat ad-Din Syah menggagas keterlibatan perempuan sebagai anggota Majelis Mahkamah Rakyat yang mewakili masing-masing mukim. Dalam Qanun Meukuta ‘Alam disebutkan keterlibatan 17 orang perempuan dalam Majelis Mahkamah Rakyat. Perencanaan tata ruang wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dan lembaga pengelolaannya disempurnakan oleh Sultanah Nuru’l ‘Alam Naqiat ad-Din Syah (1675 – 1678 M). Penyempurnaan kebijakan yang mendapatkan masukan dari Syaikh Abdurrauf as-Singkili ini adalah pengelolaan 73 mukim di Aceh Besar menjadi tiga bagian, yaitu: Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim; di mana masing-masing sagi diketuai oleh Panglima Sagi.

1.4. Krueng Aceh dalam Tata Kota Bandar Aceh Darussalam
Dari analisa Snouck Hurgronje dengan menggunakan simbolisasi jeu’ee atau alat penampi beras, secara tersirat menjelaskan pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh Kesultanan Aceh Darussalam; yaitu “mengalirkan sumber daya” melalui tiga jalur, yaitu: dari tepi alat penampi sisi kiri dan kanan dan bagian tengah alat penampi. Sumber daya akan mengalir menuju mulut dari jeu’ee dan akan keluar dan terdistribusi ke luar.
Pada konteks Kesultanan Aceh Bandar Aceh Darussalam, ketiga jalur untuk mengalirkan sumber daya dan ujung jeu’ee adalah:
(1)  Pelabuhan Daya di sisi barat Acèh Lhèe Sagoe yang mengalirkan sumber daya yang ada di sepanjang pantai barat Kesultanan Aceh Darussalam;
(2)  Pelabuhan Pidie di sisi timur Acèh Lhèe Sagoe yang mengalirkan sumber daya yang ada di sepanjang pantai timur Kesultanan Aceh Darussalam
(3)  Krueng Aceh di sisi tengah Acèh Lhèe Sagoe yang berperan sebagai penyangga dan penyatu perbedaan potensi yang ada di Kesultanan Aceh Darussalam. Krueng Aceh juga menjadi basis pertahanan yang vital bagi Kesultanan Aceh Darussalam.
(4)  Bandar Aceh Darussalam yang menjadi ujung atau akhiran dari aliran sumber daya yang ada di Kesultanan Aceh Darussalam; dan juga menjadi pintu keluar-masuk perdagangan internasional.
Dalam teks sejarah disebukan bahwa sebelum Kesultanan Aceh Darussalam berdiri, terdapat dua kerajaan besar yang terpisahkan oleh Krueng Aceh, yaitu kerajaan Darul Kamal dan Kuta Alam. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu dalam Kesultanan Aceh Darussalam dan dalam perjalanan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa dari kedua kerajaan ini sempat saling bergantian memimpin Kesultanan.
Text Box:  

Gambaran Kraton Kesultanan Aceh Darussalam
menurut pedagang-pedagang Eropa dengan 
Krueng Aceh pada latar depan.Krueng Aceh mempunyai peranan penting dalam dalam konteks “alat penampi beras” dari Kesultanan Aceh Darussalam karena Krueng Aceh yang berasal dari Gunung Seulawah Inong dan Seulawah Agam ini bermuara di Bandar Aceh Darussalam. Kota Bandar Aceh Darussalam sendiri tumbuh dan berkembang di sepanjang Krueng Aceh. Krueng Aceh tanpa disadari menjadi acuan dalam tata ruang kota Bandar Aceh Darussalam. Model tata kota dari Bandar Aceh Darussalam didasarkan atas model kota Parsia ataupun Moghul. Salah satu ciri dari model kota Persia atau Moghul secara arsitektuktural adalah adanya tata bangunan dan lingkungan yang berdasar atas keseimbangan tata air dan tata darat.
Dari perspektif tata ruang kota, ciri dari model kota Parsia adalah adanya integrasi keruangan dari tiga pusat peradaban kota yaitu: (1) istana raja atau pusat pemerintahan; (2) permukiman dan pendidikan; dan (3) pasar. Model kota seperti ini tidak membuat istana sultan atau keraton sebagai entitas yang terpisah dengan pusat peradaban yang lain; di mana dengan keterkaitan keruangannya memungkinkan sultan bisa melakukan kontrol sosial dan politik secara keruangan terhadap pusat peradaban kota dengan kuat dengan adanya interaksi sosial di pesantren dan permukiman para saudagar, pengrajin, ulama dan cendikiawan.
Penerapan model kota Persia dalam tata kota Bandar Aceh Darussalam adalah menjadi sebagai berikut:
NO
ZONA KERUANGAN
FUNGSI KERUANGAN
INDIKATOR
CITRA KERUANGAN
I
Pelabuhan
Tempat berlabuhnya kapal-kapal dari luar Kesultanan Aceh Darussalam.
Kunjungan dari bangsa Persia, India, Birma, Campa, Cina, Turki-Ottoman, Perancis, Inggris, Portugis, Belanda untuk menjalin hubungan dagang dan diplomatik


Bandar atau kota perdagangan internasional
Tempat berlabuhnya kapal-kapal dari dalam Kesultanan Aceh Darussalam, yaitu: dari Pelabuhan Daya dan Pelabuhan Pidie.
Tempat berlangsungnya transaksi dagang.
Tempat industri pembuatan kapal.
Kekuatan armada laut Kesultanan Aceh Darussalam lebih dari 400 unit kapal; di mana ukuran kapal Aceh sebesar 3-10 kali kapal bangsa Eropa

Basis militer dengan armada laut yang kuat dan canggih
Tempat berlabuhnya kapal perang Kesultanan Aceh Darussalam
Tempat pembuatan alat dan perlengkapan militer.
II
Permukiman dan Pendidikan
Tempat bermukimnya penduduk kota Bandar Aceh Darussalam.
Kampung Pande, Kampung Jawa, Kampung Keling, Kampung Peunayong, Kampung Peringgi dan lain-lain.

Permukiman multi-bangsa
Tempat bermukimnya pendatang asing yang singgah untuk urusan dagang.
Tempat bermukimnya pendatang asing yang singgah untuk menuntut ilmu dan agama.



Seuramoe Makkah atau Serambi Mekkah

Tempat pendidikan ilmu dan agama di meunasah, pesantren dan universitas.
Universitas Jamiat Baiturrahman atau Jami al-Bayt al-Rahman dengan pengajar dari Arab, Yaman, Persia dan India.
III
Keraton atau dalam
Tempat sultan melakukan fungsi sebagai kepala negara dan pemerintahan kesultanan.
Balai Laksmana, Balai Musyawarah, Balairungsari, Balai Fardah.
Kesultanan atau negara Aceh Darussalam
Tempat tinggal atau ruang privat sultan.
Gunongan, Taman Putro Phang atau Taman Ghairah, Pintu Khop, Darul ‘Ishki
Taman Firdausi
(sumber: analisa Tim Revitalisasi Kawasan Krueng Aceh, 2006)

Infrastruktur kota seperti dalam kota modern seperti sekarang ini tidak banyak ditemukan pada struktur kota Bandar Aceh Darussalam. Pengelolaan lingkungan alami menjadi bentukan lain dari “infrastruktur kota” dengan menekankan pada keseimbangan tata air dan tata darat. Pengelolaan lingkungan alami ini bertujuan untuk mewadahi dan mendukung keberlangsungan dari fungsi-fungsi kota di Bandar Aceh Darussalam. Gambaran elemen penyangga kota Bandar Aceh Darussalam adalah sebagai berikut:
NO
ELEMEN PENYANGGA  KOTA
FUNGSI KERUANGAN
1
Krueng Aceh
Krueng Aceh sebagai media penghubung (baca: jalur transportasi) antara “dalam” (baca: keraton atau pusat pemerintahan) dengan “luar” (baca: pelabuhan)
Krueng Aceh sebagai acuan dari perencanaan tata ruang kota Bandar Aceh Darussalam
2
Rawa-rawa
Rawa-rawa sebagai area penampungan dan resapan air apabila terjadi luapan air di Krueng Aceh ataupun saat curah hujan di kota Bandar Aceh Darussalam meningkat
Rawa-rawa sebagai basis pertahanan kota dari serbuan musuh lewat darat
3
Pulau-pulau di muara Krueng Aceh
Pulau-pulau di muara Krueng Aceh sebagai bagian dari pelabuhan di mana kapal-kapal dagang berlabuh
Pulau-pulau di muara Krueng Aceh sebagai basis pendukung bagi pelabuhan
Pulau-pulau di muara Krueng Aceh sebagai basis militer dan industri kemiliteran
Pulau-pulau di muara Krueng Aceh sebagai barikade dari serbuan musuh dari laut yang akan masuk ke “dalam” melalui Krueng Aceh
4
Pulau Gajah dan pulau lain di Krueng Aceh
Pulau Gajah dan pulau lain di Krueng Aceh sebagai basis pertahanan sungai terdalam
Pulau Gajah sebagai simbol kemegahan Kesultanan Aceh Darussalam
5
Krueng Daroy atau Darul ‘Ishki
Krueng Daroy menjadi elemen penting dalam keraton sebagai citra sungai kecil yang mengalir dalam taman firdausi.
(sumber: analisa Tim Revitalisasi Kawasan Krueng Aceh, 2006)

























No comments: