Monday, September 13, 2010

Apa itu Pencerahan dan Bagaimana Implikasinya?


Beranilah Berbuat Dengan Landasan Pikiran dan Pemahaman Sendiri


M. Saleh Sjafei *)

Pengantar 
Sapere Aude adalah suatu sinyalemen yang menyerukan agar kita berani memilih untuk menggunakan pemahaman sendiri. agar dengan demikian memungkinkan kalian secara individual dan institusional tercerahkan”. Untuk membebaskan agen-agen manusia individual dari struktur keacehan yang membodohkan dan menindas. Jadilah dirimu sebagai “Aku” Yang Membebaskan. Bagaimanapun, saya merasa sangat awam dengan studi mengenai era pencerahan yang terjadi di Eropa Barat abad ke-18. Tulisan ini mendapatkan inspirasi dari artikel Luthfi Assyaukanie (Kompas, 2 Maret 2005), untuk menyemangati para intelektual Aceh mengembangkan cara berpikir kritis dan berani merealisasikannya. Apa itu pencerahan? Bagaimana pemahaman sendiri? Sejauhmana hal itu berkaitan dengan keberanian?

Pencerahan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan sosio-kultural pada abad ke-13 dan 14 di Barat telah membawa-serta pengaruh pada puncak perkembangan dalam bidang sains, Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi (dalam agama Khatolik) di Eropa abad ke-15 dan 16. Ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat dari dunia Islam (dipelopori Ibn Rushd, abad ke-13) diasumsikan salah satu sumber inspirasi puncak pencerahan itu. Immanuel Kant (wafat: 1804) adalah tokoh penting puncak era pencerahan (enlightenment) di Barat, memberikan definisi pencerahan adalah “keluarnya manusia dari ketidak-matangan yang diciptakannya sendiri, yakni ketidak-mampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidak-matangan itu terjadi bukan karena kurangnya daya-pikir, melainkan disebabkan kurangnya determinasi dan keberanian (individu) menggunakan pemahaman sendiri.” Oleh karena itu, Kant memberikan motto pencerahan: “sapere aude!” (beranilah menggunakan akal-pikiran sendiri).

Pemahaman Sendiri

Perdebatan dan konotasi Barat (materialisme, intelektualisme, dan individualisme)-Timur (spiritualisme, emosionalisme, dan kolektivisme), ternyata, tidak hanya berkaitan dengan kemajuan iptek dan modernitas (lihat Polemik Kebudayaan S.T.Alisyahbana dalam Daniel Dahkidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, 2003). Pemikiran Islam rasional (Ibn Rushd, hidup di penghujung “era keemasan Islam) yang pernah tumbuh di Barat (Magrib) pun berseteru dengan pandangan dan perilaku kaum muslim dunia Timur (Masyrik) antara lain karena ulama konservatif merasa terancam dengan “ilmu-ilmu klasik” Yunani (vide Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, 2001).

Inti pencerahan itu adalah kematangan berpikir (yang menghasilkan orang-orang bebas untuk bertindak dengan pemahamannya sendiri) dan mampu merealisasikan pemahaman hasil pemikirannya tanpa bantuan orang lain (penggunaan otoritas luar secara berlebihan yang menghalangi seseorang berpikir dan bertindak sendiri). Kebebasan yang terikat, keterikatan yang bebas. Suatu pilihan hubungan yang dilandasi kebebasan kontraktual. Doktrin kolektivitas (atau bahkan komunalitas) yang dituangkan dalam sistem nilai-budaya keacehan, seperti “tata-krama (etika: penggunaan bahasa tutur yang halus; kepatuhan: manut dan kultus pada figur orang lebih daripada kebenaran logika ungkapannya, guru-sponsor, yang telah membesarkan dan mendukung karir atau jabatan), sopan santun (yang berorientasi dan lebih menekankan pamrih dan sanksi masa silam), dan sebagainya” yang tidak adil, eksploitatif (hubungan asimetris: patron-klien, tuan-hamba, guru-murid) dan telah menjadi struktur (instrumental) yang mengekang dan membunuh pemahaman sendiri atau bahkan merugikan posisi individu berwatak mandiri dan egaliter. Mengapa ada kecenderungan orang-orang Aceh, individual atau kolektif, memiliki sikap dan perilaku membangkang (atau memberontak), itu antara lain disebabkan struktur keacehan yang tidak membebaskan (kerangkeng) individu, seperti burung dalam sangkar. Sistem nilai feudal yang terlalu memuja masa lalu dan (eksklusif) mengkultuskan institusi atas nama pribadi sudah waktunya dibebaskan dengan keberanian dan doktrin hasil pemikiran yang inklusif berorientasi masa depan.

Keberanian Untuk Membebaskan

Ibn Rushd adalah autonomous agent (membawa ide tentang kebenaran ganda) dengan identitas tersendiri (sebagai Averoisme, 1270), memiliki kesadaran diskursif (capability) yang memungkinkan dia merasionalisasikan keberanian ajaran dan tindakannya. Dia mampu memberikan dasar dan alasan tentang mazhab pemikirannya dan terus saja mengkomunikasikannya. Sebagai agen yang knowlegeability dia berani bertindak dan memahami tindakan orang lain dalam mana dia tidak mampu mengartikulasikan dasar pemikirannya secara diskursif. Ibn Rushd adalah model kemandirian akal-budi yang dilandasi keberanian berpikir (melawan pemikiran dan individu yang telah dikultuskan dan dilembagakan) dan bertindak untuk membebaskan manusia di dunia agar berpikir rasional tentang dirinya dan masyarakatnya. 

Keberanian orang-orang Aceh untuk membebaskan dirinya, masyarakatnya, dan bahkan bangsanya dari kolonialisme telah diketahui banyak kalangan. Cinta agama dan cinta kemerdekaan. Itu untuk menunjukkan bahwa sistem nilai-budaya keacehan pada dasarnya memuat dimensi individualisme terpuji (civic individualism) yang menekankan pada kehandalan, kemandirian, dan kemampuan individu-individu untuk berbuat baik. Sistem nilai itu telah dan memungkinkan kembali melahirkan orang-orang perorangan atau kelompok dengan (capability dan knowlegeability) keberanian untuk membebaskan dirinya dan masyarakatnya dari belenggu inferioritas, subjektivitas, dan objektivitas harus diwujudkan untuk menemukan jalan tengah secara dengan suatu pendekatan (strukturasi) yang relasional dan dinamis.

Penutup

Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengagungkan Immanuel Kant atau capaian Islam rasional dari Ibn Rushd. Tetapi, paling tidak dalam tataran pemikiran (filsafat dan ilmu pengetahuan) ada suatu inspirasi yang memungkinkan masyarakat Aceh berpikir dan berpikir ulang untuk menghasilkan orang-orang perorangan atau kelembagaan yang memiliki keberanian dan semangat yang membebaskan secara sosio-kultural dan ekonomi-politik. Beranilah berpikir dengan akal-budi (ilmu pengetahuan dan teknologi) sendiri untuk menghasilkan agency yang dilandasi elemen-elemen transformatif, masa lalu (iterational), masa sekarang (projective), dan masa depan (practical-evaluative). Diperlukan dukungan intelektual aktivis, praktisi, birokrat dan praktisi yang rasional-konsekuen.  
__ __ ___
Penulis adalah Sosiolog pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

No comments: