Monday, September 13, 2010

Aspek Socio-Legal Penyalahgunaan Narkoba


Aspek Sosio-legal Penyalahgunaan Narkoba Oleh Remaja
(Kasus Ilustratif kaum muda Aceh Sub-urban)·
M. Saleh Sjafei··
Abstrak
Orang-orang dalam usia muda seringkali tak bisa lepas dari pengalaman perubahan fisik, emosional, intelektual, dan sosial dalam perjalanan hidup mereka. Faktor lingkungan hidup, pergaulan bebas, acapkali memberi pengaruh besar pada pola tindakan mereka. Bagaimanapun, para remaja mempunyai tendensi untuk memperlihatkan kreatifitas mereka melalui kegiatan muda-mudi, seperti pergaulan bebas, pengemar musik, dan sebagainya. Salah satu aktivitas mereka adalah main game di internet, mendengar musik, dan berkumpul di warung kopi sambil ngobrol tentang hal-hal yang saling membuat mereka senang satu sam lain. Penggunaan narkoba dilakukan kalangan muda untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka dalam pergaulan kelompoknya. Misalnya, mereka sama-sama penggiat musik masa kini, aliran kaum muda yang berkembang di era globalisasi sesuai kemajuan teknologi dan informasi, di mana transformasi kultur modern dengan mudah penetrasi ke dalam masyarakat kita, khususnya kalangan muda Aceh. Kegemaran musik dan budaya popuper adalah contoh perkembangan itu. Pergaulan bebas dengan Penggemar game dan musik di internet, boleh jadi, identik dengan “bad-attitude” dalam masyarakat kita, karena kegiatan itu ditandai oleh fashion dan gaya urakan, lirik lagu dengan kritik sosial yang bernuansakan protes sampai mabuk-mabukan dan vandalisme. Penggemar game dan musik di internet membentuk kelompoknya yang cenderung anti kemapanan. Kelompok ini semula hanya ada di daerah Urban kemudian merembes juga di daerah Sub-urban.

A.     Pendahuluan
Aktivitas anak-anak muda di warung-warung, di mana ada warnet-warnet di daerah sekitar sub-urban dalam perkembangannya telah melahirkan banyak ragam dan jenisnya, permainan game online dan chatting via Yahoo Messenger (YM), facebook (fb), MSN, dan sebagainya. Berbagai kegiatan dan tindakan anak-muda dalam permainan itu juga mengalami meta-morphosa yang kemudian menetaskan berbagai kecenderungan perilaku kaum muda seperti, berkumpul di tempat-tempat tertentu, di trotoar pinggir jalan raya, di warung kopi, dan sebagainya. Dalam perkumpulan seperti itu penyebaran narkoba patut diperhitungkan terjadi di kalangan muda-mudi yang lagi mengalami masa pancaroba. Perkumpulan anak-anak muda mulai marak lagi setelah Aceh post-konflik dan tsunami kembali damai dan masyarakat menjadi leluasa hidup bersama dengan sesamanya.
Banyak warung kopi dan internet dibuka oleh para pengusasa lokal atau luar di Banda Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir pasca-konflik dan tsunami di Aceh pergaulan anak-anak muda semakin berkembang, mereka sebagain bergaul dengan pelbagai warga lain baik dalam negeri maupu  luar negeri. Tidak sedikit kaum muda memperlihatkan potensi dan bakat mereka dalam hal-hal yang belum lazim terjadi di daerah bersangkutan. Mereka menyukai hiburan melalui dunia maya (internet), balapan sepeda motor, berkumpul di café-café tertentu, di warung-warung kopi, di mana saja untuk mereka merealisasikan masa remajanya. Dalam pada itu mereka sangat mungkin juga mempunyai kebiasaan lain di luar sub-kulturnya sendiri, seperti dresscode, tattoo, alcohol and drugs abuse.
Para penggemar hiburan malam banyak dari kalangan muda. Mereka berkumpul di berbagai warung rata-rata adalah anak remaja ini kemudian membuat suatu afiliasi sosial yang berupa group-group yang didasarkan pada kegemaran mereka pada permainan musik dan bercanda-riadengan sesamanya. Dalam perkembangannya kelompok itu disebut “komunitas muda-mudi”, mereka biasanya tumbuh di kota-kota besar (urban), dan sifat dari mereka sering berlawanan dengan masyarakat teratur (anti social) seperti vandalism ataupun penyalahgunaan alkohol dan Narkoba dan sebagainya. komunitas underground ini dapat dikatakan mempunyai rasa solidaritas dan tingkat afiliasi dalam kelompok yang tinggi diantara para anggotanya.  
Tak dapat disangkal lagi kehadiran televisi dan internet maupun media infomasi lainnya ini telah menjadi faktor paling berpengaruh atas perubahan- perubahan sosial. Televisi banyak menyajikan informasi sekaligus hiburan, kegiatan. Melalui perkembangan teknologi tersebut kebudayaan-kebudayaan global banyak ditransfer baik disadari atau tanpa kita sadari. Kebudayaan dan kebiasaan dunia lain telah kita tiru, juga dalam hal bidang seni dan komunikasi antar budaya serta kecenderungannya dan fenomena sosial yang ditimbulkannya. Penetrasi kebudayaan luar dalam hal ini, kesenian, musik dan pada khususnya permainan online, seperti game dan chatting, dapat kita lihat dengan banyak bermunculan kelompok “underground” di kota-kota besar (urban) yang kemudian dalam perkembangannya telah merembes ke kota-kota kecil disekitarnya (sub-urban).
Memang jika ditelaah lebih lanjut konsumsi narkoba dan alkohol yang berlebihan dan pemakaian narkoba tidak dapat dijadikan penyebab kejahatan, tetapi konsumsi alkohol yang terus menerus dan berlebihan ataupun pemakaian narkoba dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek ketergantungan atau ketagihan. Hal tersebut disebabakan narkotika atau alkohol dan obat-obatan psikotropika mempunyai kadar zat additif. Penyalahgunaan alkohol dan narkoba di kalangan remaja pada umumnya memang membawa dampak yang luas, tidak hanya pada kesehatan pola tindakan mereka, tetapi juga pada masyarakat. Hal ini disebabkan kaum remaja adalah generasi penerus bangsa, dan kita semua tidak menginginkan masa depan generasi penerus kita hancur dikarenakan minuman keras dan narkoba.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memahami dan menjelaskan hubungan kendali-diri individual dengan faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab penyalahgunaan narkoba (dan alkohol) di kalangan remaja Indonesia, khususnya kelompok kaum muda Aceh. Selain itu, perlu dilakukan analisa efek–efek yang ditimbulkan pada masyarakat umum sub-urban.

B.      Kerangka Berpikir
            Untuk memahami dan menjelaskan hubungan antara kapasitas individual dengan pelbagai kemungkinan faktor pengaruh penyalahgunaan narkoba oleh generasi muda Aceh digunakan kerangka pemikiran sosiologi hukum. Hukum adalah alat pengendalian sosial yang dibentuk secara formal oleh badan Negara yang berwenang untuk mengatur hubungan antara warga Negara agar tidak menimbulkan kerugian satu sama lain. Jadi, hukum dalam kaitan ini diasumsikan sebagai peraturan yang dibuat oleh Negara berdasarkan pertimbangan kondisi sosial dan politik dalam masyarakat. Salah satu peraturan Negara yang mengatur penggunaan narkotika di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Dengan demikian, hukum dalam konteks penyalahgunaan narkoba dan alkohol oleh sebagian komunitas kita adalah UU Negara Indonesia yang mengatur mekanisme penggunaan narkotika.  
Secara teoretikal hukum dalam teks (buku-buku, undang-undang, atau wacana) acapkali berbeda dengan hukum dalam konteks (kenyataan hidup bersama secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik). Hukum dalam konteks lebih banyak melibatkan kesadaran manusia secara filosofis dan yuridis-dogmatis. Sedangkan hukum dalam konteks merupakan keberadaan norma-norma filosofis dan yuridis pada tingkat manusiawi yang tidak bebas dari sifat-sifat dan cirri-ciri manusiawi yang melampaui dogma dan kesadaran tekstual. Artinya, secara sosiologis doktrin hukum yang terdapat dalam struktur moralitas kolektif (adat, kebiasaan) dan moralitas individual dipertanyakan lagi dari pelbagai perspektif sosial untuk memahami keberadaannya yang benar secara objektif dan impartial. Penjabaran kaidah atau aturan hukum ke dalam bentuk tindakan nyata masyarakat secara sosiologis, oleh karena itu, ditentukan oleh banyak faktor pendukungnya.
Salah seorang teoretisi hukum, Friedmann, menyebutkan bahwa keberhasilan untuk merealisasi hukum ke dalam kehidupan nyata paling tidak dipengaruhi oleh karakteristik substansi, struktur, dan budaya hukum masyarakat bersangkutan. Ketiga elemen hukum tersebut dapat dipahami masing-masing (1) seberapa jauh substansi adalah materi atau isi doktrinal peraturan tersebut sesuai dengan kondisi realistis masyarakat umum, gambaran sosiologis hubungan hukum dan masyarakat, dari mana asal-usul dogma peraturan hukum itu diperoleh. (2) Sejauhmana atribut struktural penyelenggaraan suatu aturan hukum dipenuhi Negara dalam rangka pengaturan masyarakat. Apakah aparatur, sarana dan fasilitas, serta semua faktor pendukung penegakan aturan hukum tersebut telah disediakan Negara sebagaimana mestinya sehingga dari segi struktur hukum sudah memenuhi syarat formalnya. (3) Bagaimana kondisi budaya masyarakat di mana aturan hukum tersebut diwujudkan. Apakah kondisi sosial-budaya komunitas memenuhi standar rasional yang dibutuhkan suatu aturan formal. Elemen terakhir ini diperlukan untuk mencocokkan hukum Negara yang rasional dengan karakteristik sosial-budaya masyarakat yang harusnya mencapai tahap post-tradisional. Berdasarkan kerangka pemikiran teoretis Friedmann itu dapat dikemukakan bahwa keberhasilan perwujudan suatu aturan hukum Negara ke dalam kehidupan nyata masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung yang diperlukan. 
Pemikiran Friedmann kemudian dikembangkan oleh pakar Sosiologi Hukum Soerjono Soekanto dan Satjipto Rahardjo dalam berbagai rujukan tekstual mereka. Menurut kedua pakar tersebut keberlakuan hukum dalam masyarakat sangat erat kaitannya dengan aturan hukum itu sendiri, aparatur, sarana dan fasilitas pendukung, serta kondisi sosial-budaya masyarakat bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu penegakan hukum adalah fungsi pokok persoalan dalam aturan hukum, pengetahuan dan kapasitas aparatur penegak hukum, sarana dan fasilitas pendukung, serta karakteristik sosial-budaya masyarakat. Semakin faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu bekerja secara fungsional, maka semakin besar capaian keberhasilan tujuan hukum bagi masyarakat bersangkutan.

C.      Pembahasan

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat  atau bahan berbahaya. Istilah lain untuk "narkoba" adalah napza.[1] Kedua istilah itu, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya memiliki resiko kecanduan bagi para penggunanya. Pakar kesehatan meyakini bahwa narkoba merupakan psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien ketika ia hendak dioperasi, atau boleh jadi itu adalah obat-obatan yang bisa digunakan untuk penyakit tertentu.[2] Para penegak hukum dan keluarga pengguna patut melakukan upaya pengawasan secara langsung dan tidak langsung untuk mengetahui kondisi perkembangan anak mereka yang masih remaja. Dalam masyarakat Aceh yang sedang membangun peran keluarga dan komunitas sangat penting karena ada banyak hal yang tidak langsung dikendalikan oleh aparat penegak hukum, utamanya polisi. Norma hukum lokal (adat, kebiasaan, moralitas kolektif) yang berlaku seringkali dapat menjangkau pola tinddakan kaum muda dalam kaitan pergaulan mereka satu sama lain.

Belakangan, image narkoba menjadi miring maknanya karena benda itu sering disalah-gunakan oleh sebagian pemakainya, antara lain, digunakan untuk kebutuhan dosis yang melampaui batas. Penyebaran narkoba akhir-akhir ini hampir tak bisa lagi diantisipasi. Hampir semua orang dapat dengan mudah memperoleh narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bandar narkoba bisa ada di mana-mana, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal, lingkungan remaja, tempat permainan seperti warnet, dan lain-lain. Tentu saja ancaman penggunaan narkoba yang tidak terkontrol membuat para orang tua, lembaga pendidikan, dan pemerintah khawatir mengenai penyebaran narkoba.[3] 

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah bersama komunitas pendidikan untuk menekan penggunaan narkoba yang bukan pada tempatnya. Akan tetapi, hal itu masih saja luput dari kemungkinan menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus pada bahaya narkoba. Sampai sekarang pun upaya untuk mencegah penyalahgunaan narkoba oleh anak-anak dan remaja dari lingkungan pendidikan keluarga dirasakan tidak mudah.[4] Anggota masyarakat kita masih cukup terikat dengan norma-norma kehidupan lokal (tradisional) yang tak-tertulis, dan hal itu yang menyebabkan mereka sulit memahami dan mengetahui norma-norma tertulis yang tertuang dalam undang-undang atau hukum rasional-formal. Kondisi seperti itu memperlihatkan suasana budaya komunitas yang hampir tidak compatible dengan budaya hukum rasional sebagaimana dibutuhkan dalam proses perwujudan hukum formal ke dalam bentuk tindakan nyata.  

Sejarah narkoba dimulai kurang lebih pada tahun 2000 SM di Samaria. Pada awalnya barang itu dikenal sebagai sari-bunga opion, kemudian dinamakan opium, yakni candu (papavor somniferitum). Bunga itu tumbuh subur di daerah dataran tinggi perbukitan dengan ketinggian kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut. Secara lamban namun pasti tumbuhan tesebut mengalami penyebaran ke daerah-daerah India, Cina, dan wilayah-wilayah Asia lainnya. Cina merupakan tempat yang sangat subur untuk lokasi penyebaran candu tersebut. Hal itu dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri Cina amat cocok untuk jenis tetumbuhan  demikian. Sejak abad ke XVII personalan candu di Cina sudah menjadi ancaman bahaya nasional di Negara mereka. Bahkan pada abad XIX Negara itu dijadikan consensus untuk melakukan perang candu, dan pada tahap berikutnya negeri Cina ditaklukan Inggris dengan keharusan memberikan wilayah Hong Kong dikuasai koloni.[5]

Sekitar tahun 1806 Friedrich Wilhelim, seorang sertuner, dokter dari Westphalia menemukan modifikasi campuran candu dengan amoniak sebagai morphin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Pada tahun 1856, ketika perang saudara di Amerika Serikat terjadi, nama morphin menjadi sangat terkenal dan barang itu banyak digunakan untuk menghilangkan rasa sakit akibat luka-luka yang dialami orang dalam peperangan. Sehagian para tahanan perang mengalami ketagihan atas penggunaan morphin dan akhirnya menjadi penyakit bagi bala-tentara. Pada tahun 1874 Alder Wright,  seorang ahli kimia dari London, mencoba merebus cairan morphin itu dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur). Campuran tersebut membawa efek tertentu ketika ia diuji-coba pada binatang, yakni anjing. Anjing yang menjadi binatang eksperimen melakukan tiarap, mengalamai ketakutan, merasa kantuk dan muntah-muntah. Pada tahun 1898 pabrik obat yang bernama "Bayer" memproduksi obat tersebut dengan nama heroin, digunakan sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer). Selanjutnya, sekitar kurun 60-an -70-an pusat penyebaran candu dunia berada di daerah yang disebut "Golden Triangle", yakni Myanmar, Thailand, dan Laos. Adapun kuantitas produksi barang tersebut setiap tahun mencapai kurang lebih 700 ribu ton. Lebih jauh, penyebaran itu berkembang ke daerah yang kemudian disebut sebagai "Golden Crescent", termasuk Pakistan, Iran, dan Afganistan. Lebih jauh lagi, penyebaran heroin kemudian berlanjut dari Golden Crescent menuju Afrika dan benua Amerika.[6]

Di samping morphin dan heroin ada jenis barang haram lain yang dikenal dengan kokain (ery throxylor coca). Jenis barang itu berasal dari tetumbuhan coca yang banyak tumbuh di wilayah Peru dan Bolavia. Lazimnya jebnis barang itu dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyembuhkan penyakit Asma dan TBC. Ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta teknologi pun mendukungnya, maka sejak akhir tahun 70-an ada upaya-upaya campuran khusus pada tumbuhan bersangkutan agar dengan demikian candu itu dapat juga dikonsumsi dalam bentuk obat-obatan.[7]
            Penyalahgunaan konsumsi obat-obatan psikotropika dan alkohol dewasa ini agaknya telah mencapai tahap yang memprihatinkan, khusus di kalangan remaja yang gemar kegiatan dan hiburan malam. Data yang diperoleh dari anggota kelompok kam muda yang menjadi anggota komunitas “underground”, banyak remaja–remaja tersebut mulai mengkonsumsi narkoba atau minuman keras ketika mereka berkumpul dengan teman-teman sebayanya dalam bermain game online dan chatting di internet. Mereka juga ikut dalam perkumpulan pemuda yang senang balapan sepeda motor dan bergadang sampai larut malam di warung-warung kopi dan hiburan malam yang lazim bagi kelompok tersebut. Kebanyakan mereka mengkonsumsi narkoba dan bukan minuman keras (miras) karena ikut-ikutan dan coba-coba. Kemudian mereka mulai terbiasa, dan akhirnya orang yang konsumsi obat-obatan diikuti miras menjadi seperti ketagihan (addict).[8]
Faktor– faktor yang menjadi penyebab dari penyalahgunaan alkohol dan narkoba di kalangan remaja antara lain: gejala kelompok “underground” yang identik dengan penyalahgunaan narkoba tak lepas dari pengaruh para remaja di Negara-Negara industry maju yang dijadikan kiblat atau acuan trends bagi kalangan muda dan penyaluran hobbi di bidang seni-musik. Di tanah air menurut sejarahnya mereka menunjukkan sikap “bad attitude” dalam pergaulan sesamanya, seperti mabuk-mabukan, gaya yang urakan dan vandalism, sehingga para remaja yang umumnya secara psikis masih rentan akan pengaruh –pengaruh dari luar, dan mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk meniru . “Bad Attitude” para bintang remaja menjadi semacam acuan atau standar bagi peer-group mereka tanpa disadari itu telah menjadi tradisi di kelompok “underground” yang sulit ditelusuri oleh para penegak hukum atau bahkan guru-guru di lembaga pendidikan dan orang-tua mereka.[9]
            Para anggota kelompok “underground” mempunyai kecenderungan dan menganggap bahwa mengkonsumsi obat-obatan terlarang da alkohol adalah salah satu bentuk expresi kebebasan; maraknya peredaran berbagai jenis dan merk minuman beralkohol /miras, seperti Whiskey, beer, wine, vodka dan lain-lain, serta mudah mereka menjangkaunya; kurangnya pengawasan aparat dan pihak keluarga (orang-tua) terhadap obat-obatan yang tergolong psikotropika yang secara bebas diperjual belikan tanpa resep dokter sehingga dengan mudah disalahgunakan; kurangnya pengawasan dan komunikasi lembaga pendidikan (para guru), para orang-tua atau wali murid terhadap anak-anak mereka.[10]
Jika ditelaah lebih lanjut penyalahgunaaan obat-obatan terlarang dan alkohol oleh kelompok “underground ‘’ mempunyai dampak terhadap masyarakat umum. Hal ini bisa dianalisa dari pola tindakan anggota kelompok tersebut, di mana penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol telah menjadi semacam kebiasaan mereka dalam lingkungan tak-terlihat (underground) itu. Dikhawatirkan dengan tindakan mereka yang terus menerus akan merubah cara pandang remaja terhadap norma–norma yang hidup dalam masyarakat, serta adanya kecenderungan untuk tidak mentaati norma-norma yang ada dalam masyarakat.[11]
Memang ada beberapa perspektif sosiologis ataupun kriminologis yang mengemukakan adanya korelasi antara kejahatan dengan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), seperti tindak kekerasan, pelecehan sexual, sampai akhirnya hasrat untuk melakukan pembunuhan. Tetapi ada juga pandangan yang mengatakan bahwa penyalahgunaan narkoba dan alkohol tak berhubungan dengan kejahatan. Misalnya, teori yang pernah dikemukakan oleh Edwin M. Schur, dalam bukunya “Crime Without Victim: Homosexual, Abortion, Drugs Addict“. “tidak ada bukti nyata yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan akibat langsung dari pengaruh narkoba (drugs)bagi para pemakainya. Pecandu lebih mungkin untuk melakukan kejahatan non- kekerasan  terhadap harta-benda daripada kejahatan kekerasan atas orang”.[12]

D.     Catatan Penutup
Kalangan pemuda atau remaja yang terlibat dalam suatu kelompok tak-terjangkau, komunitas “underground”, yang semula hanya dijumpai di lingkungan urban belakangan telah merembes juga ke daerah sub-urban atau kota-kota di daerah yang sedang berkembang. Dapat dikatakan bahwa komunitas “underground” tidak lagi dianggap sebagai “urban fenomena “, melainkan juga bisa disebut “sub-urban fenomena”. Penyalahgunaan konsumsi obat-obatan (narkoba) dan alkohol di kalangan remaja khususnya komunitas “underground’ haruslah menjadi perhatian serius segenap pihak karena gejala itu telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan di daerah urban. Keadaan itu tidak hanya dari segi kualitas pengguna, tetapi juga dari segi kuantitas anggota komunitas ”underground” itu sendiri.
Hal lain yang perlu dikhawatirkan adalah ketika penyalahgunaan obat-obatan psikotropika atau alkohol yang dalam hal ini terjadi pada komunitas pemuda atau remaja Aceh underground tersebut mencapai tingkat kecanduan atau alcoholic. Dalam hal ini pengendalian sosial baik dengan perangkat hukum formal dan non-formal menjadi sangat penting. Kalangan muda yang sudah tertagih, boleh jadi, akan secara terus menerus mengkonsumsi barang haram tersebut. Hal ini karena jika seseorang telah mencapai keadaan yang disebut addict atau alcoholic, sangatlah sukar untuk dapat disembuhkan. Kerjasama yang terpadu antara keluarga, penegak hukum, dan pemerintah sangat penting dalam upaya menjaga generasi mudah terhindar dari penyalah-gunaan obat-obatan terlarang. Dalam penanganan kasus ini diperlukan adanya kesadaran berbagai pihak, dan yang paling penting adalah pihak orang tua, untuk lebih memberikan pengarahan, bimbingan dan pembinaan bagi anak-anak mereka yang usia remaja. 




· Naskah ini ditulis untuk menjadi bacaan pengantar mahasiswa dalam rangka pengendalian diri secara individual (individual consciousness) menghadapi pelbagai pengaruh modernisasi global tanpa mengorbankan masa depan generasi muda yang prospektif.
·· Penulis adalah pengajar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
[1] Istilah tersebut diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
[2] Di dalam pasal 1 UU No 22/1997 ayat 1 dikatakan bahwa narkotika adalah zaat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi-sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri  Kesehatan.
[3] Di dalam pasal 1 ayat 5 UU Narkotika, penyebaran narkotika disebutkan dengan istilah peredaran gelap yaitu setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak-pidana narkotika.
[4] Orang tua adalah tumpuan harapan segala pihak untuk mampu mengawasi dan mendidik anak-anaknya agar senantiasa dapat menjauhi bahaya narkoba. Lembaga pendidikan, seperti universitas harusnya memiliki sistem atau mekanisme aantisipasi penyalahgunaan narkoba oleh para mahasiswa yang sedang dalam usia pemuda arau remaja.
[5] Lihat Fachrian dan Iwa, “Dampak Narkoba Terhadap Moralitas Remaja”, dalam http://www.scribd.com/doc/23265224/Dampak-narkoba-terhadap-moralitas-remaja-fachrian-dan-Iwa-Bab-2?autodown=docx  downloaded 12 Desember 2009.
[6] Pasal 32 UU Narkotika menyebutkan peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindah-tanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pasal 34 “setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah”.  
[7] Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam UU Narkotika (pasal 2 ayat 1) adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika. Narkotika sebagaimana dimaksudkan pada pasal 2 ayat 1 digolongkan menjadi (a) narkotika golongan satu; (b) narkotika golongan dua; dan (c) narkotika golongan tiga. Dalam pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa pengaturan narkotika bertujuan untuk (a) menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan; (b) mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan (c) memberantas peredaran gelap narkotika.
[8] Di dalam UU Narkotika pasal 1 ayat 12 diberikan definisi pecandu sebagai orang yang menggunakan atau menyalah-gunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
[9] Bab VII, pasal 44 UU Narkotika ayat 1 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika. Selanjutnya, ayat 2 menyatakan bahwa pengguna narkotika sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.
[10] Workshop Bahaya Narkoba yang diselenggarakan Badan Narkoba Kabupaten (BNK) Aceh Tengah untuk 120 guru SMP dan SMA sederajat. Diperkirakan guru-guru tersebut dapat meningkatkan kesadaran anak didik untuk memahami bahaya narkoba sehingga dapat berperilaku baik dan memiliki norma hidup yang sehat. Diharapkan guru-guru menjadi garda terdepan bagi pembentukan moral kaum muda dapat memebrikan pencerahan bagi siswa dan masyarakat tentang bahaya narkoba. Lihat Serambi Indonesia, 13 Desember 2009, halaman 16.
[11] Pasal 45 UU Narkotika mengatakan bahwa pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Dalam pasal 46 dinyatakan bahwa (1) orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan. Ayat dua menyatakan pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
[12] Dikatakan oleh Schur bahwa “there is no evidence suggesting that crime result from the direct effect of the drugs themselves also, the addict is much more likely to commit non violent crimes against property than violent crimes against person”. (lihat schur; 1965:13 ).

1 comment:

ieeshayager said...

Casino - Dr.CMC
A review of all 아산 출장마사지 the casinos that 이천 출장마사지 make 제주 출장안마 your dreams 구미 출장마사지 come true. Read reviews, compare hotel deals, see special offers, and 전라북도 출장마사지 learn more about it. Casino. Hotel.