Monday, September 13, 2010

Ilmu Sosial dan Ujian bagi Masyarakat Yang Adil


Judul: Social Science and the Quest for a Just society
          Oleh : Immanuel Wallerstein, dari Binghamton University
           AJS Volume 102 Number 5 March 1997

Background
Kurang lebih selama 20 tahun terakhir telah terjadi perdebatan mengenai istilah-istilah macro-micro structure-agency, dan global-local. Ketiga pasanagn istilah itu telah diterima luas dan menjadi topik sentral dalam literatur study-study kultural sekarang ini. Masing-masing pasanagn “antinomy” itu mempunyai pengertian yang berbeda. Namun demikian menurut para sarjana “pasangan’’tesebut sering tumapng tindih (overalap), dan digunakan sebagai ungkapan singkat (shorthand phrases), untuk kondisi yang saling diperlukan mereka. Di bawah label ‘antinomy” istilah-istilah tersebut terjadi diskusi tentang determinism versus free-wil, sampai melahirkan dewa-dewa yang terbilanng banyaknya dalam bidang-bidang teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan (science). Perdebatan itu bukan isu yang minor dan belum juga tercapai kesepakatan yang nyata. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa kemampuan kita untuk menemukan jalan (ways) di balik pertentangan (opposition) ini menjadi hambatan utama bagi kemampuan kolektif kita dalam menciptakan suatu bentuk (a quit transformed world) dalam abad dan milenium datang. Dalam kaitan ini penulis bermaksud untuk mengetahui bagaimana diskusi yang telah berjalan lama ini dilakukan dalam komunitas kita, yaitu dalam suatu kerangka konstruk “ social scince”.

Objectives
Penulis artikel ini berupaya utnuk mereview perdebatn dan dilema yang di hadapi dalam memahami awal dan akhir dari cara pandang determinism dan free-will.Bagi saya(Mahaiswa) artikel ini dapat memberikan pemahaman tentang hakekat, kedudukan, dan peranan individu ( individual rights ) yang merujuk pada konsep”agency’ (fenomena ‘micro’). Dengan artikel ini saya memperoleh inspirasi dan dukungan cara pandang ( frame of reference) dalam memahami keterkaitan konteks penelitian yang local untuk kepentingan ilmiah yang bersifat(global).

Theoretical Framework
Pada masa pencerahan terlihat adanya penolakan definitif para ilmuan terhadap otoritas relijius yang dipegang para agamawan sebagai hakim-hakim kebenaran atau kebaikan. Namun, ada pertanyaan siapakah yang menggantikan mereka.Kant ingin sekali (anxious) untuk mengambil alih hak-hak para agamawan itu untuk membuat penelitian (judge) baik atas kebenaran atau kebaikan. Ia menemukan cara yang lebih mudah untuk menilai kebenaran, tetapi tidak mudahdalam menilai kebaikan. Ia menemukan cara yang lebih mudah untuk menilai kebenaran, tetapi tidak mudah dalam menilai kebaikan. Denagn kata lain, dapat dikatakan bahwa orang-orang tidak dapat membuktikan laws of morality sebagaimana di pikirkan dalam dalam laws of physic.Boleh jadi, kant menyerahkan (conceded) tugas menilai kebaikan kepada par agamawan, tetapi ia meminta dalam hal ini juga para filosof dapat diberikan kesempatan utnuk menawarkan jawaban yang bagi kant ditempatkan dalam konsep’ categorical imperative’’
Kemudian datang para ilmuan (scientiests) utnuk menantang hak yang di pegang para filosof dan juga agamawan dengan suara lantang  (stridently) utnuk di pertanyakan apakah ada sesuatu yang melegitimasi spekulasi-spekualsi dasar pertimbangan (ratiocinations) para filosof sehingga memungkinkan kita menganggap pertanyaan mereka itu benar ? Para ilmuan menegaskan bahwa mereka memiliki dasar uyang kuat (firm basis) utnuk menilai kebenaran denagn suatu penyelidikan emperis (empirical investigation) yang dapat diuji atau denagn hipotesis-hipotesis yang teruji sehingga hal itu sesuai untuk keumuman yang bersifat sementara (provisional universals) sebagaimana disebut dalam scientific theorems’’

Ilmu-ilmu sosial yang berkembang selama abad 19 adalah tepat (pricisely) untuk menjadi ahli waris bagi pencarian kebenaran dan kebaiakn, dan denagn beberapa cara telah menawarkan dirinya sebagai landasan (ground) yang bisa mendamaikan perdebatab tersebut. Namun, bagaiman harus diakaui bahwa ilmu-ilmu sosial tidak cukup berhasil dalam upaya itu kecuali hanya penyatuan kembali(reunifying) dua pencarian, dan ilmu-ilmu sosial mengalamai dirinya sebagai bagia dari ketidakcocokan (dissonance) di antara sesama para ilmuan.

Findings
Penulis artikel ini merujuk pada dua macam stud, yaitu (1) apa  yang disebut sebagai “ complexity studies”dalam ilmu-ilmu natural ( seperti Newtonian science bahwa “there were simple underlying formulae that explained everything’’ dan ketidakpuasan (unhappy) einstein bahwa e=mc2 yang hanya menjelaskan ‘half the universerse’. Padahal, einstein ingin mencari ‘the unifield theory’ that would in an equally simple eaquation explain everyhing ). (2) apa yang dinamakan sebagai “cultural studies” dalam bidang “the humanities”. Penulis ini mencoba meletakkan (situate) masin-masing bidang inidalam kaitan denagn implikasi-implikasi epistimologis pada pengetahuan dan pada ilmu-ilmu sosial.

Penjelasan studi-studi kompleksitas dan studi-studi kebudayaan mengalami berbagai tantangan (opposition) dalam kerangkan ilmu-ilmu alamiah (natural sciences) dan ilmu-ilmu kemanusiaan “the humanities’). Menurut penulis, keadaan itu sekarang berada dalam proses penanggulangan (overcoming)dua budaya melalui “the social scientization of all knowledge”, denagn suatu pengakuan bahwa realitas adalah suatu realitas yang membuat agar study-study itu bermanfaat (usable), memperoleh interprestasi interprestasi?filosofis yang logis dari realitas itu, dan menganggap interprestasi itu bersifat sementara(inevitably betransitory) karena ia bena, atau lebih benar pada saatitu, dari pada interprestasi yang lain. Dalam hal ini peranan arjana (scholars) bukankah mengkonstruk realita, tetapi untuk memahami ( figure out)bagaimana ia dikonstruksi dan berbagai bangunan realitas sosial terhadap satu sama lain.

Conclusion
Artikel ini dapat disumpulkan berdasarkan dua pertanyaan sederhana, yaitu ; pertama, “the possible is richer than the real. Nature presents us in effects with the image of creation, of the unforeseable, of novelty’’. Kedua, science is a dialoge with nature(Prigogine,1996;83-177). Para ilmuan sosial tak perlu khawatir untuk mendiskusikan, menganalisa, atau menggali”the possible” of reality. Kita harus mengubah agar sesuatu itu menjadi analisis tentang kemungkinan utopias, batasan-batasan utopias, dan constraints dalam upaya untuk mencapainya. Jika kita ingin serius tentang utopias, kita harus berhenti berdebat tentang hal-hal yang ‘non-issues’ karena keandalan dari ‘non –issues’ itu adalah determinisme versus free-will, atau structure versus agency, atau global versus local, atau macro versus micro. Dapat dikatakan bahwa ‘antinomy’ tersebut bukan mengenai persoalan kebenaran (a metter of correctness), atau apalagi pilihan ( preference) kebenaran, tetapi sesungguhny a persoalan itu berkaitan denagn perspektif yang sangat mendalam dan dangkal, sesuatu itu akan  tampak  
(determediate zone) sesuatu akan tampak sebagai persoalan free-will. Oleh karana itu, kita dapat selalu merubah sudut pandang kita utnuk memperoleh bukti (evidance) tentang determinism atau free-will yang kita inginkan. Jiak memulai dengan free-will, kita akan mengakhiri dengan determinisme, dan jika memulai denagna determinism kita akan mengakhiri dengan free-willl.

Kesimpulan dan relevansi dengan Kasus Aceh
(1) Istilah antinomy di pahami sebagai antonim, berlawanan. Ia merujuk pada, misalnya, dua aturan yang salinhg kontradikti, padahal keduanya absah. Denagn demikian, pasanagn antinomy’ macro-micro, structure agency, global-local’ itu dilihat saling melengkapi dalam upaya memahami konstruksi realitas sosial.(2)perdebatan agamawan, filosof, dan ilmuan, menjadi tidak produktif karena ilmu-ilmu sosial sekatrang ini mulai menggunakan berbagai perspektif ( epismologis) dan pendekatan ( metodologis) untuk memahami pokok persoalan (antologis) tentang kebenaran (truth) dan kebaikan (goodness).

Artikel ini bermanfaat karena penelitian yang berkaitan dengan upaya memahami dan menggali semangat individualime dalam masyarakt aceh yang sedang berubah (Studi kasus praktik pemilikan tanah pribady berdasarkan hukum adat dan hukum nasional. Denagn demikian, peneliti dapat lebih memahami pokok persoalan baik dari segi mikro dan makro yang saliang melengkapi dan tidak dapat dipisahkan hubungan antar keduanya dalam rangakian upaya memahami konstruksi sosila pemilikan tanah pribadi dalam setting masyarakat aceh yang lebih komunalisktik-relijius.

(Ringkasan ini ditulis kembali oleh Desma, mahasiswi Prodi Sosiologi FISIP-Unsyiah)

No comments: